Cetak Biru Tambang agar Tak Jadi Nauru Kedua

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
14 April 2023 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Ada sebuah gambar yang membuat saya tidak percaya bahwa itu gambar sebuah wilayah suatu negara. Wilayah itu sangat centang perenang, seolah-olah gambar yang disapu dengan kuas dengan komposisi warna berantakan didominasi warna pink yang dengan lanskap alat-alat tambang berserakan dengan tidak teratur dan yang diselimuti debu-debu tebal yang semakin menambah suram dan horornya pemandangan.
ADVERTISEMENT
Yah Nauru, negara kaya raya di Pasifik dekat Australia mengalami kebangkrutan dan kehancuran alam yang mengerikan. Serupa tapi tak sama, di tahun 2022 lalu suatu kabupaten tambang di Sulawesi dilanda banjir lumpur yang mengakibatkan salah satu desa yang berbatasan dengan daerah tambang lumpuh.
Lumpur di mana-mana. Daerah itu memang kaya akan nikel. Tidak heran, banyak perusahaan tambang mengeruk kekayaan alam sejak beberapa tahun yang lalu. Tidak seperti Nauru yang sangat kaya di tahun 1980-an akibat kaya fosfot, Nauru memanjakan rakyatnya ketika tambang fosfot mereka itu berjaya, bahkan uang dolar sampai dijadikan tisu. Daerah tambang itu tidak seberuntung itu. Wajah bopeng kemiskinan ekstrem jelas-jelas melanda masyarakatnya.
Pemda daerah tersebut tentu saja mempunyai program-program untuk menuntaskan kemiskinan ekstrem tersebut. Hanya saja yang jadi pertanyaan apakah pemerintah sudah mempunyai cetak biru reforestrasi sekaligus perbaikan lingkungan nanti pasca ditinggalkan perusahaan-perusahaan tambang ketika bahan tambang habis?
ADVERTISEMENT
Atau hanya menunggu kehancuran alam sembari saling menyalahkan bahwa kebijakan adalah wewenang pusat dan pusat akan mengatakan bahwa itu wewenang daerah?
Sudah saatnya daerah-daerah kaya tambang untuk membuat road map pasca ditinggalkan perusahaan tambang. Tidak usah menghibur diri bahwa ada dana CSR dari tambang untuk kepentingan masyarakat, sebab kenyataan di daerah-daerah tambang deforestasi begitu mengerikan.
Sedia payung sebelum hujan. Harus ada cetak biru apa yang akan dilakukan beberapa tahun ke depan ketika daerah-daerah tambang mengalami kehancuran. Bagaimana nasib masyarakat, apakah akan direlokasi atau tetap di daerah tambang?
Bukan rahasia lagi, masyarakat yang tinggal di daerah tambang adalah masyarakat yang paling sial dan apes. Merekalah yang paling berdampak akan derita dan penyakit yang timbul akibat tambang namun tidak merasakan bagaimana hidup makmur akibat tambang yang langka yang hanya ada di tempat mereka. Tak jarang mereka diserang penyakit-penyakit mematikan seperti paru-paru, penyakit kulit yang jadi borok dan tidak sembuh-sembuh dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Cukup Nauru yang hancur sehingga menjadi seperti tetekan kue dalam gambar suram. Sudah saatnya cetak biru penyelamatan masyarakat disusun. Saat ini memang belum berdampak baru banjir-banjir lumpur di sebagian wilayah jika hujan deras. Beberapa tahun ke depan dampaknya akan semakin mengerikan.
Praktik-praktik tambang ilegal bukan barang baru. Perampasan lahan masyarakat juga cerita lama. Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat lemah? Hukum tidak pernah memihak yang lemah-lemah.
Kalau saya sebagai masyarakat yang tinggal di daerah yang kaya tambang tapi tidak pernah melihat efek tambang dalam kehidupan masyarakat mayoritas. Hanya bisa mengusulkan yang seperti itu untuk menyelamatkan masyarakat kelak dari ancaman kerusakan lingkungan. Segera dipikirkan jika suatu hari nanti tambang-tambang ditinggalkan setelah di eksploitasi habis-habisan.
ADVERTISEMENT
Nauru di zaman-zaman Jayanya tambang, bahkan menggratiskan semua fasilitas. Mulai dari sekolah, perumahan , kesehatan, bahkan kalau ada yang butuh pengobatan serius diterbangkan ke Australia.
Pemerintah Nauru mengalami kebangkrutan karena uang hasil tambang yang begitu besar salah diinvestasikan dan dikorupsi, namun pemerintah Nauru sangat dermawan kepada rakyatnya saat itu. Beda dengan di Indonesia, masyarakat daerah tambang tetap miskin-miskin saja.
Dalam hal ini Nauru boleh bangga mereka pernah jadi orang kaya secara merata. Bangun sekolah-sekolah yang memberi keahlian untuk generasi muda, gaji guru-guru honorer dengan layak, dirikan pusat-pusat kesehatan masyarakat dan beri pengobatan gratis. Jangan memamerkan ironi–ironi tak berkesudahan, daerah tambang jadi pusat kemiskinan ekstrem, secara logika terlihat begitu sumir dan lucu.
ADVERTISEMENT
Dahulu, banyak info-info yang entah hoaks dan entah nyata bahwa satu kapal tongkang yang membawa hasil tambang pemerintah daerah hanya dapat lima ribu rupiah. Saya yang mendengar cerita itu, tidak tahu ingin menangis atau tertawa terbahak-bahak. Secara hitung-hitungan anak SD pun tidak bisa diterima akal sehat. Berhentilah memperbodohi masyarakat dengan cerita-cerita yang miris yang seperti itu.
Masyarakat adalah golongan paling pasrah ketika berhadapan dengan pemerintah apalagi menggunakan dalih pembangunan. Namun, hendaknya mulai dipikirkan efek jangka panjangnya ke depan. Negara ini adalah amanat yang dititipkan kepada kita untuk generasi-generasi ke depan jangan mewariskan tempat tinggal yang penuh dengan galian dan lingkungan yang rusak berat. Masa depan mereka taruhannya.