Sendang Hargolawu di Piyungan Bantul, Kubangan Air dari Sunan Lawu

Konten Media Partner
11 September 2021 16:53 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Sedang Hargolawu dulu bernama Golawu yang berasal dari kata ‘gong’ yang berarti kubangan air, sedangkan Lawu merujuk pada Sunan Lawu atau Brawijaya V.
Sendang Hargolawu. Foto: Widi Erha Pradana
Kain poleng hitam putih seperti papan catur membungkus altar tempat menaruh dupa sebagai sesaji. Di atasnya, bercokol sebuah batu ukir dengan simbol bintang segi delapan dengan sayap garuda di sisi kiri dan kanannya. Beberapa dupa, tampak belum habis terbakar. Altar itu adalah sebuah tetenger atau penanda Sendang Hargolawu, sebuah mata air besar yang ada persis di lereng bukit Hargo Dumilah, atau orang-orang lebih mengenalnya dengan Bukit Bintang. Tepatnya, ada di Padukuhan Plesedan, Kalurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Bantul.
ADVERTISEMENT
Mata air Sendang Hargolawu hanya berada beberapa langkah dari tetenger itu, dilindungi dengan sebuah bangunan beratap joglo. Di dalam bangunan itu, terdapat sebuah bak persegi dengan kedalaman tiga meter. Dari dalam bak itulah mengalir sebuah mata air yang kini jadi sumber kehidupan utama masyarakat di Padukuhan Plesedan.
“Tidak pernah kering bahkan di musim kemarau walaupun dipakai tiap hari oleh masyarakat,” kata Juru Kunci Sendang Hargolawu, Sudaryono, dengan bahasa Jawa, Sabtu (28/9).
Sekeliling mata air Sendang Hargolawu didominasi oleh pohon bambu. Dulu, sebenarnya ada pohon preh tua, sayangnya sekitar tahun 2000-an, pohon itu ditebang karena akar-akarnya dianggap merusak bangunan di sekitarnya.
Tak ada yang tahu pasti, sejak kapan Sendang Hargolawu ada. Tapi, masih banyak orang yang mengeramatkan sendang tersebut. Buktinya, masih sering dijumpai orang-orang yang bertapa di kawasan sendang terutama pada malam-malam tertentu.
ADVERTISEMENT
“Biasa kan, hampir semua sendang pasti ada yang mengeramatkan,” lanjutnya.
Banyak alasan orang-orang bertapa ke Sendang Hargolawu. Ada yang ingin dilancarkan rezekinya, ingin mendapatkan pusaka tertentu, ingin disembuhkan dari penyakitnya, atau sekadar ingin mencari ketenangan. Masyarakat setempat pun, sampai sekarang masih rutin melaksanakan ritual merti belik, yakni membersihkan mata air dan upacara rasulan.
“Kalau itu sebagai ungkapan syukur karena selama ini Gusti Allah sudah memberikan penghidupan lewat mata air Sendang Hargolawu ini,” kata Sudaryono.
Dari Golawu Menjadi Hargolawu
Altar sesaji. Foto: Widi Erha Pradana
Sebelum dikenal dengan nama Hargolawu, sebenarnya nama mata air di lereng Hargo Dumilah itu adalah Golawu. Nama Golawu berasal dari kata ‘gong’ yang berarti kubangan air, sedangkan Lawu merujuk pada Sunan Lawu atau Brawijaya V.
ADVERTISEMENT
“Sedangkan kalau Hargo itu kan artinya gunung, jadi agak kurang tepat kalau dipakai untuk nama mata air,” ujar Dukuh Plesedan, Nanang Nurdiawan.
Nama Golawu dipercaya dicetuskan oleh Sunan Geseng, yang diyakini masih memiliki garis keturunan dengan Raja Majapahit, Sunan Lawu atau Prabu Brawijaya V. Sunan Geseng menurut Nanang mengetahui bahwa sendang tersebut pernah disinggahi oleh kakek buyutnya, sehingga dia memberi nama Sendang Golawu.
Namun, seiring berjalannya waktu, nama Golawu mulai berubah menjadi Hargolawu. Nanang menandai, perubahan nama itu mulai terjadi pasca gempa 2006 yang kala itu melanda wilayah DIY. Perubahan nama itu tidak lepas dari berubahnya nama puncak bukit dari yang sebelumnya Dumilahing Hargo menjadi Hargo Dumilah.
“Dari situlah nama Golawu mulai ikut berubah jadi Hargolawu, tapi masyarakat sini masih menyebutnya Golawu,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, mata air ini merupakan sumber penghidupan utama masyarakat Plesedan. Ada sekitar 500 kepala keluarga yang menggantungkan kebutuhan airnya pada Sendang Hargolawu. Meskipun musim kemarau, mata air ini tak pernah kering, bahkan debitnya tetap stabil. Bahkan ketika menguras sendang untuk dibersihkan, mereka masih kesulitan meski sudah memakai genset berkekuatan besar untuk menguras dan semua pompa air yang menuju rumah warga sudah dinyalakan.
“Karena air yang keluar dari mata air sama yang disedot itu hampir sama, jadi sampai kesulitan ngurasnya. Setelah dikuras, hitungan jam saja sudah penuh lagi,” kata Nanang Nurdiawan.
Talang Kencana yang Bocor
Altar sesaji. Foto: Widi Erha Pradana
Ada banyak versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat tentang keberadaan Sendang Hargolawu, salah satunya adalah keberadaan Talang Kencana atau Talang Emas yang membentang di sepanjang perbukitan Hargo Dumilah. Dukuh Plesedan, Nanang Nurdiawan, mengatakan masyarakat mempercayai di dalam perbukitan tersebut terdapat talang raksasa yang mengalirkan air dari Gunung Api Purba menuju pantai selatan.
ADVERTISEMENT
“Dan Sendang Golawu (nama lain Sendang Hargolawu) ini adalah bocoran dari Talang Kencana yang paling besar,” kata Nanang Nurdiawan.
Keberadaan Talang Kencana memang masih jadi perdebatan. Pasalnya belum ada temuan ilmiah yang membuktikan keberadaannya, dan selama ini keberadaan Talang Kencana hanya dimaknai sebagai sesuatu yang gaib atau tak kasat mata. Hanya orang tertentu saja yang bisa melihatnya dan mendengar suara gemuruh layaknya air terjun dari dalam talang tersebut.
“Bisa juga Talang Kencana itu ya perbukitan ini, atau sungai bawah tanah juga mungkin saja,” lanjutnya.
Sementara itu, Akhmad Fikri AF, seorang penulis yang banyak menulis kisah tentang Sendang Hargolawu dan Talang Kencana, mengatakan bahwa Talang Kencana merupakan konsepsi mitologis yang diwariskan ceritanya secara turun temurun untuk alasan tertentu. Dan alasan paling masuk akal menurutnya adalah untuk memelihara ketersediaan air di masa mendatang, supaya pohon-pohon di perbukitan itu tetap dijaga oleh generasi yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kontur perbukitan Hargo Dumilah yang berbatu tidak memungkinkan untuk menyimpan air. Jenis batuan andesit yang menyusunnya juga membuat kawasan tersebut menjadi sangat rawan untuk longsor.
“Jadi tidak mengherankan di bukit Hargo Dumilah banyak dijumpai rumpun bambu, pohon mentaok, pohon beringin, dan pohon asem yang keberadaannya dianggap mampu menjadi talang air,” ujar Akhmad Fikri.
Mitologi tentang Talang Kencana yang dibuat oleh leluhur, merupakan sebuah upaya supaya pepohonan yang ada di gugusan bukit tidak dieksploitasi oleh generasi mendatang. Sehingga, pepohonan itu dapat menjaga mata air di bawahnya untuk menghidupi anak cucu mereka kelak serta menghindarkan perbukitan tersebut dari longsor.
“Saya kira mitologi Talang Kencana merupakan contoh bagaimana kearifan lokal itu bekerja dalam kerangka menjaga tatanan kehidupan yang selaras dan harmoni antara alam dan manusia,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Khawatir Tercemar Industri Pariwisata
Penampakan dasar sendang. Foto: Widi Erha Pradana
Karena dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari oleh masyarakat setempat, termasuk untuk dikonsumsi, beberapa bulan sekali air dari Sendang Hargodumilah secara rutin diuji di laboratorium untuk memastikan tidak mengandung zat-zat yang membahayakan kesehatan. Sampai saat ini, Nanang Nurdiawan mengatakan kualitas air dari Sendang Hargolawu masih aman untuk dikonsumsi.
Beberapa tahun yang lalu, air Sendang Hargolawu memang sempat terkontaminasi oleh limbah dari pariwisata di kawasan Bukit Bintang. Kala itu, restoran dan kafe di sepanjang Bukit Bintang membuang limbahnya langsung ke aliran anak-anak sungai yang ternyata mencemari mata air di bawahnya.
“Tapi kita surati semua teman-teman UMKM di atas, setelah itu enggak ada masalah lagi,” kata Nanang Nurdiawan.
Nanang Nurdiawan. Foto: Widi Erha Pradana
Nanang, kala itu memberikan pilihan kepada pengusaha resto, kafe, serta resort yang ada di kawasan Bukit Bintang untuk membangun IPAL atau menampung limbah yang kemudian diangkut oleh sedot WC. Setelah itu, air di Sendang Hargolawu tak pernah lagi tercemar.
ADVERTISEMENT
Namun, kini Nanang dan masyarakat Plesedan mulai khawatir lagi dengan pembangunan pariwisata di kawasan Bukit Bintang yang makin pesat. Apalagi, beberapa spot pariwisata besar juga sedang di bangun di kawasan tersebut.
“Paling besok juga tercemar lagi, tapi pasti nanti ada titik tengahnya lah,” ujarnya.
Untuk menjaga mata air kehidupan itu, Nanang juga selalu menekankan kepada masyarakatnya untuk tidak menebang sembarangan pepohonan terutama yang ada di sekitar sendang. Pernah warga mengusulkan untuk menebangi pohon-pohon bambu yang banyak tumbuh di sekitar sendang karena daunnya dinilai mengotori sendang. Tapi Nanang melarangnya, karena dia meyakini pohon-pohon bambu itulah yang selama ini menyimpan banyak air.
“Kita juga mulai menanami pohon-pohon di sekitar sendang, kayak pohon gayam, preh, beringin. Karena dulu sempat ada pohon preh besar tapi ditebang, jangan sampai mata air yang jadi sumber kehidupan warga ini nantinya mati,” kata Nanang Nurdiawan.
ADVERTISEMENT