Konten Media Partner

Misteri Sendang Angin-angin, Mengalir dari Puncak Bukit Tertinggi Bantul Barat

30 Mei 2021 19:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sendang Angin-angin di Pajangan, Bantul. Foto: Widi Erha Pradana
zoom-in-whitePerbesar
Sendang Angin-angin di Pajangan, Bantul. Foto: Widi Erha Pradana
ADVERTISEMENT
Air yang jernih mengalir tenang dari bibir sebuah sendang atau mata air yang tidak terlalu besar. Sesekali, capung bersayap merah tua hinggap, mencelupkan ekornya di permukaan air yang tenang. Di kejauhan, suara burung terus berkicau dari balik rimbunnya dedaunan hijau di sekitar sendang yang dalamnya tak ada satu meter itu.
ADVERTISEMENT
Sendang itu bernama Sendang Angin-angin. Dari segi ukuran, sendang itu memang tidak terlalu besar. Tapi yang menjadi istimewa adalah karena Sendang Angin-angin mengalir dari atas bukit tertinggi di pegunungan Bantul Barat, tepatnya di Padukuhan Guwo, Desa Triwidadi, Pajangan, Bantul.
Sendang Angin-angin itu dikelilingi oleh batu yang disusun menyerupai tembok. Tampak tua dan sakral. Begitu juga dengan tangga batu yang menuju ke bibir sendang. Semua menyerupai bangunan-bangunan kuno pada zaman dahulu.
Juru kunci Sendang Angin-angin yang juga tokoh agama Padukuhan Guwo, Salimin, 46 tahun, mengemukakan bahwa Sendang Angin-angin sudah ada sejak zaman Mataram Islam era Panembahan Senopati.
Menurutnya, munculnya mata air Sendang Angin-angin tidak bisa dilepaskan dari seorang wali, yang sampai sekarang tidak diizinkan untuk diungkap sosoknya. Kala itu, sang wali sedang menempuh perjalanan dakwah, dan singgah di sebuah perkampungan di puncak bukit yang kini dikenal dengan nama Padukuhan Guwo itu.
ADVERTISEMENT
Kondisi Padukuhan Guwo kala itu gersang dan tandus. Warganya hidup dalam keadaan susah air, jauh dari kata sejahtera. Mengetahui ada sosok penting yang datang ke perkampungannya, warga kemudian menumpahkan keluh kesah tentang kesusahan-kesusahan mereka kepada sang wali.
“Waliyullah tersebut kemudian menancapkan tongkat pusakanya, dan atas izin Allah kemudian mengalir mata air dari sana yang sekarang jadi Sendang Angin-angin itu,” kata Salimin ketika ditemui di kediamannya, Senin (24/5).
Mata air tersebut terus mengalir tak mengenal musim dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar. Bahkan, masyarakat dari desa sekitar juga banyak yang menggantungkan hidupnya pada mata air tersebut.
Namun saat itu mata air itu belum bernama. Menurut Salimin, Retna Pembayun yang tidak lain putri Panembahan Senopati lah yang memberikan nama Sendang Angin-angin kepada mata air itu.
ADVERTISEMENT
Nama itu diberikan oleh Putri Pembayun ketika dia tengah menempuh perjalanan menuju Mangir. Di tengah perjalanan, dia singgah di Dusun Guwo dan menemukan mata air tersebut. Karena belum bernama, Putri Pembayun kemudian menamai sendang itu Sendang Angin-angin.
“Karena saat itu suasananya sejuk, banyak angin, jadi dinamailah Sendang Angin-angin,” lanjutnya.
Cerita Terhenti
Pusat Sendang Angin-angin. Foto: Widi Erha Pradana
Layaknya sendang-sendang tua, banyak juga yang mengeramatkan Sendang Angin-angin. Orang-orang entah dari mana saja, kerap datang untuk melakukan ritual di sendang tersebut. Ada yang bertujuan untuk tirakat dan beribadah, tak sedikit juga yang bertujuan supaya hajat hidupnya bisa dikabulkan.
“Yang tujuannya ibadah ada, yang untuk tujuan pribadi juga ada. Mungkin ingin kariernya lancar, bisnisnya lancar, penyakitnya sembuh,” kata Salimin tetiba menghentikan kata-katanya.
ADVERTISEMENT
Beberapa detik, Salimin menundukkan kepalanya, matanya terpejam.
“Sudah, segitu saja. Sudah ndak boleh lanjut,” ujarnya.
Dia kemudian memperlihatkan tangan dan kakinya yang merinding. Salimin mulai tampak tak nyaman untuk menceritakan lebih jauh tentang Sendang Angin-angin.
Menurut dia, sampai sekarang sendang Angin-angin memang belum boleh diceritakan secara gamblang.
Sang wali yang sampai sekarang dipercaya masih menjaga sendang itu, akan menghentikan siapapun yang berusaha membocorkan rahasia tentang Sendang Angin-angin. Yang mengetahui sosok sang wali juga masih sangat terbatas, tak semua orang boleh diizinkan untuk mendengar cerita tersebut.
“Ini untuk menghindari orang-orang kurang ajar yang nanti mengambil pusaka di Sendang Angin-angin. Karena kalau pusakanya diambil, nanti airnya akan kering,” kata dia.
Itu mengapa, sampai sekarang Sendang Angin-angin, terutama tentang cerita sejarah dan sisi spiritualnya masih ditutup. Tak banyak informasi yang terungkap. Beberapa informasi memang sudah ada di media, tapi menurut Salimin, banyak informasi tersebut yang salah bahkan menyesatkan.
ADVERTISEMENT
“Kalau ada orang yang tidak bertanggung jawab, yang kasihan nanti warga sini. Karena mereka juga akan terkena dampaknya,” ujar Salimin setelah menyalakan sebatang rokok filternya.
Mengubah Bukit yang Gersang Jadi Rindang
Dukuh Guwo, Mukiyo. Foto: Widi Erha Pradana.
Hingga tahun 1980-an, bukit di selatan Bantul, termasuk Padukuhan Guwo, adalah kawasan yang masih gersang. Tak banyak pepohonan di sana. Hanya ada pohon duwet, jambu, dan satu pohon sukun besar yang ada di dekat Sendang Angin-angin (sayangnya pohon gayam ini sudah tumbang karena termakan usia).
Baru pada sekitar tahun 1986, setelah ada dorongan dari pemerintah untuk dilakukan penghijauan, masyarakat mulai aktif menanam berbagai jenis pohon. Hasilnya, sejak tahun 1990-an, Padukuhan Gayam mulai menghijau.
“Sampai menang tingkat provinsi tahun 96 karena berhasil mempercepat penghijauan,” kata Dukuh Guwo, Mukiyo, 55 tahun.
ADVERTISEMENT
Karena mulai banyak ditumbuhi pepohonan, sekarang semakin banyak burung yang berterbangan di kawasan Padukuhan Guwo. Misalnya burung bud-bud, puyuh, kutilang emas, trucukan, perkutut, alap-alap, bahkan elang bido.
“Sekarang burung semakin banyak di sini setelah banyak pohon. Dilarang keras untuk diburu,” ujarnya.
Menjaga Mata Air Lewat Tradisi
Juru kunci Sendang Angin-angin yang juga tokoh agama Padukuhan Guwo, Salimin, 46 tahun. Foto: Widi Erha Pradana
Meski saat ini Dusun Guwo sudah terdapat akses air PAM, namun masih tetap banyak warga yang memanfaatkan air dari Sendang Angin-angin untuk kebutuhan sehari-hari. Ketika ada warga yang punya hajat, air dari sendang juga kerap dialirkan menggunakan selang atau pipa ke rumah warga tersebut, karena terlalu mahal jika harus menggunakan air PAM.
Bahkan, masyarakat dari desa tetangga juga masih ada yang mengambil air ke Sendang Angin-angin, terutama ketika musim kemarau. Tak hanya itu, air Sendang Angin-angin juga menjadi sumber air untuk aktivitas pertanian masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
Menurut Mukiyo, Sendang Angin-angin merupakan bukti kebesara dan kemurahan Tuhan. Bahkan di atas bukit, ada mata air yang tak pernah kering untuk mencukupi kebutuhan masyarakat.
“Silakan dimanfaatkan, yang penting kami tekankan untuk selalu merawatnya, jangan suka nebang pohon-pohon sembarangan juga,” ujarnya.
Salah satu upaya merawat mata air tersebut dilakukan melalui tradisi kuras sendang. Pengurasan sendang itu dilakukan dua kali dalam setahun, yakni setiap 21 Ramadhan dan 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan acara Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Tapi yang besar itu yang tanggal 12 Rabiul Awal,” ujarnya.
Tradisi kuras Sendang Angin-angin ini sudah dilakukan secara turun temurun sejak nenek moyang. Tujuannya tidak lain untuk merawat mata air yang selama ini sudah menghidupi masyarakat Guwo dan sekitarnya. Bahkan, sejak sekitar lima tahun silam, tradisi kuras sendang tiap 12 Rabiul Awal digelar semakin meriah dengan adanya kirab budaya.
ADVERTISEMENT
“Semua potensi desa, termasuk kesenian, budaya, apapun kerajinan, itu dikirab di sini dan diakhiri dengan kuras sendang. Tapi sekaran corona begini, ndak tahu besok mau seperti apa,” kata Mukiyo.