Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.5
23 Ramadhan 1446 HMinggu, 23 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Pecel Lele: yang Lamongan dan yang Bukan Lamongan, Penguasa Kuliner Kaki Lima
29 Mei 2021 19:59 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Melaju di atas motor di jalanan Jogja, kawasan Tugu Jogja, ke arah barat, menembus Mirota Kampus, maka kiri-kanan jalan raya, yang ada hanyalah pecel lele dan bakmi jawa. Selebihnya, cuma jadi penyela, semacam catatan kaki saja.
ADVERTISEMENT
Mulai lewat Ring Road Demak Ijo, saya mulai serius menghitung ada berapa sebenarnya penjual pecel lele dalam setiap kilometernya.
Satu, dua, tiga, ada 8 warung tenda pecel lele sepanjang kira-kira dua kilometer dari Ring Road Demak Ijo ke arah barat. Dibagi 2 kilometer berarti kira-kira ada satu warung tenda peel lele dalam setiap 200 meter panjang jalan rata.
Tak tahan, saya mampir ke salah satu warung tenda pecel lele lamongan. Sumarni, 50 tahun, mengaku sudah sejak 1995 merantau bersama suami dan warga sekampungnya dari Lamongan ke Jogja.
“Jadi seperti bedol desa, ada puluhan keluarga bedol desa ke Jogja, jualan pecel lele lamongan semua. Padahal di Lamongan ya ndak pernah jualan semua, petani semua, tapi ada yang ngajarin,” terang Sumarni.
Sebelum berjualan di kawasan Jalan Godean, Sumarni berjualan di sekitar Jalan Bantul. Setelah Gempa Jogja di tahun 2006, barulah ia memutuskan pindah dari tempat itu.
ADVERTISEMENT
Untuk menjalankan bisnis warung pecel lele di Jalan Raya Godean, Sumarni mengontrak sebuah rumah yang berada di persis di pinggir jalan raya. Di depan rumah kontrakan itulah dia membuka warung tenda pecel lele. Kini dengan usianya terus beranjak tua, ia mewariskan usahanya itu pada anaknya, Lucky (26).
Untuk satu porsi pecel lele ditambah nasi dan minuman teh panas, Lucky mematok harga sebesar Rp16.000, sementara untuk harga satu porsi ayam ditambah nasi dan teh ia patok sebesar Rp19.000.
Menurutnya, harga pecel lele relatif lebih stabil dibanding harga ayam yang naik turun menyesuaikan harga bahan mentah. Dia menambahkan harga sebesar itu relatif merata pada seluruh warung pecel lele Lamongan yang tersebar di seluruh Jogja.
ADVERTISEMENT
“Kalau kami satu kampung punya paguyubannya sendiri-sendiri. Kalau misal kami mau menaikkan harga, kami akan diskusikan dulu. Biasanya kenaikan harga itu terjadi pas lebaran karena harga bahan mentahnya juga naik. Itupun kami hanya berani menaikkan Rp1.000-2.000,” kata Lucky.
Lucky mengatakan setiap anggota paguyuban memiliki warung pecel lele yang tersebar di seluruh wilayah Jogja. Walaupun memiliki usaha yang sama dan terkadang letaknya saling berdekatan, dia mengaku pada dasarnya tidak ada persaingan di antara mereka. Lucky juga menjelaskan kenapa banyak penjual pecel lele memilih kawasan Jalan Godean sebagai tempat jualan.
“Biasanya kan daerah sini jualannya kan rame. Terus rumah-rumah dan desa-desa di sini juga banyak. Kalau kami buka di tempat wisata harga sewanya lebih mahal,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Lucky mengatakan kalau selain di Jalan Godean itu, dia juga membuka warung pecel lele di daerah desa di Kabupaten Kulonprogo. Lucky membuka usaha di sana karena dia melihat belum banyak warung pecel lele Lamongan di daerah itu. Selain itu, harga beras yang biasa dijadikan sebagai nasi di tempat itu bisa diperoleh dengan harga yang lebih murah.
“Kalau di sini kita biasa beli beras di pasar, tapi kalau di sana kita bisa dapat beras dari petaninya langsung,” tuturnya.
Tak jauh dari warung pecel lele itu, berdiri juga warung pecel yang lain. Soleh (40), mengatakan bahwa warung pecel lele yang ia kelola merupakan warisan kakaknya. Dia mengaku bahwa warung pecel lele itu sudah berdiri sejak tahun 1994.
ADVERTISEMENT
“Saat kakak saya pindah ke tempat lain, mulai tahun 2005 saya gantian mengelola warung pecel lele ini,” kata Soleh.
Sebelum membuka warung pecel lele di Jalan Godean, Soleh dan kakaknya sudah berpindah tempat jualan sebanyak lima kali. Sedikit berbeda dari warung makan pecel lele milik Lucky, Soleh memberikan harga satu porsi pecel lele ditambah nasi tambah teh hangat sebesar Rp17.000, lebih mahal Rp 1.000 rupiah.
Namun sama seperti pemilik warung pecel lele kebanyakan, Soleh merupakan perantauan dari Lamongan. Walaupun sudah menetap lama di Jogja, namun dia masih memegang KTP asli Lamongan.
“Kami di sini hanya numpang,” katanya sambil tertawa.
Pecel Lele yang Bukan Lamongan
Selain dimiliki orang Lamongan, di kawasan Jalan Godean itu ternyata juga ada warung pecel lele yang dikelola oleh warga dari daerah lain, salah satunya dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut Soleh, ada perbedaan mendasar antara warung pecel lele Lamongan dengan daerah lainnya. Biasanya, warung pecel lele Lamongan punya ciri khas penutup tendanya terbuat dari kain. Hal inilah yang tidak dijumpai oleh warung pecel lele milik Joko (30) yang juga masih berada di kawasan yang sama. Pria asal Wonosari itu memanfaatkan selembar terpal untuk menutup warung tendanya
Joko bercerita, pada tahun 2006, ia memutuskan untuk merantau dari Wonosari ke Kota Jogja. Di Jogja, sehari-hari dia bekerja di warung pecel lele milik temannya yang juga orang Wonosari di dekat Rumah Sakit Panti Rapih. Setelah itu ia menikah dengan istrinya yang rumahnya tak jauh dari tempat ia sekarang berjualan. Karena jaraknya lebih dekat dengan rumahnya, ia akhirnya mendirikan warung pecel lele di Jalan Godean.
ADVERTISEMENT
“Dulu waktu jualan di dekat Panti Rapih rame banget. Tapi sejak pandemi ini saya berjualan di sini,” katanya.
Harga seporsi pecel lele yang ia tetapkan masih relatif sama dengan harga yang dipatok warung pecel lele di kawasan itu. Untuk seporsi pecel ditambah nasi dan teh, ia mematok harga standar Rp 16.000. Walaupun harus bersaing dengan warung-warung pecel lele di sekitarnya, namun Joko menilai orang yang membeli pecel di tempatnya jumlahnya lumayan.
"Nggak rame banget, nggak sepi banget, standar aja. Ya setiap harinya pasti habis lah,” tutur Joko.
Iseng saya meminta tolong teman yang tinggal di kawasan dekat UGM, Jalan Kaliurang untuk menghitung jumlah warung tenda pecel lele di kawasan sana.
ADVERTISEMENT
Ini jawaban dia,”Jumlahnya enggak sebanyak Jalan Godean. Warung tenda memang banyak, tapi sepanjang Jalan Kaliurang, Cik Ditiro, Sagan, dan Gejayan, pecel lele enggak mendominasi. Banyakan malah sate, mie ayam, nasi uduk, sea food, macam-macam.”
Hmmm. Baiklah. (Oleh: Agam Rasyid)