Riset CfDS UGM: 24,2% Orang Percaya Krisis Iklim Rekayasa Buatan Elit Global

Konten Media Partner
30 Januari 2024 16:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi pemaparan riset CfDS Fisipol UGM di UGM, Selasa (30/1). Foto: CfDS Fisipol UGM
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi pemaparan riset CfDS Fisipol UGM di UGM, Selasa (30/1). Foto: CfDS Fisipol UGM
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Riset terbaru yang dilakukan oleh Center for Digital Society (SfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM tentang misinformasi krisis iklim menemukan bahwa 24,2 persen responden percaya jika krisis iklim merupakan rekayasa buatan yang diciptakan oleh penguasa global.
ADVERTISEMENT
Riset yang didukung oleh APNIC Foundation melalui The Information Society Fondatuion (ISIF) ASIA itu menyasar sebanyak 2.401 responden. Komposisi responden mayoritas adalah perempuan (63,2%), lajang (56,9%), lulusan sarjana (34,7%), dan Gen Z (51,6%).
“Hal ini artinya mereka, masyarakat masih banyak yang percaya pada teori konspirasi global,” kata Peneliti CfDS Fisipol UGM, Novi Kurnia, dalam pemaparan hasil riset di UGM pada Selasa (30/1).
Hasil yang lebih mengejutkan menurut dia adalah sebanyak sepertiga responden (21,5% setuju dan 11% sangat setuju) memiliki persepsi jika krisis iklim disebabkan oleh semakin banyaknya manusia yang melakukan maksiat dan tidak mematuhi agamanya.
Misinformasi tentang krisis iklim biasanya ditemukan pada konten yang dibuat dengan menggabungkan informasi atau gambar dari sumber otoritatif, dan informasi palsu berupa keterangan atau teks penjelasan gambar.
ADVERTISEMENT
“Tipe-tipe konten seperti ini berpotensi untuk menghasilkan bacaan yang menyesatkan, membuat asumsi yang lahir dari konten palsu, hingga mengakibatkan informasi derivatif yang terunggah dianggap sebagai informasi yang salah,” ujarnya.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho, mengatakan bahwa ada ketidakberimbangan antara konten misinformasi dan disinformasi dengan fakta yang beredar di media Indonesia. Banyak masyarakat Indonesia yang lebih cepat menyebarkan berita misinformasi dibandingkan dengan fakta.
Tren persebaran misinformasi iklim di Indonesia juga semakin meningkat dengan adanya jumlah climate-change deniers atau penyangkal krisis iklim yang tertinggi di dunia, mencapai 18 persen.
“Para penentang krisis iklim menggunakan strategi retorika untuk memengaruhi opini publik, khususnya dengan bantuan misinformasi melalui internet,” kata Septiaji Eko Nugroho.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Zenzi Suhadi, mengatakan ada dua hal yang dapat memicu misinformasi ini, yakni perubahan iklim yang menjadi kepentingan pihak global dan adanya substansi informasi mengenai perubahan iklim yang sering dirancang dan dimanipulasi dulu sebelum disebarkan.
“Penyangkalan informasi krisis iklim disebabkan oleh cara orang Indonesia dalam menerima informasi, dan kepercayaan bahwa perubahan iklim disebabkan oleh tindakan maksiat,” kata Zenzi Suhadi.