Konten dari Pengguna

Hidup Itu Pakai Nalar, Bukan Hati

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
9 Juni 2023 8:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutters Stock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutters Stock Foto
ADVERTISEMENT
Entah berapa banyak keberhasilan yang berubah menjadi kegagalan, ketika kita terlalu banyak menggunakan hati dalam menyelesaikan urusan yang harusnya menggunakan nalar atau logika.
ADVERTISEMENT
Maksud saya seperti ini, dalam urusan-urusan penting yang menyangkut hidup kita ada hal-hal yang harus betul-betul kita dituntut untuk mengesampingkan yang namanya perasaan-perasaan yang sebenarnya hanya ada di benak kita.
Seperti misalnya, ketika berhadapan dengan orang-orang yang kita timbang dan pikir mau menolong kita tapi ternyata itu hanyalah suatu asumsi. Kenyataan mereka tidak mau menolong kita. Untuk yang memakai nalar, dia akan mencari logika pembenaran.
Oh iya, mungkin mereka sangat sibuk. Atau... oh iya, mereka tidak bisa membantu, cuma sungkan mengatakan. Atau... oh iya, mereka sudah tidak lagi di situasi yang saya hadapi sehingga empati mereka mulai berkurang.
Tapi ketika kita menggunakan hati, maka yang ada adalah, penipuan-penipuan pikiran. Kok, saya sudah seperti saudara yah, setiap hari ke mana-mana bersama, bahkan boleh dikata sudah sangat bestie, bercanda, makan, hangout. Sehingga pikiran-pikiran itu, membuat kita loyo, lemas, bahkan putus asa.
Ilustrasi pria menyendiri. Foto: Shutter Stock
Sebaiknya pergilah ke tengah-tengah kesibukan lalu-lalangnya orang-orang. Pergi ke jembatan penyerangan orang, di sana kita akan berjumpa dengan seribu satu mimik orang yang berjalan tergesa-gesa.
ADVERTISEMENT
Mereka juga manusia seperti kita yang mungkin saja japri minta tolongnya diabaikan oleh orang-orang yang dia merasa dekat. Tapi dari gerak-gerik mereka kita dapat menarik kesimpulan bahwa hidup harus terus berjalan bukan?
Namun, terhadap orang yang minta tolong untuk urusan nyawa misalnya kita harus pakai hati. Kita harus menolong orang yang betul-betul membutuhkan pertolongan kita.
Yang saya maksud di sini adalah hal-hal remeh yang menyangkut urusan besar kita yang berkenaan dengan sifat manusia. Sadarilah, memang sudah demikian adanya. "Hidup ini transaksional" bahkan ada ungkapan "tidak ada makan siang gratis".
Jangan korbankan hal-hal besar dalam hidup hanya karena yang begitu-begitu kecil. Kalau ada urusan kita, tidak ada yang men-support, jalan saja terus. Semua saat ini ada di internet. Informasi bertebaran sampai-sampai pusing kita terkejar-kejaran dengan informasi.
Ilustrasi stres. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Mau referesensi apa? Tinggal ketik. Mau tau tentang ahli siapa? Tinggal ketik. Tidak ada yang susah saat ini, hingga harus dibantu orang dalam mencari-cari hal-hal kecil demikian. Sudah jadul.
ADVERTISEMENT
Fraklin D Roselfet bahkan kena polio di umur 39 saat mencalonkan diri jadi presiden. Apakah dia berhenti? Tidak. Bahkan dia berhasil menjadi presiden, dan Amerika gemilang di masanya.
Apakah dia marah ketika ditinggalkan karena dia polio? Tidak. Dia latihan agar kakinya tidak semakin mengecil. Lantas mengapa kita hanya hal-hal kecil, mengorbankan hal-hal besar yang harusnya kita genggam?
Saya juga dulu, waktu mengurus-urus disertasi kurang-lebih sama dengan Franklin ini. Kondisi sakit, sehingga saya harus berjuang habis-habisan agar bisa melewati semua itu. Apakah saya menyerah? putus asa? Never. Buat apa?
Kalau saya begitu, apakah ada yang mau mengulurkan tangan? Saya punya backing-an, yang paling kuat sejagat raya. Yang Maha-adil, Yang tidak pernah tidur. Yang Maha-mengabulkan doa. Allah.
ADVERTISEMENT
Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Mengemis sama manusia, bukan hanya sakit hati yang didapat. Kalau tidak kuat iman ya itu tadi, putus asa.
Ilustrasi beribadah di malam lailatul qadar. Foto: Shutter Stock
Allah cuma cukup mengatakan "kun fa yakuun". Siapa manusia yang bisa menghalangi kalau Allah sudah turun tangan? Tapi harus dibarengi dengan usaha.
Maryam saja manusia pilihan ibunda Nabi Isa, ketika sangat kepayahan disuruh menggoyang-goyang pohon kurma walaupun hanya dengan gerakan yang sangat lemah. Allah hanya meminta sebab atau berusaha, hingga Allah lah yang menjadikan akibat.
Belajarlah untuk melepaskan diri dengan ketergantungan dari luar diri. Sebab, hanya Allah dan kita sendirilah yang benar-benar peduli dengan urusan kita.
Bedakan dan tau batas diri. Kita adalah kita, sementara orang lain adalah orang lain. Tidak usah meromatisasi hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Itu hanya ada di pikiran kita, bukan di pikiran mereka yang kita harapkan mengerti.
ADVERTISEMENT
Zaman berubah, kita juga harus berubah dan beradaptasi. Bukankah kata Darwin, "Yang akan menang dari seleksi alam bukanlah mereka yang kuat, tapi mereka yang mampu beradaptasi".
Kalau kata Prof Reynal kasali, "Berubah atau hancur". Saya tidak percaya teori Evolusi Darwin yang menurut saya ngawur abis. Tapi saya percaya yang bisa beradaptasilah yang akan menang.