Konten dari Pengguna

Adaptasi Film Live Action dari Anime: Fenomena, Tanggapan, dan Isu Whitewashing

Pandu Watu Alam
Dosen Program Studi Televisi dan Film Fikom UNPAD, Musisi, dan Praktisi Scoring Film
6 Agustus 2023 15:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandu Watu Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Vinson Tan ( 楊 祖 武 ) dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Vinson Tan ( 楊 祖 武 ) dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini industri film memunculkan kembali adaptasi film live action dari anime, salah satu yang menarik perhatian adalah akan ditayangkannya film One Piece versi live action di Netflix pada tanggal 31 Agustus mendatang.
ADVERTISEMENT
Setelah sebelumnya film-film live action yang diadaptasi dari anime menjadi perbincangan di antara penonton, terutama penggemar versi anime nya, film One Piece menjadi tantangan besar apakah versi live action nya akan disukai atau menuai kritikan dari para penonton.
Film live action yang diadaptasi dari anime telah menjadi fenomena menarik dalam industri hiburan. Penggemar anime di seluruh dunia telah menyaksikan kisah-kisah favorit mereka menjadi hidup dalam bentuk live action. Namun, fenomena ini tidak datang tanpa tantangan, dan salah satu isu kritis yang sering muncul adalah masalah whitewashing.
Whitewashing adalah praktik memilih pemeran kulit putih untuk memerankan karakter yang seharusnya memiliki latar belakang etnis tertentu.
Dalam banyak adaptasi live action anime, terutama di Hollywood, banyak karakter Asia atau karakter dengan latar belakang etnis khusus diperankan oleh aktor atau aktris kulit putih. Hal ini telah menimbulkan kontroversi dan protes dari penggemar dan penonton.
Ilustrasi adaptasi film live action dari anime dragon ball, Gambar oleh fernando zhiminaicela dari Pixabay
Salah satu contoh adaptasi yang menjadi sorotan adalah film live action Ghost in the Shell. Film ini diadaptasi dari anime legendaris dengan nama yang sama, tetapi kontroversi besar muncul ketika Scarlett Johansson, seorang aktris kulit putih, dipilih untuk memerankan Major Motoko Kusanagi, karakter utama dari cerita tersebut.
ADVERTISEMENT
Penggemar dan aktivis menyuarakan ketidakpuasan mereka atas pemilihan pemeran yang tidak sesuai secara etnis dengan karakter asli. Begitu pula dengan film Dragon Ball Evolution yang dirilis tahun 2009 menuai kritikan dalam pemilihan pemeran karakter Goku. Karakter Goku dalam anime memiliki latar belakang Asia, sementara dalam versi live action-nya diperankan oleh Justin Chatwin yang merupakan aktor kulit putih.
Masalah yang serupa juga muncul dalam adaptasi live action Death Note. Dalam film ini, karakter utama, Light Yagami, yang dalam anime-nya adalah karakter Jepang, diperankan oleh Nat Wolff, seorang aktor kulit putih. Kontroversi ini menyebabkan pertanyaan tentang apakah industri hiburan benar-benar mencerminkan keragaman budaya yang ada di dunia nyata?
Ilustrasi film Samurai X, Gambar oleh animelab365 dari Pixabay
Namun, tidak semua adaptasi live action anime menghadapi isu whitewashing. Ada beberapa contoh di mana adaptasi tersebut berhasil menangkap esensi dan budaya karakter asli tanpa menghadapi masalah yang sama.
ADVERTISEMENT
Film live action Rurouni Kenshin adalah salah satu contohnya. Film ini mendapatkan pujian karena keputusan cerdas dalam memilih pemeran yang sesuai secara etnis dengan karakter asli dari seri animenya.
Tanggapan penonton terhadap adaptasi film live action anime bisa sangat beragam. Ada penggemar yang antusias menyambut adaptasi ini, berharap untuk melihat kisah kesayangan mereka dihidupkan dalam format live action dengan efek visual dan aksi yang menarik.
Namun, ada juga penggemar yang skeptis dan khawatir bahwa adaptasi tersebut tidak akan mampu menangkap esensi dan kompleksitas cerita serta karakter asli.
Bagi banyak penggemar, karakter anime yang mereka kenal dan cintai adalah bagian dari identitas budaya dan nilai-nilai yang mereka anut. Oleh karena itu, mereka mengharapkan adaptasi film live action untuk menghormati karakter-karakter tersebut dengan tetap setia pada asal usul etnis mereka.
Ilustrasi Industri Film, Gambar oleh OsloMetX dari Pixabay
Whitewashing juga menjadi sorotan karena masalah representasi. Industri hiburan memiliki tanggung jawab untuk mencerminkan keragaman dunia nyata dan menghormati identitas budaya dari karakter-karakter yang diadaptasi.
ADVERTISEMENT
Ketika karakter dengan latar belakang etnis yang jelas diubah secara etnis dalam adaptasi live action, hal ini dapat mempengaruhi perasaan inklusivitas dan representasi bagi penonton dari latar belakang etnis tertentu.
Penting untuk diingat bahwa industri hiburan berada dalam proses belajar dan berkembang. Sementara ada contoh adaptasi yang kurang sukses dalam mengatasi masalah whitewashing, ada juga progres yang terlihat dalam beberapa adaptasi terbaru di mana pemeran yang lebih sesuai secara etnis dipilih untuk memerankan karakter asli.
Dalam menghadapi tantangan dan kritik, produser film harus tetap membuka diri terhadap umpan balik dan mendengarkan aspirasi dari penggemar dan penonton.
Memilih pemeran yang sesuai secara etnis, mendapatkan konsultasi dari budayawan, serta memahami esensi karakter asli dapat membantu menghadirkan adaptasi live action yang lebih akurat dan mencerminkan keragaman dunia nyata.
Ilustrasi keberagaman dalam peran, Gambar oleh Mauricio Keller Keller dari Pixabay
Dalam kesimpulannya, fenomena film live action yang diadaptasi dari anime menarik perhatian besar dari penggemar dan penonton di seluruh dunia. Tanggapan terhadap adaptasi ini bervariasi, dan isu whitewashing telah menjadi fokus perhatian.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai representasi yang lebih akurat dan inklusif, industri hiburan perlu terus berupaya memilih pemeran yang sesuai secara etnis dan menghormati identitas budaya karakter asli. Hanya dengan melakukan hal ini, adaptasi live action anime akan semakin mendekati visi yang diharapkan oleh para penggemar dan penonton.