Kisah Mulyono, 6 Bulan Semedi Mencari Wangsit di Sendang Semanggi, Bantul

Konten Media Partner
24 April 2021 16:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mulyono di depan Sendang Semanggi. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Mulyono di depan Sendang Semanggi. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Mulyono, 44 tahun, sudah 6 bulan semedi di Sendang Semanggi, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Apa yang membuat Mulyono begitu lama di tempat wingit yang begitu banyak cerita tentang makhluk-makhluk tak kasat mata itu?
ADVERTISEMENT
Siang itu masih pukul dua lebih sedikit. Meski hanya beberapa meter dari perkampungan warga, tetapi aura yang ada di sekitar Sendang Semanggi sangat berbeda. Apalagi di bibir pintu masuk sendang terdapat rumah tua yang entah sudah berapa tahun tidak dihuni. Di dekat rumah itu, terdapat dua pohon mengapit jalan setapak menuju sendang yang dibalut kain poleng kotak-kotak.
Melewati dua pohon berkain poleng yang ibarat pintu gerbang menuju sendang itu, seketika kebisingan dari perkampungan dan jalan raya seperti lenyap. Yang terdengar tinggal suara-suara burung dan serangga, derit batang pohon yang ditiup angin, serta suara dedaunan yang saling bergesekan.
Sejuk, bahkan cenderung dingin. Padahal siang itu langit Jogja sedang terik-teriknya. Rimbunnya pepohonan di sekitar sendang membuat terik siang itu tidak terasa. Apalagi ada dua pohon preh tua dengan ukuran besar yang mengapit mata air Sendang Semanggi. Membuat hari yang belum terlalu sore itu terasa seperti sudah menjelang maghrib. Hanya seberkas-seberkas cahaya saja yang bisa menembus rimbunnya pepohonan di sekitar sendang.
ADVERTISEMENT
Tak jauh dari mata air, terdapat sebuah bangunan berukuran memanjang tanpa tembok di bagian depan, seperti pos kamling namun sedikit lebih besar. Di sanalah Mulyono sedang duduk bersila seorang diri.
“Saya cuma doa-doa di sini,” jawabnya ramah, Jumat (2/4).
Pakaiannya serba hitam, dari ikat kepala, kemeja, sampai celana. Di depannya tak ada cemilan, barang pisang goreng atau sekadar keripik singkong. Dia hanya membawa sebotol air putih, sebungkus rokok menthol, serta obat nyamuk oles untuk melindungi tubuhnya dari gigitan nyamuk kebon yang sangat ganas.
“Sudah enam bulanan (semedi). Enggak setiap hari, kalau ada hajat dan ada panggilan saja. Kadang seminggu sekali, kadang dua atau tiga kali seminggu,” jawabnya ketika ditanya sudah berapa lama melakukan semedi di Sendang Semanggi.
ADVERTISEMENT
Biasanya dia memulai semedi sekitar pukul 12 siang sampai menjelang maghrib. Hari itu tidak ada doa khusus yang dia panjatkan. Ketika ada doa khusus dan sudah mulai ritual, maka dia sudah tidak bisa diganggu. Sudah fokus.
“Saya wiridan bisa sampai tiga jam (kalau sedang ada hajat), doa-doanya juga doa-doa Jawa sama dari Al-Quran,” kata Mulyono.
Mencari Ketenangan Agar Doa Lebih Kusyuk
Sendang Semanggi dengan 2 pohon preh yang sangat besar. Foto: Widi Erha Pradana
Mulyono sudah sekitar dua puluh tahun mendalami spiritual Jawa. Dan sejak satu dekade terakhir, dia mulai aktif melakukan semedi ke tempat-tempat keramat di DIY. Dia pernah bersemedi di Sendang Kasihan, Bathok Bolu, Sendang Beji, terakhir sebelum ke Sendang Semanggi, dia bersemedi di Rowo Aji di kawasan Pantai Parangkusumo.
Ketika bersemedi di Parangkusumo, sekitar pukul setengah dua dini hari, badannya terasa panas dingin dan gemetar tak keruan. Singkat cerita, ternyata Mulyono dimasuki oleh sosok rsi bernama Rsi Wonojiwo. Dia seperti mendengar sebuah bisikan dalam bahasa Jawa, ‘Koe kudu mbangun jiwo, bangunen rohmu’.
ADVERTISEMENT
Dari bisikan itu dia kemudian ingat bahwa di daerah Bangunjiwo ada sebuah sendang di Gunung Sempu, yang tidak lain adalah Sendang Semanggi. Sejak saat itulah dia mulai melakukan semedi di Sendang Semanggi sampai saat ini.
“Saya datang ke suatu tempat itu nunggu dhawuh (perintah),” ujar Mulyono.
Benar saja, pertama kali menginjakkan kakinya di area Sendang Semanggi, dia merasakan ketenangan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dan itulah yang dia cari, dia butuh ketenangan supaya bisa fokus untuk melangitkan doa-doanya. Sebab, di tempat-tempat lain sekarang menurutnya sudah banyak gangguan, terutama karena sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan negatif seperti pacaran.
“Kan sepi biasanya tempatnya, banyak yang dipakai buat pacaran. Secara ghaib di sini (Sendang Semanggi) juga lebih klop,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, hal tersebut yang kurang dipahami orang kebanyakan, sehingga ketika melihat ada orang yang melakukan semedi sepertinya, langsung dituduh syirik. Padahal menurut dia, tempat terbaik untuk berdoa adalah di alam.
Di alam, dia merasa lebih tenang sehingga bisa lebih fokus untuk berdzikir dan berdoa. Dan hanya dari sunyilah, suara-suara suci bisa terdengar.
“Syirik tidak itu kan urusan hati, caranya boleh beda-beda tapi kan tujuannya tetap ke Tuhan. Kanjeng Nabi saja dapat wahyu pertama di gua, di tempat yang sunyi, masa iya Kanjeng Nabi syirik?” kata Mulyono yang kemudian mengisap dalam rokoknya yang dia pasang pada sebuah pipa kayu.
Kuatnya Aura Gaib di Sendang Semanggi
Dua pohon preh berukuran raksasa di atas sumber air Sendang Semanggi. Foto: Widi Erha Pradana
Aura mistik tak hanya datang dari dua pohon preh tua yang mengapit mata air, tapi ada juga semacam angkul-angkul seperti pintu gerbang khas Bali yang dibuat dari batu tua. Di dekat pagar sendang yang terbuat dari batu bata tua juga terdapat tempat meletakkan sesaji, lengkap dengan bakaran kemenyan yang sudah menggunung hitam.
ADVERTISEMENT
Bulu kuduk siapa yang tak merinding dengan suasana seperti itu?
Awal-awal semedi di Sendang Semanggi, Mulyono juga mengaku sempat diserang oleh penunggu salah satu pohon beringin yang ada di sekitar sendang. Saat itu, selepas maghrib. Tetiba badannya seperti mendapat pukulan, ada yang mencoba masuk ke tubuhnya. Seketika dia mual, dan muntah-muntah, beruntung Mulyono bisa mengendalikannya sehingga serangan itu bisa dia tangkal.
Dia mengaku sudah tidak kaget lagi dengan berbagai penampakan. Pengalaman sepuluh tahun lebih semedi dari satu tempat ke tempat lain, membuatnya sudah terbiasa dengan berbagai rupa makhluk halus.
Di Sendang Semanggi, dia juga mengaku sering melihat berbagai jenis penampakan. Dari makhluk hitam menyerupai gorila, pocong, sampai genderuwo, dan itu dia lihat di siang hari. Ketika malam, menurutnya energi di sendang itu akan berkali lipat lebih kuat.
ADVERTISEMENT
“Saya juga belum berani kalau malam, baru nanti kalau ada dhawuh, kalau sekarang belum,” ujarnya.
Tak Pernah Berdoa Berumur Panjang
Ada hal yang bikin Mulyono resah sampai ia menginginkan ketenangan. Ia mengaku, keselamatan keluarga dari pandemi hal pertama yang bikin pening. Hal kedua: soal pekerjaan.
“Kalau yang kedua masalah proyek, pekerjaan,” lanjutnya.
Dia mengaku sering dimintai pertolongan oleh banyak orang untuk berbagai tujuan, terutama untuk masalah kelancaran rezeki. Ada yang ingin proyeknya menang tender, ada yang ingin dapat investor, ada yang baru akan memulai usaha, dan sebagainya. Dan tugas Mulyono adalah mendoakan hajat mereka.
“Doanya tetap tujuannya ke Gusti Allah,” kata dia sebelum dituduh syirik.
Tidak jarang, dia juga dimintai pertolongan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, terutama penyakit yang berasal dari kiriman, sebutlah santet. Yang terbaru, dia dimintai tolong untuk mengobati penyakit pasien yang sudah berhari-hari dirawat di rumah sakit tanpa diagnosa yang jelas dan tak kunjung sembuh.
ADVERTISEMENT
“Saya minta dia ikutin laku saya, kalau membaik berarti memang ada yang jahil. Tapi kalau enggak ada bedanya, berarti itu urusannya medis, bukan kapasitas saya,” ujarnya.
Pasien itu kemudian mengikuti serangkaian laku dan ritual yang diarahkan oleh Mulyono. Singkat cerita, pasien itu sembuh setelah menjalani ritual terakhir: meminum air kelapa yang telah dilumuri minyak rahasia di sekujur kulitnya.
“Ini dari keringat menjangan jantan sama betina yang dicampur,” kata dia sambil menunjukkan botol kecil berisi cairan berwarna cokelat tua.
Sejauh ini, setelah enam bulan semedi di sana, Mulyono merasa kerasan dan cocok dengan energi yang ada di Sendang Semanggi. Dari semua doa dan hajat yang dia panjatkan, sebagian besar terkabul. 70 persen petunjuk yang dia dapatkan selama semedi di sendang itu, berakhir dengan keberhasilan.
ADVERTISEMENT
“Saya enggak tahu itu kebetulan atau gimana, tapi nyatanya begitu. Mungkin karena itu juga sendang ini dinamai Sendang Titis (selain Sendang Semanggi), karena petunjuknya memang titis, tepat, kalau bahasa Jawa pener,” kata dia.
Tapi ada satu doa yang tidak pernah dia panjatkan: meminta untuk diberi umur panjang. Agak berbeda dengan doa-doa orang kebanyakan, yang setiap tahun doa pertama pasti ‘semoga panjang umur’. Beberapa kali Mulyono diminta untuk membantu mengobati seseorang yang usianya sudah sangat tua, antara 80 sampai 90 tahun.
Selama sepuluh tahun terakhir, orang tersebut menurut Mulyono sudah sakit-sakitan. Berkali-kali masuk rumah sakit, namun tak pernah benar-benar sembuh. Memang, tak ada obat yang bisa benar-benar menyembuhkan penyakit karena faktor usia selain kematian.
ADVERTISEMENT
Mulyono melihat umur panjang menjadi sesuatu yang mengerikan. Nyaris tak ada keindahan dan kenikmatan hidup di umur tua. Dia hanya berdoa untuk diberikan kesehatan dan umur yang bermanfaat.
“Karena setelah saya telusuri, ternyata semasa hidupnya orang itu doanya minta dikasih umur panjang,” kata Mulyono.
Barangkali benar kata Soe Hok Gie, bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Kedua, dilahirkan tapi mati muda. Dan yang paling sial adalah dia yang mati tua.
Spiritualis, Bukan Dukun
Permukaan air Sendang Semanggi. Foto: Widi Erha Pradana
Mulyono menolak disebut dukun meski ia banyak membantu banyak urusan orang. “Saya spritualis, bukan dukun,” elaknya.
Sebatang rokok lagi dia ambil dari bungkusnya. Entah sudah batang ke berapa. Sembari memasukkan rokok ke lubang pipanya, dia menjelaskan beda dukun dan pelaku spiritualis.
ADVERTISEMENT
Dukun, menurut dia sudah menggunakan kekuatan jin atau bahkan iblis untuk mencapai tujuannya. Biasanya, syaratnya aneh-aneh. Sedangkan pelaku spiritualis, menurutnya hanya meminta petunjuk dan memanjatkan doa pada Tuhan. Tak jauh berbeda dengan para pemuka agama, bedanya pemuka agama biasanya memanjatkan doa-doa di tempat ibadah, namun Mulyono memanjatkan doanya di tempat-tempat sunyi, terutama di alam.
“Semua tempat di Bumi sejatinya kan tempat ibadah. Berdoa bisa di mana saja, yang penting tujuannya ke mana,” kata dia.
Hari mulai sore. Hampir dua jam Mulyono bercerita pengalamannya selama menjalani laku spiritual, bercerita tentang ilmu-ilmu Jawa, santet, sampai pelet. Jam sudah mendekati pukul lima sore. Itu artinya, sudah saatnya Mulyono melakukan ritual penutup dan mandi di sendang sebelum pulang. “Enggak bisa sembarangan kalau mau menjalani kayak gini, prosesnya panjang, enggak bisa langsung. Kalau dipaksain, malah bisa gendheng (gila),” kata Mulyono.
ADVERTISEMENT