Konten Media Partner

Kelewat Nafsu Menerbitkan Buku Jadi Celah Tipu-tipu di Dunia Penerbitan Buku

10 November 2022 17:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi penerbitan buku. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penerbitan buku. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dunia penerbitan buku tengah ramai dengan viralnya tweet salah seorang penulis yang mengaku ditipu oleh salah satu penerbit indie ternama di Yogyakarta. Penulis tersebut mengaku telah membayar penuh semua biaya penerbitan, namun setelah itu pihak penerbit justru kabur dan tak ada kejelasan selama berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
Pemilik Elje Branding, Husni Abdillah, yang juga aktif di dunia penerbitan buku Yogya, mengatakan bahwa dalam bisnis apapun potensi kecurangan dan kejahatan seperti penipuan memang mungkin terjadi, tak terkecuali dalam dunia penerbitan buku.
Jadi pertama, menurut Husni, sadari dulu bahwa dunia penerbitan buku yang lekat dengan suasana akademis dan intelektual ini sebenarnya juga sama saja dengan kehidupan lainnya.
“Masalah pertama dunia intelektual, sastra, itu mudah membuat orang terpukau bahwa orang-orang di dalamnya ini beda dengan orang-orang biasa. Padahal ya sama saja, mau penerbit buku terkenal, mau dosen, mau sastrawan, semua bisa jadi tukang tipu. Sadari dulu itu, jangan pernah terpukau,” kata Husni Abdillah saat dihubungi Pandangan Jogja @Kumparan, Kamis (10/11).
ADVERTISEMENT
Maka, kalau sudah menyadari bahwa dunia sastra, intelektualitas, dan akademik itu sama saja dengan kehidupan lainnya, jika melakukan sebuah relasi apalagi transaksi bisnis, mustilah dihitung seperti logika bisnis.
Pemilik Elje Branding, Husni Abdillah. Foto: Ist
Husni memaparkan, banyak kasus penipuan di dunia penerbitan yang menjadi korban adalah penulis-penulis pemula yang masih minim pengalaman karena mudah terpukau dengan citra si penerbit. Ditambah lagi seringkali penulis pemula akan melakukan apapun asal karyanya bisa diterbitkan tanpa pikir panjang. Mereka sering tidak berpikir panjang dalam memilih penerbit tanpa melihat rekam jejak perusahaan itu lebih dulu.
“Nafsu untuk segera menerbitkan karyanya ini yang seringkali membuat para penulis pemula sedikit teledor, dan itu jadi santapan empuk oknum penerbit itu,” ujarnya seraya melanjutkan,“tata-rata kalau di kasus penipuan hari ini itu bukan bayar DP, tapi penulis harus membayar lunas biaya penerbitan.”
ADVERTISEMENT
Jika penerbit sudah meminta pembayaran penuh di awal, maka penulis menurut dia harus berhati-hati. Apalagi jika pembayaran itu tidak disertai dengan MoU atau perjanjian hitam di atas putih.
Direktur penerbit Galang Press, Julius Felicius, mengatakan bahwa tren penerbit-penerbit indie sejak dua dekade belakangan yang menerapkan sistem penulis harus membayar lebih dulu supaya karyanya bisa diterbitkan memang memunculkan risiko tersendiri.
Apalagi, banyak penerbit-penerbit tersebut yang perusahaannya tidak jelas. Misalnya tak memiliki kantor tetap, tak memiliki izin usaha, dan sebagainya.
“Sebenarnya transaksinya di kantor dia, itu akan lebih aman. Biasanya kan lewat online ini transaksinya. Instagramnya oke, langsung ditransfer uang. Ini harus kita perbaiki bersama oleh insan buku, pelaku industrinya, maupun oleh para penulis dan pembaca juga yuk bareng-bareng kita perbaiki,” kata Julius Felicius.
Ketua IKAPI DIY, Wawan Arif Rahmat. Foto: Widi RH Pradana
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DIY, Wawan Arif Rahmat, mengatakan bahwa dalam relasi model penerbitan berbayar posisi penulis memang cukup rentan. Apalagi saat ini semakin banyak penulis-penulis pemula yang ingin sekali segera menerbitkan karyanya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, hari ini sebenarnya model penerbitan berbayar seperti itu sudah jadi pemandangan yang wajar, bahkan tumbuh subur di dunia penerbitan di Indonesia. Dalam dua tahun terakhir saja, anggota baru IKAPI DIY menurut dia didominasi oleh profil penerbitan dengan model berbayar.
“Makanya perlu kita verifikasi keberadaannya, alamat penerbitnya, contoh terbitan, bahkan sampai dokumen-dokumen badan hukumnya,” kata Wawan Arif Rahmat.
Pada dasarnya, apapun model kerja sama yang disepakati oleh penerbit dan penulis menurut, kedua pihak menurut dia harus melakukan pertimbangan secara terpisah dan berdiskusi secara detail terkait hak dan kewajiban masing-masing.
“Hal ini dimaksudkan untuk menghindari atau meminimalisir kesalahpahaman saat kerja sama berlangsung serta mengantisipasi beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi setelah buku diterbitkan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT