Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Ojol Datang Saat Mahasiswa Pergi, Konsumen Angkringan Berganti
16 November 2021 16:42 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Jam operasional berubah, menu berubah. Ini catatan bagaimana angkringan di Yogyakarta beradaptasi dengan keadaan.
Di gerobak angkringannya hanya tersisa beberapa bungkus nasi kucing dan beberapa tusuk sate telur puyuh. Padahal hari masih siang, tapi gerobaknya sudah lengang. Bahkan nasi ramesnya sudah ludes sejak jam makan siang. Dihajar pandemi memang membuat Nanang Raharjo, 41 tahun, pemilik angkringan di daerah Jalan Veteran, Jogja, ditinggal sebagian pelanggannya. Tapi di satu sisi, orang-orang baru hadir menggantikan mereka yang pergi.
ADVERTISEMENT
Sebelum pandemi, biasanya setiap malam angkringannya selalu ramai oleh anak-anak muda baik pelajar maupun mahasiswa. Kebanyakan dari mereka sebenarnya tidak makan, melainkan hanya ngemil gorengan dan memesan kopi atau jahe panas. Kopi dan jahe panas itulah yang membuat mereka betah untuk duduk melingkar hingga tengah malam bersama teman-temannya di trotoar dan hanya beralas tikar.
Tapi setelah pandemi, pemandangan itu sudah hampir tak pernah terlihat. Sudah sangat jarang ada mahasiswa yang ngangkring di tempatnya, terlebih angkringannya bukanlah kawasan kampus yang banyak ditinggali mahasiswa kos. Sejak pertama membuka angkringan pada 1998, masa pandemi ini memang menjadi salah satu fase terberat dalam usahanya. Apalagi dia sempat hampir libur sebulan karena terkonfirmasi COVID-19.
“Sejak pandemi kan mahasiswa pulang semua, jadi sudah hampir enggak ada mahasiswa sekarang,” ujar Nanang Raharjo, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Sejak pandemi juga angkringannya hampir tak pernah buka sampai malam lagi. Jam operasionalnya berubah menjadi pagi sampai sore. Pelanggannya, tak lagi pelajar dan mahasiswa. Pelanggannya kini mayoritas adalah kuli bangunan yang bekerja di proyek dekat angkringannya, juga montir-montir bengkel motor yang lokasinya juga tidak jauh.
“Tiap jam makan siang mereka ramai-ramai ke sini, rolasan (makan siang),” ujarnya.
Karena pelanggannya berganti, menu yang dia jual juga ikut menyesuaikan. Jika sebelumnya dia hanya menjual nasi kucing, sekarang dia juga jual nasi rames lengkap dengan berbagai sayur dan telur. Sekarang justru nasi ramesnya jauh lebih laris ketimbang nasi kucingnya.
“Kalau nasi kucing kan porsinya kecil, jadi buat mereka itu kurang banyak,” kata Nanang Raharjo.
ADVERTISEMENT
Ojol Datang ketika Mahasiswa Pergi
Salah satu angkringan yang paling populer di kalangan mahasiswa UNY, angkringan Felix & Temon, masih terlihat ramai menjelang maghrib. Karena letaknya ada di dalam kawasan kampus yang sangat strategis, dulu angkringan itu selalu dipenuhi oleh para mahasiswa, dari pagi sampai sore. Tapi kali ini, sudah sangat jarang mahasiswa yang ngangkring di sana.
“Belum pada balik, soalnya masih (kuliah) online. Sekarang banyaknya ojol,” kata Nani Lestari, pemilik angkringan yang sudah berdiri lebih dari dua dekade itu.
Tempatnya yang strategis karena berada di tengah pemukiman padat serta banyak rumah makan di sekitarnya, membuat angkringan Felix & Temon menjadi tempat yang strategis bagi para driver ojol untuk mangkal.
ADVERTISEMENT
“(Pendapatannya) turun itu pasti, hampir setengahnya. Tapi terbantu juga karena masih banyak ojol yang mangkal, seenggaknya kan beli minum sambil nunggu orderan,” ujarnya.
Menurut dia, angkringan memang menjadi tempat yang cocok untuk para driver ojol menunggu pelanggan yang tak tentu. Di angkringan, mereka bisa mencurahkan keluh kesahnya dengan sesama ojol lain, tentunya tanpa perlu merasa tak enak pada pemilik warung.
“Kalau di warung makan kan enggak enak sama yang punya, kalau di angkringan bebas nongkrong walaupun cuman beli es teh,” ujar Nani Lestari.
Pasti Ada Jalan
Lain dengan Nanang, lain lagi dengan Sunarli, 32 tahun, pemilik angkringan di Jalan Cik Di Tori, dekat Bundaran UGM. Di gerobaknya, nasi kucing dan sejumlah cemilan tampak masih banyak. Sejak pandemi, penjualannya memang mengalami penurunan cukup drastis, dari yang sebelumnya keuntungannya bisa mencapai Rp 500 ribu sehari, sekarang untung bersihnya paling hanya Rp 100 ribu.
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah masih ada lah, yang penting disyukuri, dicukup-cukupin,” ujarnya.
Dia sudah membuka angkringan sejak 2014, melanjutkan usaha milik ayahnya yang sudah memulai usaha angkringannya sejak 1989. Karena usia ayahnya sudah makin menua, kini Sunarli lah yang mesti melanjutkan usahanya.
Dulu, Sunarli pernah buka 24 jam penuh saking ramainya angkringannya oleh anak-anak muda untuk nongkrong.Beberapa tahun terakhir, mahasiswa dan anak-anak muda yang datang ke angkringannya terus berkurang, terutama ketika warung-warung kopi mulai menjamur di Jogja. Dari angkringan, mereka mulai ramai-ramai hijrah ke warung kopi atau kafe.
“Mungkin karena tempatnya yang lebih nyaman, sama lebih gaul juga kan,” kelakarnya.
Karena malam hari semakin sepi, dia tak lagi membuka angkringannya 24 jam, paling malam hanya sampai jam 9 malam. Pelanggannya pun kini lebih banyak dari pengunjung Rumah Sakit Panti Rapih yang memang ada di seberang angkringannya.
ADVERTISEMENT
“Ada juga orang yang lewat terus mampir. Walaupun sepi ya jalani aja, tugas kita kan usaha, pasti nanti juga ada jalan,” kata pemuda asli Gunungkidul itu. (Widi Erha Pradana / YK-1)