Masih Banyak Dusun Wunut-Wunut Lain di DIY: Tak Punya Jalan dan Terisolasi

Konten Media Partner
1 Oktober 2023 14:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masih banyak dusun-dusun lain di DIY yang nasibnya sama dengan Wunut. Wilayah-wilayah yang terpencil dan tertinggal, serta tak pernah mendapat perhatian.
Jalan di Dusun Wunut, Sriharjo, Bantul. Foto: AR
Pak Sukir adalah salah satu penghuni Dusun Wunut di Kalurahan Sriharjo, Imogiri, Bantul. Dia tinggal di atas bukit. Selama puluhan tahun dia selalu kesulitan untuk bertemu dengan anaknya, yang sebenarnya masih tinggal di satu desa hanya saja masih di bawah bukit.
ADVERTISEMENT
Tak adanya jalan yang layak membuatnya sulit kemana-mana. Untuk bertemu dengan anaknya, dia harus jalan kaki memutar selama berjam-jam. Sebenarnya bisa lebih dekat, tapi dia harus memotong jalan lewat tengah hutan yang terjal dan tentu berbahaya.
Dulu, Pak Sukir sebenarnya juga tinggal di bawah bersama anaknya. Hingga sekitar tahun 1986, desanya kebanjiran. Sejak saat itu, dia memutuskan untuk pindah ke atas bukit, dengan harapan tidak kebanjiran lagi.
Memang, selama tinggal di Dusun Wunut atas dia tak pernah kebanjiran. Tapi konsekuensinya, dia harus tinggal terisolir dan sulit untuk kemana-mana.
“Selama tinggal di atas hampir tidak pernah dikunjungi oleh tetangga, karena tidak ada jalan, mau lewat mana? Pak Sukir punya anak tinggal di bawah, kalau diminta jenguk orang tuanya di atas enggak mau, lebih baik bapak yang turun ke bawah,” kata Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanto, menceritakan ulang kisah pertemuannya dengan Pak Sukir beberapa tahun silam.
Wakil Ketua DPRD DIY, Suharwanto. Foto: AR
Wawancara dengan Suharwanto dilakukan pada akhir Juni lalu dan pada 14 Juli lalu Suharwanto meninggal dunia karena sakit.
ADVERTISEMENT
Kisah Pak Sukir yang kesulitan bertemu dengan anaknya bukan satu-satunya kisah pelik akibat tak ada jalan. Ada sekitar 100 keluarga di RT 5 dan 6 yang selama puluhan tahun hidup seperti terisolasi, padahal jarak dusun mereka hanya sekitar 25 kilometer dari pusat kota Yogya.
Anak-anak mereka kesulitan untuk bersekolah, pelayanan kesehatan juga tidak menjangkau mereka, bahkan mereka yang sakit atau ibu hamil yang hendak melahirkan harus ditandu menuruni bukit untuk bisa ke puskesmas.
“Banyak cerita-cerita menyedihkan, karena setelah kita merdeka 75 tahun kok masih ada masyarakat yang belum punya jalan,” ujarnya.
Kini, penderitaan mereka sedikit berkurang. Jalan baru sepanjang lebih dari 1 kilometer menuju kampung mereka baru saja selesai dibangun. Anak-anak jadi lebih mudah berangkat sekolah, warga yang sakit atau hendak melahirkan tak perlu lagi ditandu lewat tengah hutan, dan Pak Sukir akan lebih mudah bertemu dengan anaknya untuk melepas rindu.
ADVERTISEMENT
Semua Berkorban demi Jalan Setapak yang Layak
Gotong royong warga dalam skema Padat Karya. Foto: AR
Dari pertemuannya dengan warga Wunut itulah Suharwanto mulai membahas rencana pembangunan jalan tersebut bersama warga setempat. Warga yang sudah puluhan tahun mengidam-idamkan adanya jalan yang layak sepakat untuk bekerja secara swadaya membangun jalan itu.
Entah berapa hektare tanah yang telah disumbangkan warga untuk membangun jalan, juga ratusan pohon kayu yang ditebang. Semuanya tak ada ganti rugi.
“Warga semangat untuk membangun jalan sehingga kita fasilitasi untuk bisa mencari solusi, termasuk menggunakan dana keistimewaan maupun dana APBD,” kata Suharwanto.
Gotong royong warga dalam skema Padat Karya. Foto: AR
Pada 2022 kemarin, bantuan pertama turun senilai Rp 40 juta dari Dana Keistimewaan. Dana tersebut hanya cukup untuk membuka jalan tanpa adanya pengecoran, itupun baru sekitar 300 meter yang berhasil dibuka dari total 1.200 meter yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, bantuan kembali turun, kali ini dari dana aspirasi senilai Rp 400 juta yang dibagi jadi dua paket untuk RT 5 dan RT 6. Bantuan itu diperuntukkan untuk melakukan pengecoran jalan.
Setidaknya 40 persen dari bantuan tersebut diperuntukkan untuk honor Hari Orang Kerja (HOK), upah masyarakat setempat yang ikut bekerja membangun jalan.
Tetapi ternyata masyarakat secara lebih luas juga ikut membantu baik dalam bentuk tenaga maupun bentuk swadaya lain tak terkecuali material yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan termasuk di luar jangka waktu pelaksanaan kegiatan padat karya karena mereka sangat mendambakan untuk bisa segera memiliki jalan yang bagus, atau minimal bisa dilewati sepeda motor.
“Kerja keras bareng-bareng ini cermin semangat gotong royong di desa ya,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Buah dari perjuangan itu akhirnya kini mereka punya jalan baru. Jalan beton setapak yang cukup dilewati oleh sepeda motor. Jalan yang mereka mimpikan selama puluhan tahun.
Masih Banyak Wunut-Wunut Lain di Yogya
Penampakan jalan Dusun Wunut sebelum dibangun jalan. Foto: AR
Suharwanto meyakini bahwa masih banyak dusun-dusun lain di DIY yang nasibnya sama dengan Wunut. Wilayah-wilayah yang terpencil dan tertinggal, serta tak pernah mendapat perhatian.
“Saya yakin masih banyak tempat di DIY yang serupa dengan Wunut, cuma selama ini tercecer, tertinggal, tidak terpantau, tidak diperhatikan secara baik,” ujarnya.
Wilayah terpencil seperti ini menurut Suharwanto memang tidak menarik secara politis. Secara elektoral, wilayah terpencil seperti Wunut tak memberi banyak keuntungan signifikan bagi para politisi karena jumlah penduduknya yang kecil.
“Tapi kita harus berpikir secara keadilan sosial, masyarakat yang punya hak untuk dibela oleh negara. Negara harus hadir di situ dan berada di tengah masyarakatnya,” lanjutnya.
Gotong royong warga membangun jalan dusun dalam skema Padat Karya. Foto: AR
Jika semua politisi hanya berpikir soal elektoral, maka wilayah-wilayah terpencil dan tertinggal seperti Wunut ini menurutnya tak akan pernah menikmati dampak pembangunan. Sebab, para politisi dan pejabat hanya akan fokus membangun di wilayah-wilayah dengan jumlah massa banyak sehingga bisa memberikan keuntungan elektoral yang besar juga untuk dirinya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Suharwanto juga pernah menangani masalah yang sama di Dusun Sorotopo, Pundong. Dusun itu juga ada di atas bukit yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Gunungkidul. Dari dusun itu, warga bisa melihat kantor kalurahan mereka. Tapi jika mau ke sana, mereka harus memutar ke selatan dulu turun ke Parangtritis lalu memutar lewat Kretek sejauh 15 kilometer.
“Tahun 2013 dengan anggaran Rp 2 miliar sudah saya tangani. Masyarakat di pinggiran secara psikis rendah diri dan tidak banyak menuntut, mereka sadar dan sudah biasa susah sehingga kondisi seperti itu tidak jadi persoalan, meski mereka sebenarnya memendam harapan,” kata Suharwanto.
Menurutnya, dengan adanya mekanisme pokir atau dana aspirasi yang dimiliki oleh anggota dewan, semua persoalan masyarakat di akar rumput mestinya bisa diselesaikan dengan mudah. Dengan catatan, para anggota dewan ini betul-betul menguasai permasalahan yang ada di masyarakat, sehingga dana yang dikeluarkan bisa betul-betul menyelesaikan masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Tidak sekadar kebutuhan elektoral saja. Saya kalau ada orang usul minta jalan aspal misalnya, saya datangi dulu, kalau sudah dicor blok, masih enak untuk dilewati maka saya tolak meski itu dapil saya,” tegasnya.
(Pandangan Jogja, pada Juni lalu, merekam bagaimana pembuatan jalan melalui mekanisme kegiatan Padat Karya Pemda DIY. Ini adalah laporan kedua dari 4 laporan yang akan terbit di Kumparan dan di Instagram dan tiktok Pandangan Jogja).