Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kreator Makin Banyak, Yogya Butuh Bioskop Khusus untuk Putar Film Dokumenter
20 November 2022 19:52 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Festival Film Dokumenter (FFD) kembali digelar di Yogyakarta secara offline setelah dua tahun sebelumnya harus digelar secara hibrid karena pandemi.
ADVERTISEMENT
Direktur Festival Film Dokumenter (FFD) 2022, Kurnia Yudha Fitranto, mengatakan bahwa terbatasnya ruang putar film dokumenter masih menjadi isu utama di dunia perfilman dokumenter, termasuk di Yogyakarta. Terbatasnya ruang-ruang putar yang tersedia dan representatif itu membuat akses masyarakat untuk bisa menonton film dokumenter juga sangat sedikit.
“Karena kalau mau memasukkan film dokumenter ke bioskop konvensional kan hari ini masih belum memungkinkan, karena sudah sangat komersil,” kata Kurnia Yudha saat ditemui, Jumat (18/11).
Akhirnya, selama ini kreator-kreator film dokumenter memilih ruang-ruang putar alternatif, misalnya melalui jalur festival. Sayangnya, festival-festival tersebut belum bisa dijangkau oleh masyarakat luas.
“Sehingga konsumen film-film dokumenter masih sangat segmented,” lanjutnya.
Konsumen yang masih sangat terbatas juga membuat para kreator film dokumenter kebanyakan masih sangat bergantung pada pendanaan-pendanaan pihak luar, sedikit yang sudah bisa mendapat keuntungan atau sekadar mengembalikan biaya produksi dari konsumennya.
ADVERTISEMENT
Karena itu, Kurnia Yudha mengatakan bahwa perlu ada ruang-ruang putar yang disediakan khusus untuk menampilkan dan memasarkan film-film dokumenter.
“Sekarang kreator film dokumenter semakin banyak, tapi pertambahan ruang putarnya nyaris tidak ada,” kata dia.
Menurutnya, ada beberapa ruang di Yogya yang dapat diintervensi sehingga layak untuk dijadikan ruang putar untuk film-film dokumenter. Selama ini, ruang-ruang yang biasa digunakan untuk memutar film dokumenter terbatas pada IFI-LIP dan Societed di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Padahal, ada ruang-ruang yang selama ini tidak terpakai namun sebenarnya bisa dipoles untuk menjadi alternatif ruang putar baru. Misalnya eks bioskop Permata, yang saat ini juga digunakan untuk menampilkan film-film di FFD 2022 setelah 12 tahun tak pernah digunakan.
ADVERTISEMENT
“Ruang-ruang seperti itu yang sebenarnya bisa dimanfaatkan, apalagi jika itu milik pemerintah kan akan semakin mudah perizinan dan pengelolanya sebenarnya,” ujarnya.
Dengan adanya bioskop khusus untuk film dokumenter, maka ada kemungkinan model pendanaan lain yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupi dapur produksi film dokumenter.
“Misal kita bisa tayangkan film-film dokumenter dan bisa ditonton masyarakat dengan beli tiket, mirip dengan di bioskop konvensional tapi tentu dengan harga yang lebih murah. Model seperti itu yang sedang ingin kita bangun sebenarnya selain juga memanfaatkan platform digital berbayar,” kata Kurnia Yudha.
Dari segi SDM, Kurnia Yudha juga mengatakan bahwa kreator-kreator film dokumenter mesti meningkatkan keterampilan mereka, terutama dalam produksi dan story telling. Pasalnya, story telling merupakan salah satu kekuatan utama bagi film dokumenter.
ADVERTISEMENT
“Kalau isunya kuat, story-nya juga kuat, maka film dokumenter punya kekuatan lebih besar untuk menjangkau penggemar yang lebih luas,” tegasnya.