Konten Media Partner

Wawancara Khusus Kepala BAPPEDA DIY: Bicara Kemiskinan, Sampah, Trans Jogja

31 Juli 2024 12:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala BAPPEDA DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti. Foto: Iqbal Twq/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Kepala BAPPEDA DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti. Foto: Iqbal Twq/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jurnalis Pandangan Jogja melakukan wawancara khusus dengan Ni Made Dwipanti Indrayanti yang baru dilantik sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Rabu (10/7) silam.
ADVERTISEMENT
Sebelum dilantik menjadi Kepala BAPPEDA DIY, Made sempat ditugaskan sebagai Penjabat (Pj) Bupati Kulon Progo periode 2023-2024 sembari mengemban tugas sebagai Kepala Dinas Perhubungan DIY.
Di awal kariernya Made sebenarnya sempat bertugas di BAPPEDA DIY selama 18 tahun. Di BAPPEDA, Made sempat menjabat di sejumlah bidang, mulai dari transportasi hingga perencanaan. Dan kini, setelah 6 tahun meninggalkan BAPPEDA DIY ia kembali ditugaskan di BAPPEDA sebagai kepalanya.
Dalam wawancara khusus ini, Made membahas isu terkini seputar pembangunan di DIY, salah satunya terkait kemiskinan di mana berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2024, persentase kemiskinan DIY masih jadi yang tertinggi di Jawa dengan angka 10,83 persen.
Selain itu, Made juga membahas kendala-kendala yang dialami pemerintah dalam mengatasi masalah sampah yang masih jadi isu aktual di Jogja terutama dalam setahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Tak lupa, Made yang berlatar belakang pendidikan di bidang transportasi (juga pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Perhubungan DIY) juga membahas mengenai masalah transportasi umum di Jogja, khususnya Trans Jogja.
Berikut adalah kutipan wawancara Jurnalis Pandangan Jogja dengan Kepala BAPPEDA DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti.
Ni Made Dwipanti Indrayanti saat dilantik menjadi Kepala BAPPEDA DIY. Foto: Pemda DIY
Provinsi DIY masih jadi provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa berdasarkan BPS per Mei 2024. Apa rencana strategis Pemda DIY untuk mengatasi masalah ini?
Kita bicaranya bukan tertinggi se-Pulau Jawa dan lain-lain, kita bicara seberapa besar effort-nya Pemerintah Daerah untuk menurunkan kemiskinan. Kalau bicara angka, kita harus bicaranya dari awal, angka itu berapa? Jangan cuma kemudian angka yang ada di akhir, dia turunnya sudah seberapa, itu effort, itu yang kemudian kita bicara bahwa Pemerintah Daerah itu sudah sangat komit untuk bicara itu.
ADVERTISEMENT
Kita penurunannya sudah cukup tinggi, kita bicara rentang 10 tahun, itu kondisinya cukup besar. Kita sekarang kondisinya di angka 10,83, pada 2014 kita masih di angka 15 persen.
Persoalannya begini, kenapa besar? Karena penduduk DIY dibandingkan dengan penduduk Jawa Tengah misalnya, sedikit. Tetapi kalau bicara orang miskinnya, kita sebenarnya berapa sih kalau dibandingkan dengan Jawa Tengah.
Sekarang kan bicaranya persentase. Ketika populasinya itu kecil, otomatis kan persentasenya tetap besar.
Apa tantangan utama Pemerintah Daerah untuk menekan angka kemiskinan ini?
Kalau dari BPS sendiri kan menginfokan dari sisi konsumsi ketika bicara kemiskinan. Konsumsi yang kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat. Kan kita ada garis kemiskinan, sekarang ada di angka Rp 602.437 per penduduk. Konsumsi besarnya itu ada di makanan.
ADVERTISEMENT
Ada empat komoditas yang mempengaruhi itu, pertama beras, yang kedua cabai, yang ketiga telur, yang keempat itu tomat. Saya waktu di Kulon Progo kan ke pasar-pasar, tomat itu mahal. Jadi sebenarnya ini yang harus kita perhatikan.
Tapi apapun itu Pemda DIY ini kan dalam penanganan kemiskinan tidak business as usual, tidak hanya bicara persoalan bagaimana kemudian membantu orang miskin, tapi bagaimana dia kemudian bisa entas dari situ dan ada kemandirian. Kalau bicara kemiskinan ekstrem, sudah kecil sebenarnya kita.
Apakah dengan menaikkan upah minimum otomatis bisa mengatasi masalah kemiskinan?
Persoalannya kan ada pekerja formal dan non formal. Kalau yang formal, di perusahaan dan lain-lain mungkin terpantau ya, UMP itu bisa berpengaruh. Tapi kalau yang non formal, yang pekerja rumahan, itu kan tidak dipengaruhi UMP.
ADVERTISEMENT
Ada hal-hal yang kemudian kita bicara ini tidak cukup di sini, tidak cukup kita bicara UMP. Ada hal-hal yang kita perlu bicara dari sisi pertama misalnya, kebiasaan masyarakat seperti apa.
Contoh kalau kita bicara konsumsi, 2.100 kalori misalnya artinya dia harus makan tiga kali sehari. Padahal mungkin kalau kita survei ada yang puasa, ada yang hanya makan dua kali, kayak gitu kan sangat mempengaruhi.
Yang kedua bagaimana kemudian lingkungan itu ada empati juga. Kalau semua ini tanggung jawab Pemerintah Daerah, tapi kan tidak bisa sendiri Pemerintah Daerah. Tanggung jawab kita semua.
Tumpukan sampah di TPA Regional Piyungan, Bantul, DIY. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Beralih ke persoalan sampah yang masih menjadi isu aktual di Jogja dalam setahun terakhir. Rencana strategis apa yang Anda siapkan untuk mengatasi masalah sampah di DIY?
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah disampaikan Pak Sekda, kita kan sudah bekerja sama dengan Bantul, bagaimana mengoptimalkan TPA Piyungan juga walaupun ada batasan-batasan tertentu.
Masing-masing daerah itu untuk masalah sampah punya keterbatasan tersendiri. Ketika di perkotaan, dengan aktivitas yang luar biasa mulai dari pendidikan, wisata, budaya dan lain-lain, mungkin produksi sampahnya menjadi lebih besar.
Bantul mungkin masih punya wilayah untuk mengolah sampahnya, Sleman masih punya wilayah, Kota Yogyakarta? Dia sudah dipenuhi oleh permukiman, terus dia mau bagaimana?
Pertama, ketika kita bicara pengaturan terhadap sampah, oke sampah ditangani oleh masing-masing rumah tangga, ya kalau mereka punya lahan. Kalau rumah pribadi mungkin masih bisa, tapi kalau kos-kosan? Itu yang harus dipikirkan.
Kemudian kerja sama seharusnya dengan daerah lain kalau kita memang tidak punya lahan. Teknologi sebenarnya sudah ada, tinggal bagaimana kita me-manage itu. Kebijakan itu tidak bisa digeneralisasi.
ADVERTISEMENT
Artinya kendala yang ada saat ini hanya ketersediaan lahan yang terbatas?
Karena itu diperlukan inventarisasi wilayah. Misalnya apakah mau di tingkat kapanewon, kalurahan, atau bagaimana, kan harus dibuat manajemennya juga. Apakah sampah mau dicampur semua, itu kan ada waktu lagi untuk memilah, belum ada tempat.
Apakah semua tempat itu mau ada titik-titik pembuangan sampah, itu kan juga masalah kalau kita bicara perkotaan. Karena itu tadi, fungsi pendidikan, pariwisata, itu kan menghasilkan banyak sampah.
Itu kan sangat mengganggu, tapi lahan mau ditaruh di mana, enggak punya lahan yang cukup besar.
Kita sudah punya treatment-treatment untuk mengarah ke sana, tinggal bagaimana wilayah ini mengaturnya. Kalau provinsi kan kemudian tidak bisa sampai ke teknis.
Armada bus Trans Jogja. Foto: Arif UT
DIY sudah memiliki moda transportasi umum yakni Trans Jogja. Namun kenapa rute yang ada masih belum efisien sehingga selisih waktu tempuhnya jauh lebih lama dibandingkan menggunakan transportasi pribadi?
ADVERTISEMENT
Pertama kita harus memenuhi prinsip bahwa semua wilayah harus dilayani, otomatis modanya harus banyak. Ketika modanya harus banyak, konsekuensinya adalah pembiayaan besar.
Sebenarnya dari sisi transport itu memang ulang-alik, dari titik A ke titik B, dari titik B ke titik A. Tapi ketika semua jalur seperti itu kan jadi agak susah, membutuhkan banyak support untuk hal itu.
Ini sudah kita evaluasi, jadi saya sangat berterima kasih misalnya masyarakat memberikan masukan ke kita, jalurnya kok enggak efektif, kita evaluasi terus. Kita kadang-kadang sampai mengeluarkan surat ke kepala dinas untuk uji coba rute, efisien tidak, itu semua kan dicoba.
Tapi memang armadanya ini memang tidak semua bisa beroperasional karena keterbatasan itu tadi.
ADVERTISEMENT
Berapa banyak armada Trans Jogja yang ada saat ini?
Kita ada 128 armada, tapi yang jalan 95 karena support dananya yang terbatas. Karena itu kan masih disubsidi, sebab kalau bisnis transport itu susah, tidak profitable juga.
Kami insyaallah Agustus meluncurkan bus listrik, free masih, karena masih uji coba. Mudah-mudahan bisa mensupport green economy, kemudian Sumbu Filosofi dengan low emission zone.
Pelan-pelan arahnya memang semua akan menjadi bus listrik, tapi step by step karena modal awal besar. Tapi secara maintenance itu lebih sederhana daripada bahan bakar fosil.
Kepala BAPPEDA DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti. Foto: Iqbal Twq/Pandangan Jogja
Setelah setahun kemarin ditugaskan sebagai Pj Bupati Kulon Progo, mengapa tidak memilih untuk terjun ke politik dan mencalonkan diri di Pilkada Kulon Progo 2024?
ADVERTISEMENT
Enggak lah. Saya itu kan di sana bukan karena saya orang politik, tapi karena saya diperintah untuk di sana mengawal selama kekosongan kepala daerah. Tetap saya kemudian niat saya adalah bekerja sebaik-baiknya, seperti saya di manapun. Itu saja.
Walaupun kemudian ada yang bilang, ibu kok tidak lanjut, kan mensupport daerah itu enggak harus menjadi kepala daerah.
Artinya ada pihak yang meminta Anda untuk maju dalam Pilkada 2024?
Ada sih. Tapi mungkin bukan passion saya sebagai politikus. Cukup di birokrat saja, ya dinikmati. Begini saja kita sudah berat ya, apalagi kemudian masuk ke dunia politik.