Jokowi Akui Negara Lakukan Pelanggaran HAM, Pertama Kali dalam Sejarah

Konten Media Partner
11 Januari 2023 14:12 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keterangan Pers Presiden Jokowi usai menerima laporan Tim PPHAM di Istana. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Keterangan Pers Presiden Jokowi usai menerima laporan Tim PPHAM di Istana. Foto: Rafyq Panjaitan/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo mengungkap 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia pada masa lalu. Jokowi mengakui bahwa memang benar pernah terjadi pelanggaran HAM berat di beberapa peristiwa masa lalu, mulai dari Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari, Kerusuhan Mei 1998, serta sejumlah peristiwa lain.
ADVERTISEMENT
Adapun langkah ini dilakukan oleh pemerintah setelah menerima rekomendasi dari Tim Nonyudisial Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Rabu (11/1).
Mantan Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengapresiasi langkah dan sikap pemerintahan Jokowi tersebut. Hal itu menjadi sebuah langkah maju negara dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
"Saya mengapresiasi pidato presiden dan sikap negara yang diambil terhadap rekomendasi yang dikeluarkan oleh rim PPHAM dan 12 peristiwa pelanggaran HAM berat," kata Beka Ulung Hapsara saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Rabu (11/1).
Ex Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara. Foto: Kumparan
Sikap ini juga menjadi sejarah tersendiri bagi Indonesia sebagai sebuah negara. Pasalnya, menurut Beka, ini adalah pertama kalinya negara mengakui telah melakukan sebuah pelanggaran HAM berat.
ADVERTISEMENT
"Setahu saya ini memang yang pertama kali. Ada pengakuan negara terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan negara dan menyatakan penyesalannya," ujarnya.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Gus Dur memang sempat menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa 1965.
"Tapi saat itu statusnya belum dinyatakan sebagai pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM," ujarnya.
Sikap ini menurut dia juga memberikan arti yang sangat besar, terutama bagi korban-korban dari pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Dengan negara mengakui kesalahan yang ada, maka pemulihan hak-hak korban juga harus segera dilakukan.
Selain itu, sikap ini juga menjadi pondasi yang kuat untuk melakukan langkah-langkah penyelesaian berikutnya, baik yudisial maupun nonyudisial.
"Tinggal menunggu langkah-langkah nyata pemulihan korban dan jaminan ketidakberulangan oleh negara seperti yang diperintahkan Presiden kepada Pak Mahfud," ujar Beka Ulung Hapsara.
ADVERTISEMENT