Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Tak Perlu TPA Piyungan, Desa di Bantul Ini Sukses Atasi Masalah secara Mandiri
6 Agustus 2023 12:02 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Geger darurat sampah yang sedang terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak dirasakan oleh Kalurahan Guwosari yang berada di Kapanewon Pajangan, Bantul. Pasalnya sejak 2019 silam, Kalurahan Guwosari sudah berhasil mengelola sampahnya secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Pada 2019, Kalurahan Guwosari mulai merintis unit usaha pengelolaan sampah di bawah naungan Badan Usaha Milik Kalurahan (BUMKal) bernama TPS 3R Go-Sari. Melalui unit usaha itulah Kalurahan Guwosari menyulap sampah-sampah yang mereka hasilkan menjadi pundi-pundi rupiah.
Hasilnya, kini tak ada lagi sampah dari Guwosari yang dibuang ke TPA Regional Piyungan.
“Saat ini tidak ada sampah dari Guwosari yang dibuang ke TPA Piyungan. Sudah selesai di sini,” ujar Kepala Unit Layanan Sampah BUMKal Guwosari, Muhammad Nur Muntaha, saat ditemui Pandangan Jogja pada Rabu (2/8).
TPS 3R Go-Sari, kini telah menangani sampah yang dihasilkan oleh sekitar 500 keluarga, dari total 4.000an keluarga di Guwosari. Sisanya, ada yang dikelola oleh unit usaha pengelolaan sampah milik swasta, ada juga yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tak cuma sampah dari rumah tangga saja yang masuk dan dikelola oleh TPS 3R Go-Sari, tapi ada juga sampah-sampah dari warung, restoran, sekolah, maupun kantor pemerintahan.
“Saat ini kapasitas pengelolaan sampah di sini masih sekitar 1 ton per hari, belum apa-apa sebenarnya,” ujarnya.
Sampah-sampah yang dikelola di Go-Sari dibagi menjadi empat jenis. Pertama adalah sampah organik yang cepat busuk, seperti sampah-sampah sisa makanan atau sampah dapur. Sampah jenis ini dimanfaatkan sebagai pakan maggot BSF, yang kini telah memberikan pemasukan bagi Go-Sari sekitar Rp 4 juta tiap bulan.
Kedua adalah jenis sampah organik taman berupa daun dan ranting, yang rencananya akan diolah menjadi pupuk kompos. Namun, sekarang sampah jenis ini baru ditimbun di lahan kosong yang mereka miliki.
ADVERTISEMENT
Ketiga ada jenis sampah anorganik, yang dimanfaatkan dengan cara dijual kepada pengepul rosok. Dari sampah anorganik ini, Go-Sari juga memperoleh pendapatan sekitar Rp 4 juta per bulan.
Terakhir ada jenis sampah residu, yakni sampah yang belum bisa dimanfaatkan dan jumlahnya paling besar dibandingkan dengan jenis sampah lain. Sampah jenis ini ditangani dengan cara dibakar menggunakan incenerator.
“Untuk operasional rata-rata per bulan kita habis sekitar Rp 16 juta sampai Rp 18 juta, itu kita penuhi dengan uang retribusi, uang penjualan rosok, dan uang penjualan maggot. Walaupun saat ini masih minus sekitar Rp 4 juta per bulan,” kata dia.
Untuk kekurangan biaya operasional itu, sementara TPS Go-Sari masih disokong oleh Kalurahan dalam bentuk uang talangan. Nantinya, Go-Sari tetap harus mengembalikan uang talangan tersebut jika sudah mendapatkan profit.
ADVERTISEMENT
Tahun ini, TPS 3R Go-Sari mendapatkan bantuan tambahan dari Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Dana Keistimewaan (Danais) sebesar Rp 1,6 miliar untuk mengembangkan fasilitas yang mereka miliki untuk mengoptimalkan pelayanan mereka.
Sekitar Rp 800 juta dari bantuan itu digunakan untuk membuat bangunan fisik berupa rumah pilah berukuran 30x10 meter, Rp 600 juta untuk pengadaan alat, dan sisanya sekitar Rp 200 juta untuk kegiatan sosialisasi.
“Impian kami, endingnya 4.000 KK di seluruh Guwosari terlayani, dan kita untung,” ujarnya.
Namun Nur Muntaha menekankan, bahwa bantuan tersebut tidak didapat oleh Go-Sari begitu saja. Butuh waktu dan proses yang panjang bagi mereka sampai bisa mendapatkan dana bantuan dari dana keistimewaan tersebut. Dan proses itu tidak mudah.
ADVERTISEMENT
“Mulainya yang berat. Tidak semua kalurahan berani membuat unit pengelolaan sampah, karena sekali dibuka itu tidak bisa ditutup. Kayak sekarang, kalau main tutup pasti polemiknya banyak, seperti di Piyungan,” ujar Nur Muntaha.