Konten dari Pengguna

Fenomena Kafe Overpriced di Yogyakarta: Gaya Hidup Digital di Tengah Ketimpangan

Parahita Janu Arundati
Mahasiswi Ilmu Ekonomi Universitas Gadjah Mada
13 Desember 2024 14:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Parahita Janu Arundati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Minuman Estetik. Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Minuman Estetik. Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, antropologi digital menjadi ilmu yang relevan untuk memahami interaksi antara manusia, budaya, dan teknologi. Di Yogyakarta, antropologi digital dapat menjadi kacamata untuk melihat bagaimana fenomena sosial dan ekonomi lokal dipengaruhi oleh teknologi digital, termasuk pola pergeseran konsumsi masyarakat. Salah satu fenomena menarik yang mencerminkan hal ini adalah perkembangan kafe overpriced di tengah rendahnya Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, UMP Yogyakarta tahun 2024 hanya sebesar Rp2.125.898. Meskipun angka ini jauh di bawah standar hidup layak Indonesia, Yogyakarta terus menyaksikan perkembangan pesat pada sektor kuliner, terutama kafe dengan harga yang overpriced. Kafe-kafe tersebut sebagian besar juga tetap ramai dikunjungi. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin wilayah dengan daya beli rendah mampu menopang maraknya bisnis kafe overpriced? Apakah teknologi digital memengaruhi pola konsumsi masyarakat sehingga menciptakan kesenjangan seperti ini?
Budaya Konsumsi di Era Digital
Teknologi telah mengubah cara masyarakat melihat dan membeli sesuatu, termasuk makanan dan minuman. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi platform penting yang memengaruhi gaya hidup banyak orang, terutama generasi muda. Di Yogyakarta sendiri, banyak kafe yang menarik perhatian dengan desain tempat yang "Instagramable" atau cocok untuk dipamerkan di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kafe-kafe ini tidak hanya menjual kopi atau makanan, tetapi juga menawarkan pengalaman visual dan suasana yang unik. Dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial, mereka bisa menjangkau lebih banyak orang. Bahkan, tak jarang konsumen mereka berasal dari luar kota. Hal ini menciptakan budaya baru, di mana orang-orang mengutamakan pengalaman visual dan pengakuan sosial dibandingkan dengan nilai ekonomis dari suatu produk. Dalam konteks antropologi digital, hal ini dapat dilihat sebagai bentuk "ritual digital", atau banyak gen-z yang menyebutnya “memberi makan media sosial”. Masyarakat tidak hanya datang ke kafe untuk menikmati kopi, tetapi juga untuk membangun identitas digital mereka. Sebuah foto secangkir kopi di kafe estetik menjadi simbol status sosial yang dapat dipamerkan di media sosial. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana teknologi telah memengaruhi nilai budaya konsumsi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan UMP dan Pola Konsumsi Kelas Menengah Baru
Walaupun UMP Yogyakarta rendah, namun masih terdapat segmen masyarakat dengan daya beli yang cukup tinggi. Segmen ini kebanyakan terdiri dari mahasiswa luar kota yang sedang belajar di Yogyakarta dan pekerja freelance atau pekerja remote yang upahnya tidak bergantung pada UMP. Digitalisasi ekonomi, terutama dengan munculnya pekerjaan berbasis teknologi, telah menciptakan kelas menengah baru yang lebih fleksibel secara finansial.
Namun, kelas menengah ini tidak selalu mencerminkan mayoritas masyarakat Yogyakarta. Banyak penduduk lokal tetap bergulat dengan pendapatan rendah yang tidak mampu mengikuti pola konsumsi "mewah". Akibatnya, kafe overpriced cenderung melayani segmen tertentu saja. Hal ini kemudian menciptakan terjadinya segregasi ekonomi dalam ruang sosial. Dalam perspektif antropologi digital, hal ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat membentuk dan memperluas kesenjangan sosial. Digitalisasi memungkinkan promosi yang menjangkau kalangan atas, sementara mereka yang kurang melek digital dan tidak terjangkau oleh pemasaran akan tersisih dari akses terhadap pengalaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Paradox of Place: Yogyakarta sebagai Kota Budaya, Kota Pelajar, dan Kota Gaya Hidup
Yogyakarta sering dipromosikan sebagai kota budaya dengan kehidupan sederhana dan biaya hidup yang terjangkau. Namun, dilihat dari perkembangan sektor kuliner akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa kota ini juga menjadi destinasi konsumsi yang semakin kompleks. Ini menciptakan kontradiksi. Di satu sisi, Yogyakarta tetap mempertahankan identitasnya sebagai kota budaya. Namun di sisi lain, pola konsumsi dan gaya hidup baru justru menunjukkan sisi modernitas yang berbeda dari citra tradisionalnya. Fenomena ini dapat dilihat sebagai contoh dari apa yang disebut dengan "paradox of place" dalam antropologi.
Banyak kafe mahal yang mencoba mengadopsi unsur budaya lokal, seperti desain interior bernuansa tradisional atau nama menu yang khas. Namun, harga yang ditawarkan sering kali tidak terjangkau atau overpriced bagi masyarakat lokal. Pada akhirnya, kafe ini lebih banyak melayani wisatawan atau kelompok tertentu, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton.
ADVERTISEMENT
Pergeseran Nilai dan Dampaknya terhadap Masyarakat Lokal
Rendahnya UMP Yogyakarta mencerminkan tantangan struktural ekonomi yang dihadapi masyarakat lokal. Ketika kafe overpriced berkembang pesat, sebagian besar masyarakat lokal sering kali hanya menjadi pengamat, bukan partisipan. Bahkan, sebagian dari mereka mungkin menjadi pekerja dengan upah rendah di kafe-kafe tersebut. Hal ini kemudian memupuk subur siklus ketimpangan ekonomi.
Antropologi digital memungkinkan kita untuk melihat dampak jangka panjang dari fenomena ini. Tekanan gaya hidup yang muncul dari media sosial dapat menciptakan perasaan terasingkan bagi masyarakat yang tidak mampu mengikuti tren ini. Mereka tidak hanya tertinggal secara ekonomi, tetapi juga secara sosial, karena merasa tidak termasuk dalam pola konsumsi modern yang populer. Jika pola konsumsi dan investasi terus berpusat pada segmen elit, maka kesenjangan ekonomi akan semakin melebar. Selain itu, masyarakat lokal dapat kehilangan identitas budaya mereka karena tekanan homogenisasi gaya hidup yang dipengaruhi oleh teknologi dan globalisasi.
ADVERTISEMENT
Munculnya kafe-kafe overpriced di Yogyakarta di tengah rendahnya UMP mencerminkan pengaruh besar teknologi digital terhadap pola konsumsi masyarakat. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana teknologi dapat menciptakan tren baru yang menarik, dan memperbesar kesenjangan ekonomi dan sosial. Namun dengan langkah-langkah yang tepat seperti pemberdayaan pelaku UMKM, peningkatan kesadaran budaya, edukasi konsumsi, dan peningkatan upah minimum, Yogyakarta dapat menyeimbangkan modernitas dengan nilai-nilai lokalnya, sehingga semua lapisan masyarakat dapat merasakan manfaat dari perkembangan yang ada. Kemajuan suatu kota bukan hanya dilihat dari popularitas di media sosial, tetapi juga tentang bagaimana masyarakatnya mampu hidup dengan layak dan saling mendukung.
Referensi
BPS Indonesia. (2024). Upah Minimum Regional/Propinsi - Tabel statistik. Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwIzI=/upah-minimum-regional-propinsi.html
ADVERTISEMENT