Transplantasi Ginjal Bisa Lebih Murah Dibanding Cuci Darah, Ini Hitungannya

Konten Media Partner
15 November 2021 12:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Transplantasi ginjal bisa lebih murah dari cuci darah jika dibandingkan biaya cuci darah rutin selama 2 tahun.
Transplantasi ginjal di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Foto: Dok. RSUP Dr. Sardjito
Sekilas, transplantasi ginjal adalah jalan keluar yang kelewat mahal bagi pasien yang menyandang gagal ginjal kronis. Tapi jika dihitung dengan cermat, transplantasi ginjal ternyata jauh lebih murah.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Pengurus Daerah Ikatan Perawat Dialisis Indonesia (IPDI) DIY, yang juga Kepala Ruang Unit Pelayanan Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Kusnanto, menerangkan betapa pilihan transplantasi ginjal adalah pilihan paling efisien untuk masalah gagal ginjal kronis.
Memang, sekilas, biaya transplantasi ginjal terdengar sangat mahal, antara Rp 250 juta sampai Rp 300 juta. Namun, BPJS Kesehatan menanggung hingga 85 persen, jadi jika biayanya sebesar Rp 300 juta, maka negara menanggung hingga Rp 255 juta sedangkan biaya yang ditanggung pasien sebesar 45 juta.
Ya, nilai ini pun masih tampak jauh lebih mahal ketimbang biaya cuci darah yang nilainya hanya berkisar antara Rp 800 ribu sampai Rp 1,5 juta untuk sekali layanan. Namun, rata-rata pasien gagal ginjal kronik perlu melakukan cuci darah atau hemodialisa sebanyak dua kali dalam sepekan. Artinya, dalam sepekan jika biayanya sebesar Rp 1,5 juta, maka biaya yang mesti dikeluarkan adalah Rp 3 juta. Dalam sebulan, Rp 12 juta dan dalam setahun sebesar Rp 144 juta. Hanya dalam dua tahun, biaya cuci darah sudah hampir menyamai biaya transplantasi ginjal.
ADVERTISEMENT
Padahal, pasien gagal ginjal kronis harus melakukan cuci darah seumur hidupnya. Dengan kualitas hidup pasien yang makin baik, angka harapan hidup pasien juga makin tinggi. Di satu sisi ini kabar baik, tapi di sisi lain artinya masa pengobatan pasien akan semakin lama dan ini sebanding dengan biaya yang juga makin banyak.
“Memang untuk HD ditanggung BPJS, tapi biaya transport memang tidak dihitung? Kalau pasien dari Gunungkidul datang ke Jogja, seminggu dua kali, kan butuh biaya juga. Terus waktu dia emang enggak dihitung, yang harusnya bisa buat kerja tapi dipakai untuk berobat?” kata Kusnanto.
Kabar Baik Cangkok Ginjal Babi
Ilustrasi babi. Foto: Pixabay
Beberapa waktu lalu riset sejumlah dokter di Amerika Serikat mengabarkan keberhasilan pencangkokan ginjal babi ke pasien manusia. Menurut Kusnanto, meskipun hal itu masih dalam tahap eksperimen namun sudah merupakan kemajuan besar di dunia medis internasional. Jika nantinya berhasil dan dapat diaplikasikan secara luas maka akan semakin banyak pasien gagal ginjal yang hidupnya dapat diselamatkan melalui teknologi ini.
ADVERTISEMENT
“Kalau bicara teknologi, itu perlu diapresiasi, itu adalah terobosan yang bisa memudahkan pasien yang kesulitan untuk mencari donor, jika ada donor alternatif kan pasti akan sangat memudahkan,” kata Kusnanto.
Saat ini, ada tiga metode terapi pasien gagal ginjal, yang paling umum adalah hemodialisa atau cuci darah, kemudian ada CAPD atau cuci perut, dan terakhir adalah transplantasi ginjal atau pencangkokan. Dari ketiganya, transplantasi adalah yang paling bagus, sebab ginjal yang ditanamkan kepada pasien masih bisa berfungsi dan berproduksi. Lain dengan metode cuci darah, dimana ginjal pasien memang sudah tidak berproduksi sehingga saat belum menjalani cuci darah akan ada tumpukan racun yang cukup banyak. Akibatnya, pasien akan mengalami banyak gangguan.
“Tapi kalau dengan ginjal baru yang ditanamkan tiap saat racunnya hilang, tidak menumpuk,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan, pasien yang telah melakukan transplantasi, ginjalnya dapat berfungsi normal lagi. Meskipun, dia harus tetap mengonsumsi sejumlah obat supaya ginjal yang baru ditanam tidak ditolak oleh tubuhnya. Sebab, bagaimanapun meski telah dicari yang paling cocok, ginjal baru itu tetap berupa benda asing bagi tubuh. Jika sampai ditolak, maka akan menyebabkan kerusakan sehingga harus dibantu dengan sejumlah obat.
“Namanya imunosupresan atau penekan imun. Kalau bicara kualitas hidup, maka pasien akan lebih bagus dengan transplantasi,” ujar Kusnanto.
Teknologi Terganjal Etika
Sekretaris Pengurus Daerah Ikatan Perawat Dialisis Indonesia (IPDI) DIY, yang juga Kepala Ruang Unit Pelayanan Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Kusnanto. Foto: Widi Erha Pradana.
Meski jadi metode yang paling efektif untuk mengobati gagal ginjal, tapi teknologi transplantasi ginjal di Indonesia masih sulit untuk berkembang. Di Jogja saja, baru RS Sardjito yang menyediakan layanan transplantasi ginjal.
ADVERTISEMENT
Mengutip cangkokginjal.com, jumlah operasi transplantasi ginjal di Indonesia dalam setahun hanya berjumlah sekitar 500 orang. Padahal, jika melihat data Indonesia Renal Registry (IRR), pada 2018 jumlah pasien gagal ginjal aktif di Indonesia mencapai angka 132.142 pasien, dengan tren yang terus bertambah dari tahun ke tahun.
Salah satu kendala utama adalah terbatasnya teknologi, dimana hanya sedikit rumah sakit di Indonesia yang menguasai teknologi transplantasi ginjal. Masih banyak rumah sakit yang belum memiliki reagen HLA yang digunakan untuk menguji kecocokan ginjal pendonor dengan penerima donor sebelum dilakukan transplantasi.
Selain kendala teknologi, sebagian besar masyarakat awam juga masih berpikir bahwa mendonorkan organ tubuhnya merupakan hal yang tabu dan bertentangan dengan kepercayaan atau agama yang diyakini. Hal ini membuat pasien gagal ginjal kronik kesulitan mendapatkan donor. Inilah yang menurut Kusnanto menjadi penyebab sulitnya teknologi transplantasi ginjal berkembang di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan situasi di negara-negara maju, dimana banyak orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya. Orang yang sudah meninggal, lalu mendonorkan ginjalnya untuk orang lain juga menjadi hal yang lumrah di sana.
“Kalau di tempat kita, orang meninggal diambil organnya itu masih tabu. Jadi etik legalnya memang belum mendukung,” ujar Kepala Ruang Unit Pelayanan Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Kusnanto.
Selain itu, perbedaan antara donor dan jual beli ginjal di Indonesia juga sangat tipis. Seringkali modus jual beli ginjal ini dibalut dengan istilah donor. Hal ini sempat terjadi di Jawa Barat dan viral beberapa tahun yang lalu. Dan perdebatan soal norma ini sampai sekarang masih belum menemui kejelasan.
“Jangankan diganti dengan organ lain, misal babi seperti di Amerika, tentu akan sulit. Orang pakai ginjal dari manusia saja masih jadi polemik sampai sekarang,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Tapi di luar masalah regulasi dan perdebatan soal moral, keberhasilan eksperimen transplantasi ginjal babi ke pasien manusia adalah sebuah kemajuan besar di dunia kedokteran, utamanya dalam dunia pengobatan ginjal. Ini menjadi harapan ribuan, atau bahkan jutaan para pasien gagal ginjal kronis yang sampai sekarang masih harus menggantungkan hidupnya pada mesin pencuci darah.
“Tinggal nanti apakah regulasi dari pemerintah dan norma-norma di masyarakat memberikan respons yang positif. Ini yang sampai sekarang masih belum menemukan titik temu,” kata Kusnanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)