Konten dari Pengguna

Dilema Guru: Dedikasi Tinggi, Gaji Rendah, dan Risiko Hukum yang Mengintai

Pius Alfredo De Flores
S1 Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan Universitas Terbuka Indonesia - Pegawai Honorer Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Jawa Timur (Sebagai DRIVER/SUPIR) - Tugas tambahan Asisten Pejabat Fungsional Peneliti -
13 Agustus 2024 14:28 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pius Alfredo De Flores tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iliustrasi Konflik Antara Guru dan Siswa: Generated by Copilot AI
zoom-in-whitePerbesar
Iliustrasi Konflik Antara Guru dan Siswa: Generated by Copilot AI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Profesi guru di Indonesia, sering kali dipandang sebagai pekerjaan yang mulia. Namun, di balik dedikasi yang tinggi, terdapat berbagai dilema yang menghantui para pendidik di tanah air. Mulai dari beban kerja yang berlebihan, fasilitas kerja yang kurang memadai, hingga tantangan menghadapi siswa di era digital. Lebih tragis lagi, para guru harus menghadapi risiko permasalahan hukum yang terus mengintai.
ADVERTISEMENT
Guru di Indonesia tidak hanya bertanggung jawab untuk mengajar di kelas, tetapi juga dibebani dengan berbagai tugas administratif. Menurut data dari Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi, seorang guru bisa menghabiskan lebih dari 20 jam seminggu untuk menyelesaikan laporan, mengisi berbagai formulir, dan memenuhi persyaratan administratif lainnya. Hal ini membuat waktu yang seharusnya digunakan untuk merancang dan mengevaluasi pembelajaran menjadi sangat terbatas. Laporan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa lebih dari 60% guru merasa bahwa tugas administratif mereka sangat mengganggu fokus utama mereka untuk mengajar. Rata-rata guru di Indonesia menghabiskan 45-50 jam seminggu untuk bekerja, jauh di atas rata-rata jam kerja yang dianjurkan yaitu 40 jam.
Ilustrasi Minimnya Fasilitas Belajar Mengajar: Generated by Copilot AI
Tidak dapat dipungkiri, fasilitas pendidikan di banyak sekolah di Indonesia masih jauh dari kata memadai. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 30% sekolah di Indonesia masih mengalami kekurangan sarana dan prasarana yang layak. Hal ini tidak hanya menghambat proses belajar-mengajar tetapi juga mempengaruhi semangat dan motivasi guru dalam bekerja. Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), 45% guru di Indonesia menyatakan bahwa kondisi ruang kelas dan fasilitas pendukung lainnya seperti perpustakaan dan laboratorium sangat tidak memadai. Beberapa sekolah di daerah terpencil bahkan masih kekurangan buku, alat peraga, dan fasilitas belajar digital.
ADVERTISEMENT
Era digital membawa perubahan besar dalam cara siswa belajar dan berinteraksi. Sayangnya, kemudahan akses informasi ini tidak selalu membawa dampak positif. Banyak siswa yang mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis dan daya tahan mental. Mereka cenderung mudah stres dan kurang mampu menghadapi tekanan, baik dalam belajar maupun dalam kehidupan sehari-hari. Studi dari Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI) mengungkapkan bahwa 35% siswa di Indonesia mengalami penurunan kemampuan fokus dan daya ingat akibat terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar gadget. Selain itu, lebih dari 40% guru melaporkan peningkatan jumlah siswa yang mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. Yang tidak jarang berdasar dari permasalahan mental tersebut kesalahpahaman antara guru dan siswa sering berlanjut ke jalur hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus hukum yang melibatkan guru dan siswa semakin meningkat. Hal ini menciptakan rasa takut di kalangan guru yang khawatir tindakan mereka di kelas bisa berujung pada tuntutan hukum. Padahal, banyak dari tindakan tersebut dilakukan dengan niat mendidik dan memberikan disiplin kepada siswa. Data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pendidikan menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, ada lebih dari 200 kasus hukum yang melibatkan guru di Indonesia. Kasus-kasus ini berkisar dari dugaan kekerasan hingga tuduhan pelecehan, meskipun banyak di antaranya yang sebenarnya merupakan hasil dari kesalahpahaman atau interpretasi yang salah. Di era modern ini, siswa dan orang tua semakin sadar akan hak-hak mereka. Seringkali, hal ini berujung pada meningkatnya kasus di mana siswa atau orang tua langsung melaporkan guru ke pihak berwajib tanpa melalui proses mediasi terlebih dahulu. Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketakutan bagi guru, tetapi juga menciptakan suasana belajar yang tidak kondusif.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi guru di Indonesia, diperlukan upaya komprehensif dari berbagai pihak. Pengurangan beban administratif melalui digitalisasi dan penambahan tenaga administrasi dapat meringankan beban kerja guru, sementara peningkatan anggaran dan kerja sama dengan sektor swasta melalui program CSR akan membantu memperbaiki fasilitas pendidikan yang masih kurang memadai. Selain itu, pengenalan pendidikan karakter dan literasi digital, serta pelatihan khusus bagi guru dalam menangani masalah kesehatan mental siswa, sangat penting untuk mengatasi dampak negatif era digital pada siswa.
Di sisi lain, revisi regulasi yang melindungi guru dalam hubungan dengan siswa sangat diperlukan untuk mengurangi risiko permasalahan hukum. Pendampingan hukum bagi guru dan pendidikan hukum serta etika bagi siswa dapat menciptakan suasana belajar yang lebih kondusif. Mekanisme mediasi yang efektif juga harus diterapkan di sekolah-sekolah untuk menyelesaikan konflik antara siswa dan guru sebelum sampai ke jalur hukum, sehingga menjaga keseimbangan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Menjadi guru di Indonesia memang penuh dengan tantangan yang tidak ringan. Dari beban kerja yang berlebihan hingga ancaman permasalahan hukum, semua ini membuat profesi guru menjadi salah satu pekerjaan yang paling menantang. Namun, dengan dukungan yang tepat dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, tantangan-tantangan ini dapat diatasi. Pendidikan yang berkualitas hanya dapat tercapai jika para guru merasa didukung, dilindungi, dan diberdayakan untuk menjalankan tugas mereka dengan optimal.