Saat BPJS Ganjal Target RSUP Dr Sardjito Jadi Rujukan Layanan Jantung Dunia

Konten Media Partner
29 September 2021 17:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Menkes ingin RSUP Dr Sardjito jadi RS rujukan layanan jantung berstandar dunia. Saat kualitas dokter sudah siap, sistem asuransi BPJS Kesehatan dituding menyulitkan penambahan fasilitas dan alat paling mutakhir.
Ilustrasi di pusat layanan jantung. Foto: Dokumen Kemenkes
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mendorong agar RSUP Dr Sardjito harus bisa menjadi RS rujukan di Asia Tenggara. Salah satu indikatornya adalah memiliki layanan penyakit jantung berstandar internasional.
ADVERTISEMENT
“Nantinya orang-orang kalau mau periksa jantung atau penyakit lainnya, tidak perlu jauh-jauh ke Singapura atau Malaysia,” kata Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam acara pelantikan jajaran direksi RSUP Dr Sardjito, Jumat (20/8).
Hal tersebut menurut Menkes merupakan cara paling mudah untuk melihat dan mengukur capaian kualitas yang dimiliki oleh RS.
Menanggapi keinginan Menkes, pada acara peringatan Hari Jantung Sedunia, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Cabang Yogyakarta, Irsad Andi Arso, mengatakan secara sumber daya manusia (SDM) dokter spesialis yang dimiliki Sardjito sebenarnya tidak ada masalah, bahkan bisa dibilang sudah setara dengan yang ada di luar negeri. Namun yang masih jadi pengganjal justru sistem asuransi BPJS Kesehatan yang berlaku di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Irsad mengatakan, ada beberapa teknologi yang sampai sekarang belum masuk ke Indonesia karena berbagai hal seperti regulasi maupun biaya yang sangat besar. Misalnya teknologi Implantable Cardioverter Device (ICD), sebuah alat bantu jantung mirip dengan alat pacu jantung untuk mengembalikan fungsi jantung ketika mengalami penurunan kinerja akibat adanya gangguan irama jantung.
Penggunaan ICD menurutnya memakan biaya hingga Rp 300 juta, sementara itu BPJS Kesehatan belum tidak menanggung biaya secara penuh.
“BPJS tidak mengcover sampai 100 persen, misal ICD harganya Rp 300 juta, tapi BPJS hanya mengcover tidak sampai Rp 100 juta, sementara pasien tidak mampu membayar. Mudah-mudahan negara bisa hadir untuk itu,” kata Irsad Andi Arso dalam konferensi pers pembukaan Hari Jantung Sedunia di RSUP Dr. Sardjito, Selasa (28/9).
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Cabang Yogyakarta, Irsad Andi Arso. Foto: Widi Erha Pradana
Senada, Dokter konsultan di bidang Kardiovaskular Akut dan Perawatan Intensif di RSUP Dr Sardjito sekaligus Sekretaris PERKI Cabang Yogyakarta, Hendry Purnashida Bagaswoto, juga mengatakan bahwa sistem BPJS yang ada di Indonesia saat ini memang menjadi salah satu faktor yang menghambat layanan jantung di Indonesia, termasuk di Sardjito.
ADVERTISEMENT
Misalnya plafon biaya yang ditanggung BPJS yang terkadang terlalu rendah. Rendahnya plafon tersebut membuat rumah sakit tidak bisa mengoptimalkan tata laksana pelayanan jantung. Akibatnya, kualitas SDM yang sebenarnya sudah memiliki kualifikasi level internasional tidak bisa mengoptimalkan penanganannya.
“Yang perlu ditingkatkan mungkin sinkronisasi dengan BPSJ, ini lho sebenarnya dokter-dokter jantung untuk pelayanan yang ideal itu membutuhkan biaya segini dengan alat seperti ini,” ujar Hendry Purnashida ketika ditemui, Selasa (21/9).
Selain itu, sistem BPJS yang mengharuskan pasien mendapat pelayanan secara berjenjang dari fasilitas kesehatan (faskes) pertama sampai faskes ketiga membuat pelayanan tidak bisa dilakukan secara cepat. Hal ini membuat pasien dengan kemampuan finansial lebih memilih berobat ke luar negeri untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat.
ADVERTISEMENT
“Padahal secara kualitas dan alat sebenarnya kita tidak kalah dengan luar negeri,” ujarnya.
SDM Berani Diadu
Pusat Layanan Jantung RSUP Dr Sardjito. Foto: Widi Erha Pradana
Dengan kompetensi yang dimiliki dokter-dokter spesialis jantung yang dimiliki, membuat layanan penyakit jantung di Sardjito berani diadu dengan luar negeri.
Menurut Irsad Andi Arso, kualitas layanan jantung di RSUP Dr Sardjito memang sudah tidak jauh berbeda dengan negara-negara ASEAN. Hampir semua penanganan penyakit jantung yang dilakukan di Singapura dan Malaysia misalnya, semua juga bisa dilakukan di Sardjito.
Yang menjadi PR saat ini justru bagaimana membuat masyarakat percaya dengan layanan jantung dalam negeri seperti di Sardjito. Sebab, dia tidak menampik saat ini masih ada masyarakat yang memandang sebelah mata layanan jantung dalam negeri sehingga lebih percaya dengan layanan di luar negeri. Namun itu hanya sebagian kecil kelompok masyarakat saja, terutama kelompok orang-orang kaya yang memang biasanya ke luar negeri.
ADVERTISEMENT
“Sebagian kecil saja yang Korea, Taiwan, atau Singapura lebih baik, tapi sebagian besar sudah bisa kita kerjakan,” kata Irsad Andi Arso.
Ketua Jogja Cardiology Update 2021, Dyah Wulan Anggrahini. Foto: Widi Erha Pradana
Dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah di RSUP Dr Sardjito yang juga Ketua Jogja Cardiology Update 2021, Dyah Wulan Anggrahini, mengatakan bahwa sebenarnya layanan jantung di RSUP Dr Sardjito sudah sebanding dengan layanan-layanan jantung di luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.
“Untuk penanganan kasus-kasus penyakit jantung yang banyak terjadi di masyarakat kita sudah bisa paripurna,” kata Dyah Wulan.
Memang ada beberapa hal yang sampai sekarang belum bisa dilakukan di Sardjito karena kendala alat atau teknologi serta besarnya biaya penanganan. Sedangkan untuk kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada di layanan jantung Sardjito menurutnya sudah bisa bersaing dengan negara-negara khususnya di kawasan Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
“Beberapa hal kecil kalau itu berhubungan dengan alat yang kita belum ada memang itu masih menjadi keterbatasan,” ujarnya.
Biaya Berobat Lebih Murah
Dokter konsultan di bidang Kardiovaskular Akut dan Perawatan Intensif di RSUP Dr Sardjito sekaligus Sekretaris PERKI Cabang Yogyakarta, Hendry Purnashida Bagaswoto,
Terkait biaya, Hendry Purnashida menerangkan bahwa besaran biaya pengobatan sangat bergantung pada standar biaya tiap rumah sakit dan negara.
Yang membuat biaya berobat di dalam negeri bisa lebih murah adalah karena pasien tidak mengeluarkan biaya-biaya lain seperti transportasi, akomodasi, serta selisih biaya rawat inap antar negara yang cukup besar.
“Jadi jika tidak perlu mengeluarkan biaya itu, tentu biaya yang dikeluarkan jadi lebih sedikit. Jadi memang di dalam negeri bisa jauh lebih murah," kata Hendry Purnashida.
Keuntungan lain, jika nantinya pasien jantung berobat di dalam negeri, maka akan menambah pendapatan negara dan rumah sakit. Berbeda jika pasien berobat ke luar negeri, maka yang akan mendapat keuntungan adalah rumah sakit atau negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, untuk saat ini layanan jantung di Indonesia, termasuk di DIY seperti di RSUP Dr Sardjito menurutnya terus berkembang ke arah positif. Untuk bisa memenangkan persaingan dengan layanan jantung luar negeri, menurutnya RS memang perlu dukungan dari berbagai pihak, selain dukungan negara rumah sakit juga perlu dukungan dari lembaga riset seperti perguruan tinggi.
“Sekarang sebagian besar masyarakat juga sudah berobat ke sini, hanya segmen tertentu saja yang berobat ke luar negeri karena mindset yang sudah terbangun bahwa luar negeri lebih bagus. Padahal sebenarnya tidak,” ujarnya.