Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Riset UGM-CHAMPSEA: Gangguan Perkawinan Salah Satu Masalah Utama Pekerja Migran
4 Maret 2025 14:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Gangguan perkawinan atau marital disruption menjadi salah satu masalah utama dalam rumah tangga Pekerja Migran Indonesia (PMI). Hal ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Child Health and Parent Migration in Southeast Asia (CHAMPSEA). Penelitian ini bahkan telah dilakukan sejak 2008 silam.
ADVERTISEMENT
Peneliti dari PSKK sekaligus Guru Besar Bidang Ilmu Geografi Penduduk Fakultas Geografi UGM, Sukamdi, mengatakan banyak terjadi kasus perceraian karena harus bekerja ke luar negeri. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya keharmonisan dalam rumah tangga.
“Inilah dampak yang paling signifikan dirasakan rumah tangga pekerja migran Indonesia. Banyak terjadi kasus perceraian akibat mereka harus bekerja ke luar negeri menyebabkan mereka terpaksa berpisah dari keluarga sehingga keharmonisan sudah tidak terbangun,” kata Sukamdi saat pemaparan hasil penelitiannya pekan lalu, Kamis (27/2).
Ketidakharmonisan rumah tangga pekerja migran ini tidak hanya berdampak pada pasangan suami-istri, tetapi juga pada anak-anak yang ditinggalkan. Anak-anak yang tumbuh dalam rumah tangga migran sering mengalami gangguan mental, seperti gejala emosional, perilaku nakal, dan hiperaktif.
ADVERTISEMENT
“Dampaknya sangat berpengaruh pada kesehatan mental anak,” kata Sukamdi.
Pemerintah diharapkan tidak hanya memberikan perlindungan bagi pekerja migran di luar negeri, tetapi juga memastikan kesejahteraan keluarga yang mereka tinggalkan, terutama anak-anak. Jika tidak ditangani dengan serius, migrasi yang awalnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan justru dapat meninggalkan trauma mendalam bagi generasi penerus mereka.
Berdasarkan data yang diperolehnya, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat pada Januari-Agustus 2024 terdapat 207.090 pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 141.627 pekerja adalah perempuan, sedangkan laki-laki berjumlah 65.463 orang. Sebagian besar pekerja migran, yakni 108.477 orang, bekerja di sektor informal, sementara 98.613 lainnya berada di sektor formal.
Pekerja Migran Ilegal Juga Tinggi
ADVERTISEMENT
Selain gangguan dalam rumah tangga, penelitian ini juga menyinggung tingginya angka pekerja migran yang berangkat ke luar negeri dengan dokumen tidak resmi. Fenomena ini sering kali terjadi karena adanya oknum calon majikan yang menjanjikan pengurusan dokumen, tetapi kenyataannya pekerja migran justru terjebak dalam kondisi ilegal.
“Oknum calon majikan menjanjikan untuk mengurus semua dokumen, akan tetapi hal tersebut tidak juga terlaksana sehingga pekerja migran tersebut terpaksa menjadi imigran ilegal. Dengan skenario yang diatur sedemikian rupa sehingga kecurangan ini tidak terdeteksi dan dicurigai,” jelas Sukamdi.
Seiring meningkatnya jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri, perlindungan terhadap mereka semakin menjadi kebutuhan mendesak. Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM, Ely Susanto, mengingatkan bahwa negara perlu memastikan hak-hak pekerja migran tetap terlindungi dan mereka tidak hanya dianggap sebagai sumber devisa.
ADVERTISEMENT