Pakar UGM: Ganja Medis Hanya Perlu Satu Kandungan Senyawanya, Bukan Tanamannya

Konten Media Partner
1 Juli 2022 19:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Guru Besar UGM Zullies Ikawati. Foto: farmasi.ugm.ac.id
zoom-in-whitePerbesar
Guru Besar UGM Zullies Ikawati. Foto: farmasi.ugm.ac.id
ADVERTISEMENT
Penggunaan ganja untuk terapi mengemuka usai viralnya kasus seorang ibu dengan anak penderita Cerebral Palsy memohon ke pemerintah untuk mengizinkan ganja medis. Wakil Presiden Ma’ruf Amin sampai buka suara meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkaji fatwa soal itu.
ADVERTISEMENT
Namun pakar farmakologi dan farmasi klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati mengingatkan penggunaan ganja untuk medis terkait dengan salah satu kandungan senyawanya, bukan tanamannya, serta bukanlah pilihan utama.
Ia menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lain, terutama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental,” jelas profesor dan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM itu dalam keterangan tertulis UGM yang dirilis Kamis (30/6).
Senyawa lain dalam ganja adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif. CBD ini menurut Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti-kejang.
ADVERTISEMENT
Ia menuturkan, CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika. Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/ mL CBD dalam sirup.
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet Syndrome (DS) yang sudah tidak berespons terhadap obat lain.
“Di kasus yang viral untuk penyakit Cerebral Palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.
Ilustrasi ganja. Foto: Rashide Frias/AFP
Zullies menjelaskan CBD memang telah teruji klinis dapat mengatasi kejang. Untuk itu, terapi anti-kejang hanya membutuhkan CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja. Sebab, ganja dalam bentuk tanaman memiliki kandungan yang masih bercampur dengan THC. Jika digunakan, hal itu akan menimbulkan berbagai efek samping pada mental.
ADVERTISEMENT
“Istilah medis (pada ganja medis) ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, misal dengan diseduh, itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis,”paparnya.
Zullies menyatakan ganja bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi penyakit seperti Cerebral Palsy. Menurutnya, masih ada obat lain yang dapat digunakan untuk mengatasi kejang.
“Ganja bisa jadi alternatif, namun bukan pilihan pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan. Namun jika sudah jadi senyawa murni seperti CBD, terukur dosisnya dan diawasi pengobatannya oleh dokter yang kompeten, itu tidak masalah,” tegasnya.
Zullies mengungkapkan obat yang berasal dari ganja seperti Epidiolex bisa menjadi legal ketika didaftarkan ke badan otoritas obat seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan disetujui untuk dapat digunakan sebagai terapi.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya, semestinya bukan melegalisasi tanaman ganjanya karena potensi untuk penyalahgunaannya sangat besar. Siapa yang akan mengontrol takarannya, cara penggunaannya, dan lainnya, walaupun alasannya adalah untuk terapi,” ujarnya.
Ia mengatakan, penggunaan ganja medis juga dapat dilihat pada obat-obatan golongan morfin. Morfin juga berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama diresepkan dokter. Selain itu, penggunaannya sesuai indikasi, seperti nyeri kanker yang sudah tidak merespons lagi terhadap analgesik lain dan dengan pengawasan distribusi yang ketat.
“Tanamannya yakni opium tetap masuk dalam narkotika golongan 1 karena berpotensi penyalahgunaan yang besar. Begitupun dengan ganja,” ujar dia.
Oleh sebab itu, menurut Zullies, pelegalan semestinya bukan pada tanaman ganjanya. “Tetapi obat yang diturunkan dari ganja dan telah teruji klinis dengan evaluasi yang komperehensif akan risiko dan manfaatnya,” papar Zullies. (akh)
ADVERTISEMENT