Ikan Nila Penjajah Ikan Asli Merauke, Papua

Konten dari Pengguna
15 September 2020 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ikan nila. Foto: Pinterest
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ikan nila. Foto: Pinterest
ADVERTISEMENT
Didominasi oleh dataran rendah, membuat Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, memiliki banyak rawa. Bahkan Taman Nasional Wasur yang ada di Merauke, merupakan taman nasional yang memiliki lahan basah terbesar di Papua, bahkan di Indonesia. Luasnya daerah perairan, membuat Merauke memiliki biodiversitas yang sangat kaya, terutama jenis ikan air tawarnya.
ADVERTISEMENT
Peneliti Manajemen Sumberdaya Perairan dari Fakultas Pertanian Universitas Musamus Merauke, Norce Mote, mengatakan bahwa dari penelitian yang sudah dilakukan di tiga kawasan perairan di Merauke, tercatat total ada 28 jenis ikan asli yang teridentifikasi. Tiga perairan yang diteliti di antaranya Rawa Biru, Nasem, serta Wasur itu sendiri.
“Ketiga daerah ini memiliki ciri khas yang berbeda-beda dengan lahan basah yang menarik,” ujar Norce Mote dalam seminar daring yang diadakan oleh Masyarakat Iktiologi, Sabtu (12/9).
Rawa Biru merupakan sumber air minum bagi masyarakat Kota Merauke. Sejak 1950-an, rawa ini tidak pernah kering sehingga menjadi sumber kehidupan masyarakat yang sangat penting. Rawa Biru juga menjadi tempat persinggahan beberapa jenis burung migran sebelum melanjutkan perjalanan menuju Selandia Baru.
ADVERTISEMENT
Di Nasem, jumlah burung migran yang singgah jauh lebih banyak. Dengan ketersediaan ikan yang melimpah, lokasi ini memang menjadi salah satu stasiun utama burung migran untuk singgah sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Selatan. Agustus sampai Oktober, adalah masa-masa ketika Nasem dipenuhi oleh berbagai jenis burung migran.
“Di Wasur sendiri cukup memprihatinkan, karena walau Taman Nasional tapi dijadikan sebagai jalan Trans Papua untuk menghubungkan Kabupaten Boven Digul kemudian Mappi sehingga ada penebangan dan lain yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan air tawar,” ujarnya.
Adapun 28 jenis ikan asli yang tercatat di tiga kawasan penelitian tersebut di antaranya arwana, kekap putih, sembilang kuning, sembilang hitam, sembilang merah, kakap batu loreng, sumpit, mata bulan, tulang, dan julung.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada juga kacakaca 1, kacakaca 2, kacakaca 3, kakap kembang 1, kakap kembang 2, gabus 1, gabus 2, belanak, serta kakap batu. Ada juga bambit cokelat, bambit silver, olip, pelangi 1, pelangi 2, puri, duri 1, duri 2, dan duri 3.
“Beberapa jenis ikan ini memang memiliki potensi. Untuk sementara oleh masyarakat dikonsumsi dan juga ada yang berpotensi untuk ikan hias,” ujar Mote.
Ancaman Ikan Asing
Selain ikan asli Merauke, beberapa jenis ikan asing atau introduksi juga teridentifikasi dan berpotensi mengancam keberadaan ikan asing. Beberapa jenis ikan asing tersebut di antaranya nila, gabus toraja, betik, lele, dan sepat. Norce Mote mengkhawatirkan, ikan-ikan introduksi tersebut nantinya berpotensi invasif.
“Apalagi sampai saat ini kajian ekologi baik jenis ikan yang asli maupun asing belum banyak dilakukan,” ujar Mote.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran Mote bukan tanpa dasar. Saat ini, ikan nila di Merauke menurutnya sudah sangat banyak, ditandai dengan selalu tersedianya stok ikan tersebut di pasar lokal.
Di Rawa Biru saja, pada 2017 silam dari tiga kelompok penangkap ikan saja tercatat tidak genap setahun berhasil menangkap sekitar 39 ribu ikan nila. Sebagai ikan asing, jumlah tersebut menurutnya sudah sangat melimpah dan menjadi ancaman serius bagi keberadaan ikan asli. Apalagi sampai sekarang pemerintah setempat masih terus melakukan kebijakan untuk melakukan restocking ikan-ikan asing seperti nila.
“Karena ikan nila ini omnivora, memakan bahkan larva juga dia makan. Jadi saya pikir ini perlu jadi perhatian bersama bagaimana menekan populasi ikan nila ini,” ujarnya.
Sama dengan nila, populasi ikan betik atau Anabus testudineus di Merauke juga terus bertambah dan makin mengkhawatirkan. Sedangkan populasi ikan gabus toraja atau Channa striata saat ini bisa dikatakan masih terkendali dan belum sebesar nila.
ADVERTISEMENT
Namun berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan menurut Mote, satu ekor ikan gabus bisa menghasilkan 12 ribu telur. Sehingga, pertumbuhannya bisa sangat cepat dan akan bisa menjadi masalah serius bagi ikan-ikan asli Merauke suatu saat nanti.
“Yang terbaru adalah ikan sepat. Ikan sepat ini sangat luar biasa, saya masih mempelajari perkembangan dan masuknya ke Merauke itu seperti apa. Karena satu dua tahun terakhir ini hampir di setiap rawa di Merauke mereka sudah cukup banyak,” lanjutnya.
Pendangkalan dan Penangkapan Berlebih
Selain adanya ikan asing atau ikan introduksi, keberadaan ikan asli Merauke di Rawa Biru juga terancam oleh luasan rawa yang makin menyempit. Populasi tumbuhan air yang tidak terkendali mengakibatkan pendangkalan pada dasar rawa. Akibatnya, jenis-jenis ikan asli yang sebelumnya hidupnya di bawah tumbuhan air tertentu, habitatnya menjadi terganggu.
ADVERTISEMENT
“Sebagai contoh saja misalnya ada beberapa jenis ikan Ambassidae, di situ masyarakat bilang ikan itu sudah mulai kurang karena sudah tidak ada lumut di situ karena ledakan populasi tumbuhan air ini,” ujar Norce Mote.
Ancaman lain yang dihadapi oleh ikan-ikan asli Merauke adalah penangkapan berlebihan ketika musim kemarau khususnya di Wasur dan Nasem. Sebenarnya tidak jadi soal jika masyarakat menangkap ikan-ikan asli untuk dikonsumsi maupun dijual. Yang jadi soal adalah, tidak adanya kontrol atas jumlah dan ukuran ikan yang boleh dan tidak boleh ditangkap.
Ada beberapa upaya konservasi ikan asli Merauke yang bisa dilakukan menurut Norce Mote. Pertama adalah upaya konservasi dengan pendekatan tradisi atau kearifan lokal, misalnya menjaga lingkungan melalui hak ulayat.
ADVERTISEMENT
“Misalnya di Wasur dalam hal ini hak ulayat setiap marga mereka punya dan ada pendekatan dengan sistem SAR. Jadi daerah itu hanya boleh diambil pada waktu tertentu,” lanjutnya.
Upaya konservasi lain yakni dengan pendekatan biologi, terutama dalam pengendalian populasi ikan asing. Menurut Mote, perlu lebih banyak riset terkait ekobiologi dari ikan-ikan asli dan endemik, sehingga bisa mendorong kebijakan pembatasan penangkapan pada tempat dan waktu tertentu.
Dengan mempelajari ekobiologi ikan-ikan asli, maka bisa dipelajari juga bagaimana mereka melakukan reproduksi. Sehingga bisa saja nantinya dibangunan bank-bank benih ikan asli untuk kemudian di-restocking kembali.
“Jadi pemerintah yang tadinya restocking ikan asing dikurangi dengan kita me-restocking ikan asli,” ujarnya.
Selain ikan asli, kajian ekobiologi terhadap ikan asing juga perlu dilakukan. Misalnya untuk melihat musim dan bulan pemijahan ikan tersebut, sehingga pada saat-saat tertentu bisa disarankan untuk melakukan penangkapan jenis ikan asing secara berlebih. Sehingga populasi ikan asing bisa dikurangi karena sebelum dia melakukan pemijahan sudah ditangkap lebih dulu.
ADVERTISEMENT
“Dengan begitu harapannya populasi ikan asing bisa ditekan dan sebaliknya populasi ikan asli bisa meningkat lagi,” ujar Norce Mote. (Widi Erha Pradana / YK-1)