Nestapa Negeri-Negeri Air Mata

Waode Nurmuhaemin
Doktor Manajemen Pendidikan , Penulis Artikel dan Buku Pendidikan
Konten dari Pengguna
18 Maret 2023 10:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Waode Nurmuhaemin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Shutterstock Foto
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Shutterstock Foto
ADVERTISEMENT
Temuan kampung-kampung ilegal orang Indonesia di Malaysia oleh otoritas di sana mengungkap tabir kelam manusia Indonesia. Negara kaya raya yang tiada tanding dan tiada banding. Semua Provinsi di Indonesia menyimpan kekayaan alam luar biasa yang membuat iri bangsa lain.
ADVERTISEMENT
Di Papua ada gunung-gunung emas, yang membuat Freeport jadi perusahaan kaya-raya selama puluhan tahun. Di Sulawesi, tambang-tambang nikel membuat ngiler produsen mobil listrik. Tidak banyak negara lain yang memiliki cadangan nikel, bahkan hanya Indonesia, Di Kalimantan kaya dengan batubara. Belum lagi aspal, bauksit, segala macam kekayaan alam ada di Indonesia.
Di Sulawesi—tempat tinggal saya—yang kaya nikel, emas, aspal, masyarakatnya miskin ekstrem. Banyak dari mereka setamat sekolah menengah langsung merantau ke Malaysia atau Papua jadi buruh di sana untuk menopang ekonomi keluarga.
Kemiskinan struktural menjadi alasan utama mereka melakukan hal itu. Meskipun ada beasiswa KIP kuliah, namun semua tidak sesederhana di buku-buku cerita. Sebelum KIP kuliah cair, enam bulan terlebih dahulu harus memakai biaya sendiri untuk biaya hidup.
ADVERTISEMENT
Berapa penghasilan orang tua mereka? Di bawah Rp 500 ribu, malahan ada yang hanya berpenghasilan Rp 200 ribu bahkan 100 ribu. Kalau ada yang tidak percaya, silakan dibuktikan.
Memang mau dapat penghasilan dari apa? Bertani? Tanaman yang bisa ditanam hanya singkong dengan jangka waktu panen pertiga bulan, itupun harga singkong satu kebun yang tidak berapa luas berapa?
Di lain sisi, saya melihat mobil Alphard dan mobil mewah lainnya para pengusaha tambang dan birokrat yang diuntungkan dengan kongkalikong tambang hilir mudik memenuhi jalan. Mereka hanya datang sesekali meninjau tambang-tambang pabrik uang mereka.
Saya pernah ke Brunei Darussalam. Meskipun hanya memiliki kekayaan minyak, namun sultan Brunei tidak serakah. Gaya hidup mewahnya berbanding lurus dengan kedermawanannya terhadap rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang miskin ekstrem di Brunei. Banyak yang berkilah Indonesia penduduknya 270 juta, sementara Brunei hanya 400 ribu. Bukankah imbang? Brunei hanya punya minyak. Dan lihat provinsi-provinsi di Indonesia. Kekayaan alamnya melimpah-limpah tidak seperti Brunei Darussalam.
Alasan lain bahwa kekayaan alam kita dikelola asing. Brunei pun demikian. Alasan itu, membuat Indonesia memamerkan bahwa Indonesia gagal alih teknologi. Sudah 77 tahun merdeka masih saja tidak bisa mengelola kekayaan alamnya sendiri.
Orang-orang yang hidup ilegal di perkampungan Malaysia ogah pulang. Mereka nyaman di sana walaupun hukuman yang menanti juga tidak ringan. Di Malaysia angka korupsi tidak sehebat di Indonesia. Di Indonesia, pegawai pajak eselon tiga pun berharta Rp 500 miliar.
ADVERTISEMENT
Itu baru satu orang. Kalau ratusan, bahkan ribuan orang? Sehingga status sosial sangat jomplang di Indonesia. Banyak pejabat-pejabat yang memakai jam seharga miliaran. Orang biasa bahkan harus mencicil BTN tipe 36 bermodel kardus selama 15 tahun yang berharga Rp 150 juta. Uang Rp 150 juta hanya seharga jam tangan para koruptor.
Mau segala teori bahwa negara kita lebih kaya dari Malaysia nyatanya tidak ada orang Malaysia yang jadi babu di Indonesia. Angka TKI di Malaysia dengan TKI ilegal mungkin mencapai dua juta. Jangan menghitung yang legal, sebab masuk di Malaysia hanya bermodal paspor saja sudah bisa.
Kekayaan alam Indonesia yang berlimpah-ruah dan bikin ngiler negara lain belum bisa membuat semua warga negara hidup layak. Tidak usah pakai kata makmur. Layak saja sudah cukup. Konflik masyarakat dengan tenaga kerja asing di tambang-tambang tidak usah lagi dicari-cari penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Penduduk lokal hanya jadi penonton pengerukan kekayaan alam mereka. Alasan bahwa rekrutmen tenaga ahli untuk tambang juga gampang dibantah. Mayoritas yang datang buruh, alias pekerja kasar. Sebegitu bodoh orang Indonesia sehingga jadi buruh dan tenaga kasar pun tidak mampu?
Membaca investigasi majalah Tempo tentang kegiatan-kegiatan tambang yang dibekingi aparat di daerah saya sungguh membuat bergidik. Ancaman kerusakan lingkungan di tahun-tahun mendatang sangat mengerikan.
Saya sering menatap-natap langit biru. Akankah sebiru ini langitnya di beberapa tahun ke depan? Manusia dengan segala kemampuan otaknya justru hanya menjadi pembawa bencana bagi ratusan ribu manusia lain.
Otak-otak kriminal bekerja demi memuluskan rencana mengeruk fulus sebanyak-banyaknya agar mereka dan keluarganya bisa hidup mewah sampai berabad-abad dan kaya tujuh turunan dan tujuh tanjakan.
ADVERTISEMENT
Daerah tambang justru jadi kantong-kantong kemiskinan. Sekurang-kurangnya jika di 20 atau 30 tahun yang akan datang, daerah-daerah itu akan menjadi daerah mati karena lingkungannya sudah hancur ketika bahan tambangnya sudah habis dan hanya menyisakan kerusakan lingkungan.
Namun biarkan masyarakat tambang saat ini menikmati hasil-hasil tambang mereka seperti Nauru. Negara kaya raya yang saat ini jadi negara miskin papa karena salah kelola hasil tambang bahkan untuk makan pun harus bergantung kepada lembaga-lembaga Internasional. Namun saat itu semua rakyatnya tajir melintir, bahkan uang dolar sampai jadi tisu.
Tidak seperti di Indonesia, jangan hanya dieksploitasi tambangnya. Namun mereka juga miskin ekstrem, biarkan mereka merasakan jadi orang kaya. Sehingga mereka bisa mengenang bahwa zaman dahulu kala—ketika tambang berjaya—mereka semua kaya raya bukan seperti saat ini, hanya dapat lumpurnya ketika banjir.
ADVERTISEMENT
Sungguh miris. Negara kaya-raya, namun untuk makan saja harus jadi babu di negara lain. Lur... Lur! Nasib kok gini amat!