Konten dari Pengguna

Fenomena Meeting Online Selama Pandemi COVID-19

Perdhana Ari Sudewo
Aparatur Sipil Negara di Badan Pengawas Obat dan Makanan
28 Agustus 2021 9:48 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Perdhana Ari Sudewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia. Tak terkecuali dalam kehidupan pekerjaan di kantor yang semakin akrab dengan istilah work from home (WFH), meeting online, remote working dan berbagai istilah lainnya. Dampaknya, jelas ini akan mengubah kebiasaan dan perilaku umat manusia, khususnya yang kerja di kantor. Implementasi PPKM berlevel-level di Indonesia yang mengharuskan setiap kantor menerapkan WFH full, WFH 25%, atau WFH 50% juga ikut membentuk perilaku dan kebiasaan baru pada pegawai atau karyawan yang kerja di kantor.
ADVERTISEMENT
Hal menarik yang akhir-akhir ini sering kita dengar adalah fenomena meeting online wave bisa juga disebut zoom/gmeet wave, ditunjukkan melalui kegiatan pegawai yang mengikuti beberapa meeting online dalam satu waktu. Pegawai dituntut untuk menjadi multitasking dalam satu waktu. Kelelahan fisik dan psikis tentu merupakan hal lumrah yang sering ditemui dan menghampiri para pegawai yang melakukan aktivitas multitasking dalam bekerja. Pertanyaannya adalah, seberapa efektif aktivitas ini memberikan dampak positif bagi kinerja di kantor, maupun bagi pegawai itu sendiri.
Pertama kita diskusikan dulu tentang multitasking. Dari beberapa artikel diketahui bahwa sebenarnya tidak ada orang yang bisa multitasking dalam satu waktu. Setidaknya itu disampaikan oleh Ria Carter, seorang penulis sains dan medis yang menyampaikan bahwa apabila orang melakukan satu pekerjaan dengan tetap mengerjakan pekerjaan sebelumnya, otaknya berhenti dalam sepersekian detik untuk mengalihkan fokus. Carter dalam buku The Brain Book menyatakan bahwa otak manusia melalui aktivitas di korteks prefrontal ternyata tidak dapat melakukan perubahan fokus secara instan dan menghasilkan "gap pemrosesan" apabila dituntut untuk melakukannya.
ADVERTISEMENT
Otak tidak dapat melakukan dua pekerjaan serupa secara bersamaan karena pekerjaan-pekerjaan tersebut bersaing untuk neuron yang sama. Uraian lain disampaikan oleh dr. Kevin Adrian dalam sebuah media online yang menyampaikan risiko multitasking bagi pegawai, antara lain memicu stress, meningkatkan tekanan darah, mengganggu daya ingat, menurunkan kreativitas dan juga berpotensi menjadi risiko penyebab kecelakaan. Dari berbagai uraian tersebut menyatakan bahwa sebenarnya otak manusia umumnya hanya mampu fokus pada satu hal dalam satu waktu.
Selanjutnya kita diskusi tentang seberapa efektif pegawai yang melakukan multitasking dengan mengikuti beberapa meeting online dalam satu waktu. Dengan kata lain, apakah meeting online yang dilakukan bersamaan itu akan menghasilkan kinerja lebih baik, atau sebaliknya.
Multitasking melalui aktivitas beberapa meeting online yang dilakukan secara bersamaan menuntut otak untuk bekerja ekstra dan berpotensi lebih cepat mengalami kelelahan, yang akhirnya justru menurunkan produktivitas kerja. Dalam penelitian lain menunjukkan bahwa multitasking sebenarnya dapat mengurangi produktivitas kerja sampai 40%. Dalam beberapa kondisi, pegawai yang melaksanakan multitasking dalam bekerja justru membuat pegawai harus mengulang kembali pekerjaan karena banyak kesalahan sehingga semakin menegaskan bahwa multitasking bukanlah hal yang bisa membuat sesuatu menjadi efisien.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks meeting online dalam waktu bersamaan, pegawai kadang harus melihat kembali rekaman ulang meeting untuk memahami diskusi maupun hasil diskusi. Artinya dalam hal ini, pegawai harus meluangkan waktu lebih banyak untuk memahami hasil meeting.
Sekarang kita diskusi tentang fenomena pekerjaan di era pandemi COVID-19, apakah sebenarnya terdapat perubahan business proses dan kebiasaan utama pekerjaan, selain perubahan cara kerja yang sebelumnya dilakukan dengan bertemu langsung menjadi online dengan media digital. Berbagai rapat yang dilakukan di kantor sebenarnya juga dilakukan sebelum pandemi COVID-19 menghampiri Indonesia. Yang membedakan hanyalah peserta rapatnya, selain tentunya agenda rapat yah. Dulu sebelum pandemi COVID-19, rapat dilakukan dengan tatap muka langsung dan diikuti peserta yang terbatas, tetapi tetap mampu menghasilkan sebuah keputusan bagi organisasi.
ADVERTISEMENT
Saat ini dengan adanya teknologi, rapat memungkinkan diikuti oleh banyak pegawai sekaligus, dan berasal dari berbagai daerah. Artinya jumlah pesertanya bertambah banyak. Kebiasaan utama pekerjaan tidak berubah, yaitu rapat, tetapi perilaku pegawai yang berubah, dan terkadang justru perubahan ini membuat repot pegawai sendiri. Disisi lain, kerena ketidakmampuan untuk membuat prioritas, seorang pemimpin terkadang melihat semua meeting adalah penting sehingga ingin mengikuti semua meeting, atau hanya “asal” mendelegasikan ke staf untuk ikut meeting dengan argumen harus ada yang mewakili.
Akhirnya beberapa staf harus ikut meeting yang sebenarnya juga tidak paham materi yang didiskusikan dalam meeting, padahal waktunya akan lebih produktif apabila digunakan mengerjakan pekerjaan lainnya. Kebiasaan pimpinan untuk mengharapkan semua stafnya ikut meeting yang membuat staf harus ikut lebih dari satu meeting dalam waktu yang sama juga perlu menjadi koreksi, utamanya terkait dengan efisiensi dan produktivitas kerja organisasi.
ADVERTISEMENT
Dengan diskusi tersebut di atas, mungkin perlu dilakukan evaluasi kembali terkait kebiasaan mengikuti beberapa meeting online dalam satu waktu. Dari sisi organisasi, sepertinya juga harus meninjau kembali business proses, utamanya terkait efektivitas dan efisiensi setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi, termasuk meeting online yang mulai hits saat pandemi COVID-19 saat ini. Mempertimbangkan untuk kembali pada kebiasaan lama, meeting tidak perlu diikuti banyak pegawai, tetapi lebih menekankan pada kualitas diskusi dan hasil meeting mungkin dapat menjadi pilihan.
Di sisi lain, organisasi dapat berkomitmen membangun pola komunikasi internal yang baik melalui implementasi knowledge management agar setiap pegawai yang terkait dapat mengakses hasil meeting, atau kebijakan organisasi sehingga kekhawatiran bahwa pegawai akan ketinggalan informasi karena tidak mengikuti meeting online dapat dikurangi.
ADVERTISEMENT
Terkadang, seorang pegawai mungkin merasa cukup hanya dengan membaca hasil dan keputusan meeting, dibanding harus ikut meeting yang ternyata juga tidak memberikan kontribusi apa-apa dalam diskusi maupun memutuskan hasil meeting.