Lahir di Kultur Muhammadiyah, Nikah dengan Anak Kiai NU, Kini Caleg Partai Buruh

Konten Media Partner
22 Mei 2023 15:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tunas Nur Armina, 33 tahun, Bacaleg Partai Buruh Dapil 1 Bantul, DIY. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tunas Nur Armina, 33 tahun, Bacaleg Partai Buruh Dapil 1 Bantul, DIY. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Tunas Nur Armina, 33 tahun, tumbuh besar di Perumahan Nogotirto Sleman, bertetangga dengan Ahmad Syafii Maarif, ulama dan cendekiawan Indonesia yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Semasa remaja ia aktif di Tadarus Club, sebuah kelompok remaja Masjid Nogotirto yang kental dengan tradisi Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
“Begitu dewasa malah menikah dengan anak Kiai NU Krapyak, Bantul, jadi ya sebenarnya dalam perjalan hidup, saya bersyukur benar-benar mengalami langsung, sama sekali tanpa jarak, apa artinya menjadi Indonesia,” kata Tunas Nur Armina, di sela mengurus pendaftaran Bacaleg Partai Buruh, DPRD Bantul, pekan lalu.
Di Nogotirto, Tunas bercerita, selain dengan Buya Syafii, rumah orang tuanya juga bertetangga dengan pakar Hubungan Internasional (HI) UGM Mochtar Mas’oed, mantan rektor UNY Prof Suyanto, dan pakar Pendidikan Pancasila, Prof Kaelan. Dan pada umumnya, tokoh-tokoh di Nogotirto, lebih dekat dengan kultur Muhammadiyah.
“Tapi begitu menikah pada 2017 lalu, dan kemudian tinggal di Krapyak sebagai salah satu basis kuat pendidikan santri NU di DIY bahkan di nasional ya, saya ternyata ya gampang saja melebur dengan tradisi NU. Menjadi aktivis mahasiswa barangkali yang menjadi jembatan kultur saya,” kata Tunas.
Tunas Nur Armina, Bacaleg Partai Buruh Dapil 1 Bantul, DIY (nomor 3, barisan kiri), berkumpul bersama jaringan aktivis Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Foto: Istimewa
Semasa kuliah Jurusan Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Tunas, menjalani pengalaman hidup yang membawanya pada takdir hidup berikutnya hari ini.
ADVERTISEMENT
Sejak semester 1 pada September 2008 ia masuk kuliah, Tunas langsung bergabung dengan salah satu organisasi gerakan mahasiswa terbesar di Yogya, yakni Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Hari-harinya dipenuhi dengan diskusi, rapat aksi, demonstrasi, dan pendampingan masyarakat.
Tunas mengaku, pengalaman sebagai aktivis mahasiswa ini membuatnya bertemu dengan mahasiswa dengan aneka latar belakang budaya, agama, dan kondisi ekonomi. Menjadi aktivis juga membuatnya bertemu dengan pertanyaan dasar manusia, apapun agamanya, yakni bagaimana hidup dengan bahagia, dunia dan akhirat.
“Setelah lulus kuliah, kerja sebagai lawyer, lalu menikah, sebenarnya tak pernah terlintas untuk kembali berjuang untuk publik. Sebagai lawyer pun saya bekerja di bukan di kantor lawyer publik seperti di LBH. Tapi nyatanya sekarang saya seperti ditarik kembali untuk mengurusi urusan publik, mungkin ini garis Tuhan, saya tidak tahu. Iklhas saja, jalani saja,” papar Tunas.
Tunas Nur Armina, Bacaleg Partai Buruh Dapil 1 Bantul, DIY, (nomor 2 dari kiri) mendaftar ke KPU Bantul. Foto: Istimewa
Ya, Tunas, memutuskan untuk bergabung menjadi Bakal Calon Legislatif (Bacaleg) Partai Buruh untuk Daerah Pemilihan (Dapil) 1 DPRD Bantul pada Pemilu 2024 nanti. Area Dapil 1 tersebut meliputi 2 Kecamatan yakni Kecamatan Sewon (termasuk Desa Krapyak tempat ia tinggal bersama istri) dan Kecamatan Bantul Kota.
ADVERTISEMENT
“Partai Buruh partai baru dan isinya para aktivis teman-teman yang saya tahu benar hidupnya diserahkan sepenuhnya untuk mengurusi masyarakat sejak mereka mahasiswa sampai sekarang. Saya sempat pause sejenak untuk merintis karir profesional, tapi saya kira sebagai lawyer profesional saya bisa ikut membantu memperkuat Partai Buruh, menyusun fundamental organisasinya, dan memenangkan suara,” jelas Tunas.
Pengalamannya hidup dalam 2 tradisi besar agama di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, dan kemudian menjadi aktivis mahasiswa dan bekerja sebagai lawyer profesional, menurut Tunas, relatif cukup untuk mendorong penyelesaian masalah, terutama, di Dapilnya, Dapil 1 Kabupaten Bantul.
“Masalah klasik dan paling rumit di Bantul, dan DIY pada umumnya, yakni masalah kemiskinan dan yang bekerja pun rentan miskin karena bekerja di sektor informal yang penuh ketidakpastian,” kata Tunas Nur Armina.
ADVERTISEMENT
Hunian Vertikal Murah di Atas Pasar Bagi Buruh dan Pekerja Informal
Ilustrasi hunian vertikal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto: Kemen PUPR
Sebagai bakal calon legislatif (bacaleg), Partai Buruh Bantul, Tunas akan bertarung di wilayah yang secara kultur lebih dekat dengan kultur mertuanya. Menolak menyebutkan nama mertuanya, Tunas mengatakan, bagaimanapun juga, khusus di Kecamatan Sewon ia akan banyak berkolaborasi dengan kaum santri.
Sementara, di Kecamatan Bantul Kota, Tunas mengaku akan banyak berjejaring dengan para pemimpin serikat buruh dan organisasi-organisi pekerja informal seperti persatuan pedagang pecel lele, pedagang pasar, dan pekerja serabutan.
Menurut Tunas, data menunjukkan bahwa kemiskinan di Dapilnya masih cukup tinggi. Yang berarti musti ada kolaborasi yang kuat antara kultur santri dan kultur buruh serta pekerja informal untuk sama-sama keluar dari masalah kemiskinan.
ADVERTISEMENT
“Data BPS 2022 menyebutkan, ada 130 ribuan penduduk miskin di Bantul dan 70 persen tinggal di perkotaan, itu artinya di Dapil saya, yakni di Kecamatan Sewon dan Kecamatan Bantul Kota, masih banyak yang miskin. Jadi sudah jelas kan apa yang harus saya perjuangkan,” kata Tunas.
Penyumbang terbesar kemiskinan adalah masih rendahnya pendapatan masyarakat namun harga makanan dan rumah tinggal serta kos-kosan naik lebih cepat dari rata-rata kenaikan pendapatan.
Tunas Nur Armina, Bacaleg Partai Buruh Dapil 1 Bantul, DIY, (nomor 2 dari kiri) bersama tim advokat di kantor tempat ia bekerja. Foto: Istimewa
Maka menurut Tunas, selain isu-isu perburuhan, ada hal yang spesifik dan sangat lokal, bagaimana menaikkan pendapatan masyarakat di Dapil 1 Bantul dan mengurangi pengeluarannya.
“Kita akan mendorong hunian vertikal yang dibangun di atas pasar khusus untuk buruh dan pekerja informal. Kami sudah bicara dengan otoritas dan developer di Bantul, hanya itu yang mungkin untuk menurunkan biaya kos-kosan atau hunian di Sewon dan Bantul Kota. Kenapa di atas pasar? Agar belanja sembako juga murah,” jelas Tunas.
ADVERTISEMENT
Menurut Tunas, dengan isu hunian dan sembako murah, pada akhirnya buruh dan pekerja informal akan memiliki alokasi lebih untuk makin memutar sumber-sumber pendapatan lainnya.
“Kalau hunian murah dan mudah dijangkau, otomatis akan menciptakan pusat-pusat ekonomi kecil baru, itu sudah pasti,” kata Tunas.
Dan yang tidak kalah penting, menurut Tunas, adalah memastikan buruh mendapat seluruh jaminan sosial yang telah ditetapkan UU. Dan bagi pekerja informal ia akan berjuang untuk bisa mendapatkan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan hari tua.