Konten dari Pengguna

Timbul Tenggelam Musik Progresif Rock Indonesia

Pebri R Azhari
Penonton Musik, Pendengar Sepak Bola
19 Januari 2017 12:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pebri R Azhari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Musik progresif Rock adalah musik yang diciptakan untuk didengarkan, bukan untuk menari “, Tulis Allan F. Moore dalam bukunya Song Means: Analysing and Interpreting Recorded Popular Song. Ya, musik progresif memang bukan genre yang mendominasi arus utama dalam dunia pada 3 dasawarsa terakhir. Musik progresif rock memang telah meninggalkan masa kejayaannya yang terjadi pada era tahun 1970an.
ADVERTISEMENT
Progressive Rock yang selanjutnya disingkat dengan kata “prog” adalah sebuah sub genre musik rock yang lahir di tanah Inggris pada era 1960an, ditandai dengan lahirnya album The Beatles berjudul Sergeant Pepper’s Lonely Heart Club Band yang dirilis pada tahun 1967.
Kata progresif dalam penyebutan genre ini mengacu pada kemajuan musik dari era sebelumnya yang ditandai dengan hadirnya beragam warna musik sekaligus dalam satu kesatuan.
Banyak band progresif rock yang bermunculan pada akhir 60 sampai 70an yang merupakan puncak dari genre musik tersebut. Yes, Pink Floyd, King Crimson, Genesis, ELP, Jethro Tull adalah beberapa nama band yang muncul dan berjaya pada era tersebut, dan bisa dibilang menjadi euforia kala itu.
ADVERTISEMENT
Ciri dari musik progresif rock adalah temponya yang kurang umum ataupun ganjil yakni 5/7, 7/8, 9/8, dll, memiliki durasi lagu yang cukup panjang. Sebagai gambaran, waktu tempuh perjalanan saya selama 45 menit dari Klaten ke Solo hanya menghabiskan 2 lagu dari Dream Theater (A Change of Seasons dan Octavarium). Jadi, kalau kalian telat datang 30 menit ke konser Dream Theater, berdoalah mereka memainkan salah satu lagu tersebut sehingga kalian baru ketinggalan satu lagu.
Ciri berikutnya adalah adanya tema-tema tertentu dalam album yang diciptakan semisal, Steven Wilson dalam album Hand. Cannot. Erase, yang Konsep dan idenya berasal dari kasus Joyce Carol Vincent, seorang wanita yang meninggal di apartemennya dan tak seorang pun menyadarinya selama tiga tahun, meskipun memiliki keluarga dan teman.
ADVERTISEMENT
Musik progresif Rock adalah musik yang diciptakan untuk didengarkan, bukan untuk menari, begitu tulis Allan F. Moore. Itu (musik progresif rock) lebih berfokus pada alunan lagu dan kemampuan instrumental para personilnya ketimbang aksi-aksi panggung.
Sehingga, umum dijumpai dalam konser band-band progresif rock, penonton hanya diam mendengarkan, sambil sesekali mengacungkan jari simbol musik metal, dan manggut-manggut. Sangat jarang dijumpai dalam konser musik progresif, penonton sampai jingkrak-jingkrak, headbang, mosh pit atau bahkan bikin circle pit.
Perkembangan Progresif rock secara umum dapat dikatakan mulai meredup memasuki tahun 1980 hingga saat ini. Bagaimana dengan di Indonesia?
Rupanya hingar bingar kemunculan genre musik baru progresif rock sampai juga ke tanah Indonesia. Meskipun tidak sampai membuat kejayaan seperti band-band progresif internasional, ada beberapa band progresif rock yang bermunculan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Inggris memang menjadi barometer musik pada saat itu. Banyak band-band tanah air yang muncul lewat pengaruh-pengaruh band asal Britania. Menurut catatan, Shark Move adalah salah satu band paling awal di tanah air yang mengusung genre musik Progresif Rock pada tahun 1970, lewat albumnya Ghede Chokras. Shark Move dan juga band-band progresif tanah air tahun 70an bisa dibilang berani melawan arus kala itu.
Era perkembangan musik Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari tumbangnya era orde baru. Seperti keran yang mengucurkan air, di mana kebudayaan-kebudayaan asing, khususnya Barat, mulai mengucur masuk ke tanah air, di mana hal tersebut cukup sulit terjadi di era orde baru yang anti terhadap budaya asing apalagi Barat. Salah satu yang berkembang adalah musik.
ADVERTISEMENT
Pada era akhir 1960 an, musik-musik barat mulai secara masif masuk ke dalam telinga para pendengarnya di Indonesia. Sebutlah The Beatles, Jimi Hendrix, Rolling Stone, Led Zeppelin, Deep Purple, dll, yang lagu-lagunya menjadi begitu akrab dengan kuping penggemar musik Indonesia.
Banyak band-band baru bermunculan. Tentu saja dengan referensi musik Barat sebagai rujukan. Ialah Benny Soebardja (vocals, guitar), Bhagu Ramchand (vocals), Janto Diablo (vocals, flute, bass guitar), Sammy Zakaria (drums, background vocals) dan Soman Loebis (vocals, piano, keyboards, percussion) yang membentuk Shark Move, adalah salah satu band pionir prog rock tanah air.
Namun, berbeda dengan band-band rock lainnya yang mulai tumbuh saat itu dengan pengaruh hard rock, Shark Move seperti antitesis yang malah menjadikan musik progresif rock sebagai haluan, dan band-band progresif seperti Jethro Tull, Yes, sebagai panutan.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada tahun 1975-1976, muncul proyek penggarapan album yang digawangi oleh Guruh Soekarnoputra dengan personil Gipsy yang terdiri dari Abadi Soesman (synthesizers), Chrisye (bass, vokal), Keenan Nasution (drums, vokal), Roni Harahap (piano/keyboard, komposer ) dan Oding Nasution (gitar).
Guruh Gipsy, oleh kritikus musik alm. Deny Sakrie dipandang sebagai tonggak musik progresif Indonesia. Guruh Gipsy memainkan aransemen yang cukup komplit, yang mana memadupadankan musik progresif rock dengan musik tradisional Bali.
Guruh Gispy mendapat pengaruh beberapa band progresif rock yang tenar pada saat itu seperti ELP, Genesis dan Yes.
Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa nomor dalam album bertajuk Kesepakatan Dalam Kepekatan, seperti Geger Gelgel yang dipengeruhi Heart of Sunrise-nya Yes, Indonesia Maharddhika dari And You And I-nya Yes, atau beberapa part Watcher of The Skies-nya Genesis dalam Janger 1897, menurut pengakuan Keenan Nasution sang drummer.
ADVERTISEMENT
ecara umum, materi-materi lagu dari Guruh Gipsy cukup njlimet dan sangat kaya warna, terutama dengan masuknya unsur musik tradisional Bali. Lirik lagunya pun sarat pesan. Seperti Chopin Larung yang berkisah tentang keresahan terhadap hilangnya identitas bangsa karena masuknya budaya asing. Atau juga bait-bait dalam Indonesia Mahardika yang tidak saja bernas namun juga unik karena tiap baitnya berisi semua nama personil dari Guruh Gipsy.
Berbeda dengan Guruh Gipsy yang menggarap albumnya dengan penuh keseriusan, Hary Roesli adalah kebalikannya.Album Philosophy Gang (1973) dan Titik Api (1975) yang mencampur antara musik tradisional Jawa Barat dan musik rock digarap dengan penuh canda. Ada Juga Gombloh dengan Lemon Tree Anno ’69 dengan corak Rock Jawa Timurnya.
ADVERTISEMENT
Tampaknya pada tahun-tahun tersebut seperti ada keharusan memasukkan unsur tradisional dalam penggarapan musik progresif.
Di tahun 1973, hadir grup musik God Bless yang dibentuk oleh Ahmad Albar bersama dengan dengan Donny Fattah (bass), Yockie Suryoprayogo (keyboard), Fuad Hassan (drum) dan Ludwig Lemans (gitar) sebagai formasi awal God Bless.
God Bless sendiri bisa dibilang baru mengalami masa kejayaan di akhir tahun 80an ketika menelurkan album Semut Hitam (1988). God Bless adalah satu dari sedikit band progresif rock yang masih aktif hingga saat ini, setelah tidak kurang dari lima belas kali gonta-ganti personil. Di Tahun 1977 terbentuk band progresif rock lainnya, Abbhama yang digarap oleh maestro keyboard Iwan Madjid.
ADVERTISEMENT
Di era 80an, musik progresif rock tanah air mulai mengalami penurunan tak seramai pada dekade 70an. Pada masa 80an terdapat WOW yang digawangi oleh Fariz RM, Moesja Joenoes, Iwan Madjid, dan Darwin Rachman yang menelurkan dua album bertajuk Produk Hijau (1982), dan Produk Jingga (1983).
Namun setelah itu, mereka mereka hilang ditelan proyek-proyek individu yang mereka kerjakan masing-masiang. Memasuki era 90an, gairah musik progresif rock makin surut, seiring dengan makin keranjingannya jenis musik disko dan pop yang digandrungi oleh masyarakat.
Tercatat Cynomadeus yang beranggotakan Iwan Madjid, Eet Sjahranie, Arry Safriadi, Fajar Satritama dan Todung Panjaitan hadir dalam periode tersebut. Sayangnya kelompok ini hanya sempat menghadirkan satu album saja, kemudian menghilang tanpa jejak.
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2000an, Discus, band bikinan maestro gitar Iwan Hasan, hadir mengisi blantika musik progresif rock dalam negeri. Kehadiran Discus dapat dikatakan cukup impresif dengan mampu menelurkan dua album 1st (1999) dan ...Tot Licht! (2004). Selain itu, dalam beberapa kesempatan Discus juga diundang untuk bermain di festival-festival musik progresif internasional.
“Musik Discus adalah menciptakan musik yang tidak mengenal batas, melintasi sebanyak mungkin batas pengkotakan genre musik dan menciptakan sebuah style yang original dengan influence yang luas dan berbeda-beda.” Tulis kritikus musik Deny Sakrie.
Discus menjadi kemunculan lain band progresif tanah air yang sempat meredup bertahun-tahun. Sukses dengan mendapat label rekaman dari Italia dan bermain di beberapa festival prog mancanegara, tak lantas membuat Discus bertahan dalam kancah musik. Setelah menelurkan album keduanya, Discus malah mengalami kevakuman hingga saat ini. Setelah era Discus mengalami vakum, khazanah musik progresif dalam negeri seperti tidak memiliki ikon untuk ditunjukkan.
ADVERTISEMENT
Pada pertengahan tahun 2000an, ada beberapa karya yang diremaster oleh label asal Jerman, seperti album Ghede Chokras milik Shark Move, maupun album Kesepakatan Dalam Kepekatan milik Guruh Gipsy. Pada tahun 2014, sebuah proyek jazz progresif yang diprakarsai oleh Kadri Mohamad dan YenNinotz, bertajuk Indonesia Maharddika yang merupakan nama sebuah nomor lagu dari Guruh Gipsy.
Proyek ini melibatkan beberapa nama musisi tanah air seperti, Iwan Hasan, Indra Lesmana, Once, Marcel, Addie MS, hingga keyboardis band prog legendaris Yes, Rick Wakeman. Dalam sepuluh tahun terakhir, muncul band-band baru yang juga mengusung genre progresif rock seperti Imanisimo, Pendulum, Monte Cristo, Electric Opera, Smesta, juga Ballerina.
ADVERTISEMENT
Genre musik progresif rock memang bukan jenis musik arus utama yang dapat digandrungi oleh setiap orang di Indonesia, namun kehadirannya dapat meramaikan warna dunia musik nusantara.
Sumber Foto: wikipedia. Rush in concert in Milan, Italy (L–R) Alex Lifeson, Geddy Lee and Neil Peart