Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Menjadi Orang Baik: Suatu Keniscayaan
25 Januari 2025 16:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Parminto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengapa menjadi orang baik begitu penting? Setidaknya, empat hal berikut ini bisa menjawabnya.
ADVERTISEMENT
Pertama, pada dasarnya, semua orang menyukai orang yang baik. Dalam interaksi keseharian, kita tentu merasakan hal ini. Selama bergaul dengan bermacam-macam karakter orang, kita tentu merasa nyaman bila bersama orang yang baik kepribadiannya—setidaknya baik menurut persepsi kita.
Kedua, kepribadian berperan dominan dalam mengukir kesuksesan. Sebuah penelitian melaporkan bahwa sikap berkontribusi hingga 80%, sedangkan keterampilan hanya 20% dalam menghadirkan kesuksesan. Hal ini dikutip dari tulisan Erry Sunarli pada Kompasiana 3 Januari 2013.
Ketiga, semua agama mengajarkan kepada pemeluknya agar menjadi pribadi yang saleh, yang baik, atau berakhlak mulia. Dalam Islam, Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Sesungguhnya, aku diutus ke bumi hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.
Keempat—ini yang menjadi perhatian Penulis—orang baik adalah pelopor sekaligus unsur utama dalam evolusi masyarakat menuju kehidupan global yang harmonis, penuh kejujuran, kesetaraan, keadilan, kedamaian, ketenteraman, dan kesejahteraan—peradaban paripurna di masa depan.
ADVERTISEMENT
Sekarang, bagaimana dengan Anda? Saya percaya, seperti saya juga, Anda tentu ingin menjadi orang yang menyenangkan, ingin sukses dan mensukseskan diri, serta ingin menjadi pribadi yang saleh sekaligus mempunyai kontribusi dalam menghadirkan peradaban yang dirindukan oleh banyak orang.
Itu berarti, kita ingin menjadi orang yang baik. Mengenai orang baik ini, para ahli memberikan pengertian dengan rumusan yang berbeda-beda, tetapi saling melengkapi.
Menurut para filsuf, antara lain Aristoteles (384-322 SM), orang baik adalah mereka yang menempuh kehidupan yang selaras dengan kebajikan yang diperoleh dari kebiasaan. Tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan. Mereka selalu mencari “jalan tengah” (golden mean) antara dua kutub ekstrem.
Kemudian, menurut Konfusius (551-479 SM), orang baik adalah seseorang yang menjalankan kebajikan, seperti kesalehan, kebijaksanaan, dan keadilan. Mereka memelihara harmoni dalam masyarakat dan memperlakukan orang lain sesuai dengan “prinsip emas”: Jangan lakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin dilakukan kepadamu.
ADVERTISEMENT
Lalu, menurut Immanuel Kant (1724-1804 M), orang baik adalah mereka yang tindakannya didasarkan pada “kehendak baik” atau “good will” yang selaras dengan moral universal. Jadi, apa yang dilakukan bukan karena dorongan emosional dan keuntungan pribadi, melainkan kewajiban moral.
Selanjutnya, menurut Albert Camus (1913-1969 M), orang baik adalah mereka yang menerima absurditas kehidupan, tetapi tetap berjuang untuk menciptakan makna melalui tindakan yang penuh kasih dan solidaritas. Mereka hidup dengan keberanian dan komitmen untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan.
Berbeda dengan para filsuf, ulama memiliki pengertiannya tersendiri mengenai orang baik. Berikut ini pengertian orang baik menurut para ulama klasik.
Menurut Al-Ghazali (1059-1111 M), orang baik adalah mereka yang bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi orang lain.
ADVERTISEMENT
Menurut Imam As-Syafi’i (767-820 M), orang baik adalah mereka yang memiliki ilmu yang diamalkan, bersikap rendah hati, menghindari mengolok-olok dan fitnah, serta sabar menghadapi permasalahan hidup.
Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406 M), orang baik adalah mereka yang menjaga harmoni dalam masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kerja sama, dan moralitas.
Jadi, orang baik bisa dipahami sebagai orang yang senantiasa berusaha menjaga keselarasan relasi antara dirinya dengan orang lain, alam, dan Tuhan. Dengan demikian, terciptalah kehidupan masyarakat yang damai dan berkeadilan.
Namun, hingga hari ini, apa yang bisa kita saksikan jauh dari keadaan yang seperti itu. Terjadi kekerasan dan ketidakadilan berskala global. Kekerasan dan ketidakadilan terjadi di mana-mana, di seluruh pelosok dunia. Berita-beritanya berseliweran, tidak asing lagi di mata dan telinga kita.
Terorisme bermotif politis maupun ideologis dengan target sipil maupun militer. Kemudian, konflik senjata atau perang antar kelompok dan negara, serta pembunuhan massal. Semua ini adalah bentuk kekerasan fisik.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kekerasan nonfisik, seperti penipuan, intimidasi, penindasan, pemaksaan, kebohongan atau hoaks, dan lainnya.
Sedangkan penampakan ketidakadilan dapat berupa pengangguran, kemiskinan, kesenjangan pendapatan, monopoli ekonomi, pembatasan penyampaian pendapat, dan yang sejenisnya.
Maka, jika meminjam istilah atau frasa dari penyair Inggris William Shakespeare, yang juga diabadikan dalam lagu yang dipopulerkan oleh penyanyi nasional Ahmad Albar: “Dunia ini panggung sandiwara”. Bisa dimaknai bahwa yang sekarang sedang memainkan lakon sandiwara di atas panggung dunia ini kebanyakan adalah mereka yang dari kalangan “bukan orang baik”.
Oleh karena itu, kembali ke alasan nomor empat pentingnya menjadi orang baik yang tersebut di awal tulisan ini—sebagai pelopor menuju peradaban paripurna di masa depan. Maka orang baik harus mengambil alih peran itu.
ADVERTISEMENT
Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dan tidak bisa instan. Tetapi harus dilakukan. Dan segera dimulai. Lantas bagaimana caranya?
Setidaknya bisa diawali dengan membangun kesadaran masyarakat luas—mengatasi segala macam perbedaan (suku, bangsa, negara, ideologi, agama, dan yang lain)— akan pentingnya menjadi orang baik. Kemudian berusaha mencetak atau melahirkan orang baik itu sebanyak-banyaknya.
Dalam konteks Indonesia, usaha semacam itu bisa dilakukan secara formal melalui institusi pendidikan dan secara nonformal melalui keluarga dan masyarakat. Hal ini tentu sudah berjalan, hanya saja mungkin perlu lebih dimaksimalkan. Dan perlu juga diupayakan cara-cara lain yang lebih kreatif.
Upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada segenap lapisan masyarakat bisa dipandang sebagai cara yang kreatif. Hal ini pernah dilakukan oleh Orde Baru di masa lalu. Yaitu melalui program penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tetapi program ini menuai kegagalan bersamaan dengan keruntuhan Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, sekarang ditunggu hadirnya cara inovatif lainnya guna memfasilitasi mereka yang mau menjadi orang baik. Suatu inovasi yang bisa diaplikasikan di masyarakat Indonesia dan masyarakat global. Marilah segera kita mulai.
Antapani Kidul, 25 Januari 2025.