Konten dari Pengguna

Hak Konsumen dari Setiap Pangan Olahan yang Dikonsumsi

Perdhana Ari Sudewo
Aparatur Sipil Negara di Badan Pengawas Obat dan Makanan
23 September 2021 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Perdhana Ari Sudewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh International Diabetes Federation (IDF), Indonesia berstatus waspada diabetes karena menduduki peringkat 7 dari 10 negara terkait jumlah penderita diabetes terbanyak tahun 2019. Temuan tersebut tidak jauh berbeda dari hasil riset kesehatan dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan tahun 2018, di mana prevalensi penderita diabetes di Indonesia mencapai 8,2%, yang berarti lebih dari 15 juta orang Indonesia menderita diabetes. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 di mana prevalensi penderita diabetes di Indonesia hanya 6,9%. Dilihat dari tren sejak tahun 2007, angka prevalensi penderita diabetes di Indonesia cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Apabila riset dilakukan saat ini, bisa jadi angka prevalensinya telah naik dibanding data temuan tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Diabetes sendiri merupakan penyakit metabolisme tubuh yang ditandai adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif (Kementerian Kesehatan). Untuk penanganan penyakit diabetes, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dari riset yang dilakukan oleh Fitri, Andayani, dan Supartiati tahun 2015 diketahui bahwa rata-rata biaya penanganan penderita diabetes mencapai 100 juta rupiah per orang. Dengan angka prevalensi penderita diabetes di Indonesia yang lebih dari 8,2%, potensi beban ekonomi yang harus ditanggung untuk penanganan penderita diabetes mencapai lebih dari 1.800 triliun. Beban biaya tersebut diluar penanganan penyakit lainnya yang timbul akibat diabetes, termasuk potensi penurunan produktivitas yang diakibatkan penyakit diabetes.
ADVERTISEMENT
Dari website Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, diketahui beberapa penyebab dari diabetes adalah:
Melihat ketiga penyebab diabetes tersebut, dapat dilihat bahwa makanan dan minuman yang tidak sehat cukup berkontribusi signifikan terhadap kenaikan jumlah orang yang menderita diabetes. Bisa jadi makanan dan minuman ini, biasa juga disebut pangan olahan, merupakan jenis pangan yang banyak tersedia di sekitar kita, di antaranya adalah pangan olahan yang dijual dalam kemasan.
Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk menanggulangi potensi penambahan jumlah penderita diabetes di Indonesia. Salah satunya melalui pengaturan kewajiban pencantuman Informasi Nilai Gizi pangan olahan, atau ING. Masyarakat Indonesia selaku konsumen pangan olahan memiliki hak untuk mendapatkan Informasi Nilai Gizi setiap produk makanan dan minuman yang dibeli atau dikonsumsi. Informasi Nilai Gizi ini penting diketahui setiap masyarakat untuk untuk dapat mengontrol asupan gizi pangan yang masuk ke dalam tubuh, salah satu tujuannya sebagai bentuk pencegahan terkena penyakit yang diakibatkan pola makan yang salah atau tidak seimbang, termasuk penyakit diabetes.
ADVERTISEMENT
Setiap produsen pangan olahan memiliki kewajiban untuk menyampaikan Informasi Nilai Gizi dalam label pangan. Informasi ini bisa ditempel atau dimasukkan dalam kemasan pangan. Produsen yang tidak menyampaikan Informasi Nilai Gizi pangan, atau menyampaikan informasi tetapi bukan informasi yang sebenarnya termasuk pelanggaran, yang artinya juga telah mengambil hak konsumen untuk tahu nilai gizi setiap makanan dan minuman yang dikonsumsi. Dengan mewajibkan setiap produk pangan olahan menyampaikan Informasi Nilai Gizi pada label pangan, setiap orang dapat mengontrol konsumsi gula untuk mencegah penambahan penderita diabetes di Indonesia
Dari Informasi Nilai Gizi pangan, masyarakat selaku konsumen pangan setidaknya dapat mengetahui energi total, lemak total, lemak jenuh, kandungan gula, dan garam (natrium) dari setiap pangan olahan yang dibeli atau dikonsumsi. Informasi tersebut merupakan minimal Informasi Nilai Gizi yang wajib dicantumkan Produsen dalam pangan olahan. Informasi tersebut juga termasuk jenis zat gizi, jumlah zat gizi, dan persentase Angka Kecukupan Gizi atau AKG, dihitung per sajian atau setiap kemasan pangan. Angka kecukupan gizi pangan istilah lainnya adalah jumlah wajar zat gizi yang dibutuhkan setiap orang per hari sesuai dengan umur, jenis kelamin, berat badan, maupun tingkat aktivitas tubuh untuk mencapai kesehatan yang optimal.
ADVERTISEMENT
Sadar bahwa pola makan, dan jenis makanan merupakan faktor yang menyebabkan diabetes, saat ini kita sering menemui berbagai merek pangan olahan tertentu yang mengeklaim sebagai makanan yang lebih sehat, atau makanan yang cocok untuk orang yang menderita diabetes. Apabila produsen mampu membuktikan berbagai klaim tersebut, tidak ada larangan untuk menginformasikan klaim pangan sehat dalam kemasan pangan. Dalam Peraturan BPOM nomor 22 yang diterbitkan tahun 2019 tentang Informasi Nilai Gizi Pangan juga telah mengatur bagi Produsen pangan yang akan mencantumkan logo berupa centang warna hijau dengan tulisan “pilihan lebih sehat” selama memenuhi ketentuan. Salah satu ketentuan yang wajib diikuti produsen yang ingin mencantumkan logo dengan tulisan “pilihan lebih sehat” adalah tidak menggunakan bahan tambahan pangan pemanis.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, apa pun yang dilakukan Pemerintah maupun Produsen untuk berupaya menurunkan angka penderita diabetes di Indonesia dengan menghadirkan produk pangan olahan yang sehat, atau memberikan informasi Nilai Gizi yang jelas, keberhasilan penurunan angka penderita diabetes di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat Indonesia. Dari berbagai riset yang dilakukan, konsumen pangan olahan di Jakarta dalam memutuskan membeli biskuit dan kukis yang lebih banyak dipengaruhi oleh harga, ukuran, rasa, dan bentuk dibanding informasi label gizi pangan (Prawira et al., 2016). Penelitian di Semarang juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. 55% konsumen di Semarang membaca label informasi nilai gizi hanya kadang-kadang (Asgha, 2016).
Penelitian lainnya yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan bahwa masyarakat tetap mengkonsumsi minuman kemasan berpemanis dengan status gizi meskipun memiliki pengetahuan tentang gizi dan juga memiliki kemampuan membaca label informasi nilai gizi pangan (Ghaisani, 2018). Artinya pilihan untuk hidup sehat dengan hanya mengkonsumsi pangan olahan yang sehat, atau sebaliknya merupakan pilihan konsumen. Yang harus diketahui, pilihan tersebut akan memberikan konsekuensi terhadap dampak kesehatan dan beban ekonomi, tidak hanya bagi konsumen sendiri, tetapi juga bagi yang lain, termasuk keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara dengan beban kesehatan masyarakat dan beban ekonomi yang dimunculkan.
ADVERTISEMENT