Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Wacana Diksi Perampasan jadi Pemulihan di RUU Perampasan Aset Dipertanyakan
10 November 2024 19:26 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Komitmen DPR RI periode 2024-2029 dalam pemberantasan korupsi kembali dipertanyakan, seiring dengan keputusan parlemen yang tidak memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029. Padahal, RUU ini diyakini sebagai instrumen krusial untuk menyita aset-aset hasil korupsi tanpa harus melalui proses pidana yang panjang dan berlarut-larut.
ADVERTISEMENT
Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho, melihat ketidakseriusan DPR semakin nyata ketika muncul wacana mengubah diksi “perampasan” menjadi “pemulihan” dalam RUU tersebut.
"Elemen penting dari RUU ini adalah soal Perampasan Aset, bukan sekadar pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta. Yang kita kejar kan sumber-sumber aset itu," ujarnya dalam rilis yang diterima redaksi Minggu (10/11).
Hardjuno menegaskan bahwa meski tidak ingin terjebak dalam polemik nama, RUU ini sangat diperlukan untuk memperkuat kewenangan negara dalam menyita aset-aset yang dicurigai hasil kejahatan. "Saya tidak mau terjebak dalam polemik diksi itu. Yang terpenting, RUU ini disahkan menjadi UU agar efek jera bagi koruptor dapat segera dirasakan," kata Hardjuno.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, mekanisme Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) telah terbukti efektif dalam menyita aset tanpa perlu menunggu proses pidana.
ADVERTISEMENT
Di AS, misalnya, pemerintah dapat menyita aset yang dicurigai dari aktivitas kriminal melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act, yang memungkinkan penyitaan aset secara perdata dalam kasus di mana bukti pidana sulit diperoleh. Begitu pula di Inggris, penyitaan aset dapat dilakukan dalam kasus kejahatan terorganisir.
Menurut Hardjuno, Indonesia harus belajar dari negara-negara tersebut. "Jika DPR memahami betul manfaat RUU ini, mereka seharusnya lebih progresif dan berani memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas," tegasnya.
Dengan regulasi ini, negara dapat mengambil kembali kekayaan publik yang diselewengkan, termasuk dalam kasus besar seperti temuan uang Rp1 triliun di rumah mantan hakim Mahkamah Agung.
RUU ini bukan hanya soal pengembalian aset, tetapi juga tentang memperkuat supremasi hukum di Indonesia. Hardjuno mengingatkan bahwa penerapan NCB harus dilakukan dengan kehati-hatian agar tetap melindungi hak-hak sipil, seperti yang diterapkan di Inggris. "Prinsip kehati-hatian perlu diadopsi agar mekanisme ini sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan hukum," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Dengan kerugian negara akibat korupsi yang mencapai ratusan triliun rupiah, Hardjuno menekankan bahwa RUU Perampasan Aset akan mempercepat pemulihan aset dan menguatkan anggaran publik untuk kepentingan masyarakat luas. "RUU ini memungkinkan negara mengambil langkah tegas dan efisien dalam menyita aset korupsi," tandasnya.
Hardjuno menutup pernyataannya dengan tantangan bagi DPR untuk segera mengesahkan RUU ini.
"Kita butuh keberanian dan pemahaman yang lebih mendalam dari wakil rakyat agar regulasi ini terwujud. Dengan adanya RUU ini, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih kuat dalam menghadapi korupsi dan memperkuat kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam menjaga kekayaan publik dari tindakan kriminal," pungkasnya.