Keraton Sebut Pasar Malam Tak Relevan dengan Sejarah dan Tradisi Sekaten

Konten Media Partner
26 Oktober 2021 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pasar malam. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pasar malam. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meski sejak 2019 pasar malam sekaten di Alun-alun Utara dihapuskan, bukan berarti tradisi sekaten sepenuhnya dihapuskan. Penghapusan pasar malam disebut tidak mengurangi esensi dari tradisi sekaten yang diadakan setiap tahun di Yogyakarta pada saat Maulid Nabi Muhammad SAW. Bahkan lebih jauh, pasar malam di perayaan sekaten tak relevan dengan sejarah dan makna sekaten yakni syiar Islam dengan sarana gending-gending Jawa.
ADVERTISEMENT
Penghageng Kawedanan Hageg Punokawan Kridhomardowo, Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro, mengatakan bahwa tradisi sekaten sudah dilakukan sejak ratusan tahun silam sejak zaman Kerajaan Demak. Saat itu, gamelan yang bernama Kiai Sekati ditabuh di Masjid Agung Demak.
“Dari situ kemudian disebut sekaten, karena sekatian jadi sekaten,” kata KPH Notonegoro dalam Rembag Kaistimewan yang digelar Paniradya Kaistimewan, Rabu (20/10).
Bahkan, dari studi artefak yang ada, usia gamelan Kiai Sekati usianya sudah jauh lebih tua diperkirakan sudah ada sejak zaman Majapahit. Ada pula sejumlah temuan yang mengatakan kalau tradisi ini sudah ada sejak zaman Majapahit. Namun, ketika Islam mulai masuk ke Jawa, tradisi sekaten dialihfungsikan untuk memperingati Maulid Nabi dengan mengeluarkan Kiai Sekati ke masjid agung dan ditabuh di sana.
ADVERTISEMENT
“Jadi esensinya itu adalah memperingati Maulid Nabi, kemudian sarananya itu adalah dengan gending-gending, dengan gamelan yang dibunyikan,” lanjutnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, masyarakat umum memaknai sekaten hanya sekadar pasar malam di Alun-alun Utara. Padahal, menurut KPH Notonegoro, usia pasar belum sampai seratus tahun yang digelar sebagai inovasi untuk meramaikan tradisi sekaten yang bisa saja berubah seiring berjalannya waktu.
“Tapi esensi sekaten sendiri dari ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu bukan itu (pasar malam),” ujarnya.
Pasar Malam Dianggap Tak Relevan
Rembag Kaistimewan yang digelar Paniradya Kaistimewan, Rabu (20/10). Foto: Widi Erha Pradana
Hal serupa disampaikan oleh Wakil Penghageng II Kawedanan Hageng Punokawan Widyobudaya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Rinto Isworo. Karena merupakan kerajaan Islam yang bernuansa Jawa, sekaten pada mulanya memang ditujukan untuk menyiarkan agama Islam.
ADVERTISEMENT
Dalam perayaannya, masyarakat dikumpulkan di masjid untuk mendengarkan bunyi gamelan, setelah itu para wali menyiarkan tentang ajaran Islam seperti siapa itu Nabi Muhammad SAW, bagaimana cara masuk Islam, serta hidup secara islami.
Sementara itu, pasar malam merupakan kebijakan dari Pemerintah Kota dalam rangka memeriahkan tradisi tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata pasar malam berkembang menjadi sangat meriah dengan diisi berbagai acara seperti dangdutan dan sebagainya.
“Inti perayaan sekaten itu adalah syiar Islam. Sehingga tidak tepat kalau ada perayaan sekaten kok di sini orang-orang dangdutan dengan terlampau vulgar,” kata KRT Rinto Isworo.
Sampai saat ini, tradisi sekaten menurutnya juga terus dilakukan di lingkungan Keraton Yogyakarta setiap tanggal 5, atau malam tanggal 6 Rabiul Awal atau bulan Mulud, sampai tanggal 11 atau malam tanggal 12. Pada hari pertama, gamelan Kiai Sekati atau yang di Yogya dikenal dengan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nogo Wilogo dimiyoskan atau dikeluarkan ke Bangsal Kemandungan Lor atau Bangsal Ponconiti di Keraton Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Di situlah gamelan pusaka dibunyikan pertama kali sehingga orang menyebut unguling gongso sekaten sepisanan atau miyos gongso,” lanjutan.
Pada prosesi itu, orang beramai-ramai makan sirih. Mereka percaya, dengan makan sirih dapat mengabulkan doa mereka kepada Tuhan seperti dimudahkan rezeki, diberikan kesehatan, enteng jodoh, dan sebagainya.
Setelah prosesi itu, gamelan dikeluarkan atau diusung ke masjid atau komplek masjid. Kanjeng Kiai Guntur Madu yang lebih senior diletakkan di sebelah selatan, sedangkan di utara ada tempat khusus untuk Kanjeng Kiai Nogo Wilogo. Selama prosesi sekaten, dari tanggal 6 sampai tanggal 12 gamelan akan dibunyikan setiap hari pada jam-jam tertentu. Pada hari Jumat, dan tiap adzan shalat, maka gamelan akan berhenti dibunyikan.
“Ini sebagai penghormatan kepada Kanjeng Nabi Muhammad, ini khas Jawa,” ujar KRT Rinto Isworo.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sebenarnya tidak ada masalah dengan inovasi-inovasi dalam rangka memeriahkan tradisi sekaten. Namun, inovasi tersebut harus selaras dengan esensi dari tradisi sekaten sebagai bentuk syiar agama Islam. Jika inovasi yang dilakukan bertentangan, seperti mengadakan konser dangdut yang terlalu vulgar, maka hal itu tidak bisa diterima lagi.
Bukan Sekadar Rame-rame
Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dalam perayaan Sekaten. Foto: Kratonjogja.id
Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Paniradya Kaistimewan DIY, Ariyanti Luhur Tri Setyarini, mengatakan bahwa setiap tradisi atau upacara budaya yang ada di Yogyakarta selalu mengandung filosofi atau nilai yang adiluhung. Karena itu, dia menyayangkan jika tradisi sekaten hanya dimaknai sebagai pasar malam yang sebenarnya bahkan bukan esensi dari sekaten itu sendiri.
“Jadi bukan rame-ramenya itu yang jadi esensi, tapi nilai yang ada atau filosofi dari setiap langkah yang dilakukan di dalam upacara-upacara itu,” ujar Ariyanti Luhur Tri Setyarini.
ADVERTISEMENT
Misalnya di dalam sekaten terdapat tradisi makan sirih atau yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan nginang. Ketika orang nginang, maka akan merasakan getirnya buah jambe, pahitnya enjet atau kapur dan tembakau, pedasnya sirih, dan sebagainya.
“Itu yang harus kita rasakan dalam hidup,” ujarnya.
Nilai-nilai itulah yang menurut dia perlu ditekankan dan disampaikan kepada generasi saat ini, bukan justru pesta hura-hura yang hanya berisi kesenangan semata. (Widi Erha Pradana / YK-1)