Jadi Indikasi Geografis, Batik Nitik Khas Jogja Justru Terancam Punah

Konten Media Partner
28 November 2021 18:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat launching Indikasi Geografis Batik Nitik Jogja pekan lalu. Foto: Dok. Pemprov DIY
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X saat launching Indikasi Geografis Batik Nitik Jogja pekan lalu. Foto: Dok. Pemprov DIY
ADVERTISEMENT
Batik nitik khas Jogjakarta baru saja mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) berupa Indikasi Geografis. Sebagai informasi, Indikasi Geografis merupakan tanda yang menunjukkan daerah asal dari suatu barang atau produk yang karena faktor lingkungan geografis seperti faktor alam, manusia, maupun kombinasi dari keduanya untuk memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada produk yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Namun di sisi lain, batik nitik justru jadi batik yang paling terancam punah di Jogja, bahkan di Indonesia. Seniman sekaligus peneliti batik nitik, Abdul Syukur, mengatakan bahwa jumlah jumlah seniman atau pengrajin batik nitik yang tersisa saat ini hanya tinggal 50-an orang. Mereka hanya ada di Desa Trimulyo Bantul, yang juga merupakan kelahiran salah satu batik paling tua di Jogja ini.
“Di antara jenis yang lain, batik nitik memang jadi yang paling terancam punah,” ujar Abdul Syukur saat dihubungi, Rabu (24/11).
Launching indikasi geografis gebyar batik nitik DIY pekan lalu. Foto: Dok. Pemkab Bantul
Selain karena hanya ada di Desa Trimulyo, Bantul, regenerasi juga jadi masalah serius untuk eksistensi batik nitik. Makin sulit mencari anak-anak muda untuk menjadi seniman batik nitik. Dunia yang serba cepat, membuat anak muda selalu menginginkan sesuatu yang instan. Di sisi lain, modal utama untuk membuat batik nitik adalah kesabaran.
ADVERTISEMENT
Membuat batik nitik tak seperti membuat batik pada umumnya. Motif dasar batik nitik berasal dari ribuan titik yang membentuk motif tertentu, sedangkan batik pada umumnya dibuat dengan basis garis.
“Sebenarnya motif batik nitik bisa disederhanakan, tapi kan tetap butuh kesabaran luar biasa. Kesabaran ini yang tidak banyak dimiliki anak muda yang kini selalu ingin berpikir instan,” lanjutnya.
Pada 2008 silam, ketika Abdul Syukur membina pengembangan batik nitik di Dusun Kembangsongo, Trimulyo, situasinya lebih menyedihkan lagi. Nyaris tak ada yang mengenal batik ini. Harganya juga sangat rendah, tak sebanding dengan usaha yang diperlukan untuk membuatnya. Sehingga, makin jarang orang yang tertarik untuk menjadi seniman atau pengrajin batik nitik.
Batik nitik berupa titik-titik yang mengisi sebuah motif. Foto: Widi Erha Pradana
Pencanangan batik nitik sebagai Indikasi Geografis sebenarnya menjadi angin segar bagi perkembangan batik nitik ke depan. Batik nitik punya kesempatan untuk semakin dikenal oleh masyarakat luas, terutama pada aspek sejarah dan spesifikasinya yang membedakan batik nitik dengan batik pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Namun, pencanangan ini juga tidak akan berarti banyak jika tak ada dukungan dan kesadaran masyarakat luas untuk meningkatkan nilai batik nitik. Sama halnya dengan penetapan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk lisan dan nonbenda oleh UNESCO pada 2009 silam.
“Tanpa tindak lanjut maka (Indikasi Geografis) tidak akan berarti apa-apa, batik nitik tetap akan segera punah,” kata dia.
Karena hanya berupa titik-titik, seringkali batik nitik juga kurang mendapatkan penghargaan yang layak di tengah masyarakat. Motif batik nitik dinilai kurang eksotik, itu-itu saja, tak seperti jenis batik tulis lain. Padahal, dalam penelitian yang dilakukan Abdul Syukur pada 2010 hingga 2011, dia menemukan ada 132 motif batik nitik yang pernah dibuat oleh para pengrajin di Kembangsongo sejak zaman dulu.
ADVERTISEMENT
“Jadi kalau bicara kekayaan motif, tidak kalah sebenarnya dengan batik tulis lain,” ujar Abdul Syukur.
Bayu Aria. Foto: Dok. Pribadi
Seniman batik lain dari Yogyakarta, Bayu Aria, juga mengatakan sulitnya regenerasi seniman batik nitik. Meskipun sejauh ini sudah cukup banyak bantuan maupun penyuluhan dari pemerintah, namun regenerasi masih menjadi masalah utama yang tak kunjung bisa terselesaikan. Apalagi, seringkali batik nitik dikira oleh masyarakat luas sebagai batik cap atau bahkan printing, karena motifnya berupa titik-titik yang diulang hingga ribuan kali.
“Kalau ditanya batik mana yang akan punah duluan, mungkin nitik ya. Karena ini langka, tidak setenar batik-batik dari daerah lain,” kata Bayu Aria.
Salah seorang seniman batik nitik dari Desa Trimulyo yang sampai sekarang masih bertahan adalah Aminah, 50 tahun. Diapun baru sekitar dua tahun ini menekuni batik nitik, meski sejak kelas 3 SD sudah mulai membatik. Selain jumlah seniman batik nitik semakin sedikit, saat ini kebanyakan dari mereka juga sudah tua-tua.
ADVERTISEMENT
“Tinggal yang tua-tua, yang generasi penerus susah diajarkan, pilih ke instan seperti ke pabrik yang langsung gajian,” ujar Aminah, Kamis (25/11).
Aminah, seniman batik nitik Desa Trimulyo, Bantul. Foto: Widi Erha Pradana
Aminah mengakui bahwa membuat batik nitik memang memiliki kesulitan tersendiri dibandingkan batik-batik tulis pada umumnya. Itulah yang menurut dia lebih banyak seniman yang memilih membatik tulis biasa ketimbang batik nitik. Untuk membuat satu kain batik nitik, biasanya Aminah memerlukan waktu satu bulan hingga satu setengah bulan.
“Kan lebih mudah (batik biasa), tinggal tarik-tarik, kalau nitik kan harus satu per satu,” ujarnya.
Adanya pencanangan batik nitik sebagai Indikasi Geografis menurut dia telah memberikan pengaruh yang cukup besar. Batik nitik semakin dikenal banyak orang, dia juga mulai mendapat banyak pesanan. Dia berharap, ini bukan hanya euforia sesaat karena batik nitik baru saja mendapat Indikasi Geografis, tapi juga akan terus berkembang hingga ke depan.
ADVERTISEMENT
“Harganya yang paling murah 400-an ribu, yang paling mahal kemarin saya jual Rp 1,7 juta, itu masih mentahan, mereka mau mewarnai sendiri,” ujar Aminah. (Widi Erha Pradana / YK-1)