Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Layang-Layang Asia, Burung Migran di Yogya yang Asalnya Masih Misterius
28 Januari 2023 19:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Burung layang-layang asia (Hirundo rustica), burung migran yang selalu singgah setiap tahun di Yogya ternyata masih jadi misteri asal-usulnya. Sampai kini, belum bisa dipastikan dari negara mana ribuan burung migran itu berasal.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh peneliti burung dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Pramana Yuda yang aktif meneliti tentang burung layang-layang asia di Yogya. Pramana Yuda mengatakan, sampai saat ini belum ada data yang terekam tentang negara asal burung layang-layang asia tersebut.
“Kita belum tahu persis dari daerah mana mereka berasal, yang pasti dari daerah temperate, daerah-daerah yang beriklim empat musim,” kata Pramana Yuda saat ditemui di tengah aktivitas pencincinan burung layang-layang asia di Museum Sonobudoyo Yogya pekan ini.
Ada beberapa negara yang diperkirakan sebagai tempat asal burung layang-layang asia di Yogya, mulai dari China, Jepang, Mongolia, Rusia, hingga Siberia. Sebab, selain memiliki empat musim, di negara-negara tersebut juga terdapat populasi burung layang-layang asia.
ADVERTISEMENT
“Tapi kalau yang di Jogja ini asalnya dari mana, sampai sekarang belum ada data yang terekam,” lanjutnya.
Sebenarnya sudah ada upaya untuk mencari tahu dari mana kawanan layang-layang asia itu berasal, salah satunya menggunakan metode binding atau pencincinan seperti yang dilakukan Pramana Yuda dan tim dari Paguyuban Pengamat Burung Jogja (PPBJ) pekan ini. Cincin yang dipasang di kaki burung dengan kode khusus, harapannya dapat diidentifikasi di negara lain oleh peneliti di negara tersebut sehingga data sebarannya bisa direkam.
“Tapi sampai sekarang belum ada burung yang kami pasangi cincin yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti lain, kami juga belum pernah menjumpai burung bercincin yang berasal dari negara lain,” ujarnya.
Hal itu karena jumlah burung layang-layang asia yang terlampau banyak, di sisi lain jumlah yang berhasil dicincini masih sangat terbatas. Apalagi tidak semua orang bisa memberi cincin, hanya orang-orang dengan lisensi khusus yang boleh memberi mereka cincin.
ADVERTISEMENT
Untuk mengidentifikasi burung yang telah diberi cincin, peneliti juga harus menangkap ulang burung tersebut. Sebab, cincin yang dipasang di kaki layang-layang asia terlampau kecil sehingga tidak bisa dilihat dari jarak jauh. Berbeda dengan burung air atau burung pantai yang memungkinkan untuk memasang cincin berwarna di kakinya, sehingga bisa kita lihat dari jauh.
“Dari ribuan burung, peluang menangkap ulang burung yang sudah diberi cincin kan jadinya sangat kecil,” kata dia.
Selain pencincinan, sebenarnya ada teknologi lain yang bisa digunakan untuk merekam jalur migrasi burung, misalnya menggunakan teknologi GPS. Namun, untuk mengetahui jalur migrasi yang telah dia lewati, burung tersebut tetap harus ditangkap ulang karena GPS hanya akan mencatat rute penerbangan burung namun tidak bisa memancarkan data.
ADVERTISEMENT
“Jadi sama saja sulit, karena kita tetap harus menangkap ulang dan peluangnya masih sangat kecil,” lanjutnya.
Ada cara lain yang lebih canggih, yakni menggunakan teknologi berbasis satelit. Nantinya, pada tubuh burung harus diberi transmitter yang akan memancarkan sinyal receiver ke satelit dengan frekuensi tertentu. Dari satelit, data akan diteruskan ke server peneliti yang memasang. Namun teknologi itu belum pernah diterapkan untuk burung layang-layang asia.
“Karena harus ada provider yang menyediakan jasa itu, dan biayanya sangat besar,” kata Pramana Yuda.