Konten dari Pengguna

Menarilah Kenanganku di Bumi Pasundan

Fillar
Universitas Amikom Purwokerto
8 Januari 2025 14:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fillar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber : milik pribadi
zoom-in-whitePerbesar
sumber : milik pribadi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Bandung, kota yang selalu memeluk erat nostalgia. Surga kecil di Bumi Pasundan dengan langit biru serta udara sejuknya yang lembut. Senyuman warganya hangat menyapa siapa saja yang datang. Namun di balik pesonanya, Bandung menyimpan kisah elok dalam ingatan, menghidupkan kembali kenangan yang pernah kita ukir di setiap sudut kotanya.
Menyusuri jalanan Dago di pagi hari itu dengan semerbak aroma kopi yang keluar dari kedai-kedai kecil menggoda langkah kaki dan deretan pepohonan besar seakan berbisik pelan guna mengingatkan akan masa lalu. Bandung adalah perpaduan antara modernitas dan tradisi yang berpadu tanpa kehilangan jati diri. Di sepanjang jalan, gedung kolonial berdiri berdampingan dengan cafe kekinian. Di sinilah, kita bisa melihat sejarah hidup berdampingan dengan mimpi masa kini.
ADVERTISEMENT
Di alun-alun kota, suara anak-anak bermain menyatu dengan dentang lonceng dari Gedung Merdeka yang ikonik. Tempat yang dulu kala menjadi saksi Konferensi Asia-Afrika, kini menjadi ruang terbuka bagi siapa saja yang ingin mengenang perjuangan bangsa sembari menikmati suasana kota. Tak jauh dari sana, Braga memanggil. Jalan yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta banyak pasangan ini tetap memesona dengan cahaya lampu temaramnya di malam hari.
Bandung juga adalah tentang rasa. Siapa yang bisa menolak lezatnya batagor yang melegenda atau harum pisang molen dari Kartika Sari? Makanan di sini bukan hanya mengenyangkan tetapi juga mengingatkan kita akan rumah, kehangatan keluarga dan obrolan sederhana di meja makan.
Bandung juga bukan hanya soal keindahan yang terlihat. Di Lembang, kabut pagi menyelimuti kebun teh dan membuat siapa saja merasa kecil di hadapan ciptaan Tuhan yang begitu agung. Di Tebing Keraton, matahari terbit seperti sebuah orkestra yang dimainkan oleh alam, menyapu awan-awan tipis dan menyapa dedaunan hijau dengan sinar keemasan. Setiap sudut kota ini adalah puisi yang menunggu untuk dibaca, setiap langkah adalah perjalanan menuju hati yang memeluk kenangan.
ADVERTISEMENT
Ketika malam tiba, berdiam di Bukit Moko sembari memandang gemerlap lampu kota dari kejauhan. Bandung tampak seperti lautan bintang yang jatuh ke bumi. Momen ini menyadarkan akan satu hal kalau Bandung bukan sekedar kota yang pernah dikunjungi. Bandung adalah rumah bagi kenangan, tawa, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.
Dan ketika kaki melangkah untuk meninggalkan kota ini namun hati berbisik: “Bandung, aku akan kembali untuk membiarkan kenangan ini terus menari di Bumi Pasundan.”