Catatan atas Pidato Mendikbudristek pada Peringatan Hardiknas 2023

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
5 Mei 2023 19:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendikbudristek Nadiem Makarim. Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbudristek Nadiem Makarim. Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pidato Mendikbudristek memperingati Hardiknas tahun 2023, hanya memamerkan pencapaian program Merdeka Belajar yang sudah memasuki episode yang ke 24. Guru-guru yang lebih antusias dalam menggunakan platform Merdeka Mengajar untuk unggah bukti karya, mahasiswa yang mendapat kesempatan magang ke kampus-kampus di seluruh Indonesia, keunggulan asesmen nasional, dana BOS yang langsung dicairkan oleh sekolah dan pendanaannya yang fleksibel, juga dana Indonesia untuk seniman.
ADVERTISEMENT
Di balik catatan-catatan hebat pencapaian program Merdeka mengajar yang dituangkan dalam pidato Mas Menteri ada sejumlah catatan persoalan besar yang patut dicermati, terutama nasib guru-guru honorer yang bukan kategori calon ASN PPK.
Guru-guru honorer yang fresh graduate atau mereka-mereka yang tidak masuk kategori peserta tes calon ASN PPK., mereka adalah kasta guru yang masuk kategori guru nelangsa. Bayangkan saja gaji mereka di kisaran Rp 300 ribu sebulan bahkan ada yang di bawah itu.
Guru-guru tersebut bahkan tidak dihitung sebagai buruh. Mengapa demikian? Karena tidak ada satu pun provinsi di Indonesia yang menetapkan UMR sebesar Rp 300 ribu. Hanya guru-guru honorerlah yang bergaji sekecil itu. Gaji yang hanya cukup untuk beli pulsa HP dan sedikit bensin untuk datang mengajar ke sekolah.
ADVERTISEMENT
Mereka bukan robot kecerdasan buatan yang tidak perlu makan, mandi, sakit. Mereka manusia yang juga memerlukan biaya agar dapat melanjutkan hidup. Guru adalah profesi mau itu honorer atau bukan. Dan profesi harus mendapat gaji yang layak.
Mengapa sudah 77 tahun Indonesia merdeka, gaji guru honorer bahkan tidak bisa setara UMR Provinsi? Sudah begitu, mereka mengajar di sekolah-sekolah tuntutanya juga sama dengan Guru ASN bersertifikasi. Jika sekolah memakai kurikulum Merdeka, maka mereka juga harus memakai kurikulum yang butuh inovasi dan mahal tersebut.
Saya katakan mahal, karena ada banyak praktik yang harus dilakukan. Bukti karya yang dalam pidato Mas Menteri di mana para guru berlomba-lomba menggugah karya, hanya bisa dilakukan oleh guru ASN. Karya-karya tersebut harus inovatif berbasis teknologi.
ADVERTISEMENT
Apa yang bisa dilakukan oleh guru honorer bergaji minim? Meluangkan semua waktunya dalam kondisi perut kelaparan? Mencari model-model pembelajaran inovatif dengan paket data pas-pas an? Seharusnya sebelum mereka diangkat sebagai ASN PPK, gajinya disetarakan dengan UMR Provinsi. Bagaimana mungkin mengharapkan pendidikan kelas dunia kalau pengajarnya saja digaji hanya 30 dolar sebulan?
Yang kedua, masalah kurikulum Merdeka, karena penerapannya yang tidak serentak, maka hal ini adalah bom waktu. Kurikulum ini akan dipakai secara nasional di 2024, namun sampai saat ini belum semua sekolah memakai kurikulum Merdeka. Baru setengahnya. Setengahnya lagi memakai kurikulum 2013. Jelas saja akan ada perbedaan besar, di mana sekolah-sekolah yang lebih dulu menerapkan akan lebih unggul ketimbang yang baru mau menerapkan.
ADVERTISEMENT
Bahkan bagaimana jika ada sekolah yang baru akan menerapkan di 2024? Sekolah-sekolah yang sudah menerapkan pun masih belum stabil secara keseluruhan dalam menerapkan kurikulum Merdeka. Kebanyakan hanya memahami dan latihan mandiri dari platform merdeka mengajar. Bahkan banyak guru-guru yang mengeluhkan waktu mereka habis dipakai untuk membuat administrasi pembelajaran.
Pada kurikulum Merdeka, rapor saja ada dua. Rapor reguler dan Rapor Profil pelajar pancasila. Juga ada alur pembelajaran, alur tujuan pembelajaran. Belum lagi pembelajaran berdeferensiasi menuntut guru untuk membuat portofolio siswa-siswa yang diajar. Guru juga sibuk mencari cara agar unggah karya mereka mendapat sertifikat di platform merdeka mengajar.
Hal ini bisa membuat guru akan lebih fokus ke unggah karya ketimbang memikirkan materi pelajaran. Semaunya menuntut pelatihan yang serius dan intes. Sehingga agar kurikulum ini berhasil semua guru perlu mendapat pelatihan face to face dari ahlinya bukan dari guru sejawat yang juga memahami secara sepotong-sepotong kurikulum ini. Namanya saja kurikulum baru, konsekuensinya harus ada dana pelatihan untuk menjangkau semua guru.
ADVERTISEMENT
Persoalan berat lainnya adalah infrastruktur sekolah yang belum semua layak untuk dijadikan ruang-ruang pembelajaran. Masih ratusan ribu sekolah rusak di Indonesia. Apakah infrastruktur yang berkeadilan tidak layak masuk salah satu episode merdeka mengajar? Pastikan semua sekolah terjamah internet.
Kurikulum Merdeka berbasis digital, apakah semua sekolah sudah teraliri listrik? Apakah semua sekolah sudah memiliki guru ASN? Karena mengharapkan guru-guru honorer untuk melaksanakan kurikulum Merdeka sepertinya akan sulit. Apakah sekolah Jawa dan luar Jawa sudah sama fasilitasnya? Hal ini harus mendapat perhatian serius.
Masalah-masalah di atas masih terus membayangi pendidikan kita, termasuk kisruh pengangkatan sejuta guru ASN PPK. Saat ini, kita sudah memasuki tahun politik. Akan ada transisi pergantian kekuasaan atau pemerintahan. Wajah pendidikan apakah masih akan sama dengan tahun ini? Masih menjadi tanda tanya besar.
ADVERTISEMENT
Sebab kita semua mahfum, di negara ini bahkan pendidikan pun bukan arena steril politik. Kebijakan pendidikan akan dilaksanakan tergantung dengan selera pemerintah selanjutnya dalam hal ini, visi dan misi pemerintahan selanjutnya. Jika yang terpilih adalah figur yang mendukung pemerintahan saat ini, maka kemungkinan warna pendidikan masih akan sama dan jika tidak maka seperti pepatah Pertamina: "mulai dari nol".
Dalam akhir pidatonya di 2 Mei tahun ini, Menteri Nadiem mengatakan layar yang sudah dibentangkan jangan sampai dilipat lagi. Ada harapan di sana, agar program Merdeka mengajar terus berkibar dan dilanjutkan di pemerintahan selanjutnya. Tentu saja masih ada waktu sampai tahun depan untuk menuntaskan beberapa masalah mendasar.
Kita semua mendukung program-program pendidikan yang memajukan bangsa ini. Namun hendaknya pemerintah tidak menutup mata atas sejumlah persoalan yang masih terus menggayuti negeri ini.
ADVERTISEMENT