Tren Penyakit Gagal Ginjal di Jogja Terus Meningkat, Usia Pasien Makin Muda

Konten Media Partner
11 November 2021 16:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gagal ginjal. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gagal ginjal. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus penyakit gagal ginjal kronis (GGK) di wilayah DIY terus mengalami peningkatan. Hal ini bisa dilihat dari pertambahan pasien baru GGK yang menjalani terapi hemodialisa yang meningkat sangat tajam. Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR), pada 2017 ada pertambahan pasien baru di DIY sebesar 359 pasien, sementara data terakhir pada 2018 jumlah pasien baru bertambah sebesar 2.730 pasien.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Pengurus Daerah Ikatan Perawat Dialisis Indonesia (IPDI) DIY, yang juga Kepala Ruang Unit Pelayanan Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Kusnanto, mengatakan bahwa pertumbuhan pasien ini juga bisa dilihat dari jumlah unit hemodialisa yang ada di DIY. Dalam satu dekade terakhir, jumlah unit hemodialisa atau cuci darah di DIY mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Pada tahun 2000-an, jumlah unit pelayanan hemodialisa di DIY hanya tersedia empat unit, yakni di RSUP Dr Sardjito, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, RS Panti Rapih, serta RS Bethesda. Sedangkan saat ini, jumlah unit pelayanan hemodialisa di Yogyakarta yang sudah terdaftar di IRR sudah mencapai 34 unit dengan jumlah mesin sebanyak 544 buah.
“Dan itu ternyata belum cukup, karena ternyata masih ada waiting list, pasien yang harus menunggu karena semua mesin penuh,” ujar Kusnanto ketika ditemui di RS PKU Muhammadiya Yogyakarta, Sabtu (6/11).
Kusnanto. Foto: Widi Erha Pradana
Daftar tunggu pasien tersebut masih terjadi sebelum terjadinya gelombang kedua COVID-19 beberapa bulan silam. Dan hal itu terjadi hampir di seluruh unit hemodialisa di DIY, meski kemudian jumlahnya turun karena pandemi dan membuat banyak pasien terpaksa menunda penanganan.
ADVERTISEMENT
Jumlah mesin yang dimiliki tiap unit memang berbeda, ada yang memiliki lebih dari 30 mesin seperti PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Sardjito, dan Panembahan Senopati, namun masih ada juga unit-unit yang hanya memiliki mesin di bawah 10 unit. Namun dengan tren penambahan pasien yang terus terjadi tiap tahun, Kusnanto yakin jumlah mesin untuk penanganan hemodialisa di DIY akan terus bertambah.
“Saat ini semua unit memang sedang berusaha untuk menambah mesinnya,” ujarnya.
Sebagai contoh, Unit Hemodialisa RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta saja, dengan 34 mesin yang dimiliki, tiap bulan melakukan penanganan sekitar 1.500 sampai 1.700 kali, dengan jumlah pasien yang masih aktif sekitar 200 orang sampai akhir Oktober. Itu artinya, dengan jumlah mesin 544 yang ada di Yogyakarta, ada sekitar 3.200 pasien yang masih aktif hingga Oktober 2021.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan mesin yang terus bertambah ini juga disebabkan karena adanya kecenderungan pola hidup pasien yang makin baik, sehingga angka harapan hidupnya lebih tinggi. Di sisi lain, mereka masih harus menjalani cuci darah, sehingga pasien-pasien baru tidak bisa menggunakan mesin tersebut.
“Karena jadwal mesinnya sudah penuh semua, kan cuci darah itu harus rutin, misal ada yang seminggu dua kali, jadi selama masih dipakai maka tidak bisa dipakai oleh orang lain,” ujar Kusnanto.
Penderita Gagal Ginjal Usia Muda Makin Banyak
Ilustrasi pasein cuci darah. Foto: Pixabay
Selain jumlah pasien yang terus mengalami pertambahan dari tahun ke tahun, kelompok usia penderita gagal ginjal kronis juga mengalami pergeseran. Saat ini, jumlah pasien gagal ginjal di usia muda semakin banyak dan terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Kusnanto mengatakan, jumlah pasien dengan usia antara 35 sampai 45 tahun kini semakin banyak. Berbeda dengan era beberapa tahun sebelumnya, dimana penderita gagal ginjal kronis hanya didominasi oleh pasien dengan usia 45 tahun ke atas.
“Dan kalau ditanya penyebab utamanya apa, itu belum diketahui pasti,” ujarnya.
Sampai saat ini, penyebab utama gagal ginjal kronis memang masih disebabkan oleh hipertensi dan diabetes mellitus. Namun ada golongan yang tidak diketahui, dan kemudian itu dikaitkan dengan pola hidup yang tidak sehat, terutama karena kurang minum air putih, namun di sisi lain banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung berbagai zat kimia. Selain itu, kebiasaan mengonsumsi berbagai jenis obat, terutama obat-obat yang bebas dijual di warung tanpa resep dokter juga menjadi penyebab rusaknya ginjal.
ADVERTISEMENT
“Sehari pusing empat kali, minum obat empat kali, sehingga membuat beban ginjal semakin berat. Paling tidak perbanyak minum air putih, supaya ginjal itu selalu terbilas,” lanjutnya.
Jika mengacu pada data IRR tahun 2018, proporsi pasien penderita gagal ginjal kronis memang paling banyak usia 45 sampai 54 tahun dengan 30,31 persen, diikuti pasien usia 55 sampai 54 tahun dengan 28,84 persen, sedangkan untuk pasien di atas 65 tahun sebesar 14,40 persen. Namun, jumlah pasien muda usia produktif juga tidak bisa dikatakan sedikit.
Proporsi pasien usia 25 sampai 34 tahun memberikan kontribusi sebesar 6,93 persen, pasien dengan usia 35 sampai 44 tahun sebesar 16,54 persen, bahkan pasien dengan usia 25 tahun mencapai angka 2,57 persen. Ini menjadi peringatan bahwa anak-anak muda tidak terlepas dari ancaman penyakit ini.
ADVERTISEMENT
Kusnanto menyebut gagal ginjal kronis sebagai pembunuh senyap atau silent killer. Sebab, penyakit ini akan menyerang seseorang secara perlahan dalam jangka waktu lama, sehingga tidak langsung dirasakan oleh penderitanya. Celakanya, masyarakat Indonesia jarang melakukan pemeriksaan atau deteksi dini, sehingga baru diketahui ketika penyakit tersebut sudah sampai pada tahap kronis atau sangat lanjut.
“Sehingga banyak yang bilang kalau mereka tidak pernah sakit, tapi tiba-tiba kena ginjal. Bukannya enggak pernah sakit, tapi enggak ngerti kalau sakit. Jadi jeleknya masyarakat kita itu kalau disuruh check up enggak mau, nunggu benar-benar ambruk dulu,” kata Kusnanto. (Widi Erha Pradana / YK-1)