news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Classic Review '13 Assassins': Elegan dan Dingin

Konten Media Partner
18 April 2020 10:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
13 Assassins (Foto: IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
13 Assassins (Foto: IMDb)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Berlatar feodal Jepang di tahun 1844, kala kejayaan samurai di akhir pemerintahan Bakufu runtuh, film 13 Assassins mencoba menggambarkan bagaimana samurai bertahan kala itu. Di tangan sutradara Takeshi Miike, yang terkenal akan film-film sadisnya, tentu sudah bisa ditebak kalau kisah 13 Assassins bakal begitu dingin dan brutal.
ADVERTISEMENT

Film dibuka dengan dramatis

Baru di menit pertama, penonton sudah disuguhkan aksi seppuku di mana dilakukan samurai sebagai bentuk pertanggungjawaban atau enggan berserah diri. Aksi potong perut itu dipicu satu orang, Naritsugu Matsudaira (Goro Inagaki), anggota keluarga Keshogunan.
Di mata masyarakat, Naritsugu tak lebih dari seorang psikopat. Dia kejam, sosiopatik, hobi memperkosa, memutilasi, dan membantai rakyat yang tidak bersalah. Di mata Shogun, Naritsugu adalah liabilitas, momok dan bencana besar. Jika di kemudian hari ia naik jabatan di keluarga Keshogunan, maka bencana menjadi hal tak terhindarkan. Baru di awal, 13 Assassins sudah blak-blakan menonjolkan dirinya sebagai wahana visual yang berdarah, gelap, namun memiliki bumbu politik.
Ketigabelas samurai (Foto: IMDb)
Apa yang terjadi selanjutnya bisa ditebak, upaya pembunuhan. Tingkah Naritsugu tak bisa dibiarkan anggota keluarga Keshogunan lainnya. Mereka khawatir kedamaian yang sudah terjaga selama 200 tahun akan pecah di tangan Naritsugu. Tak ada pilihan lain selain Naritsugu harus dihilangkan, terlepas siapapun dia.
ADVERTISEMENT
Upaya pembunuhan dipimpin oleh Doi Toshitsura (Mikijiro Hirai), pejabat senior di keluarga Keshogunan. Dari balik kegelapan, ia dan anggota keluarga Keshogunan lainnya menyusun rencana membunuh Naritsugu. Perundingan dilakukan secara rahasia, penuh kehatian-kehatian. Hanya beberapa orang yang boleh tahu. Ruangan rahasia dan redup di sebuah kastil menjadi wujudnya di mana Doi menyusun segala tahapan pembunuhan Naritsugu.
Direksi Miike sangat apik di sini, menunjukkan bagaimana semangat Keshogunan perlahan mulai runtuh walau target akhirnya adalah kedamaian. Ilmu pedang digantikan oleh birokrasi. Pertarungan di medan perang lebih banyak digantikan operasi di balik layar. Keluarga Keshogunan sudah berubah menjadi kelompok politisi. Sungguh ironis ketika Naritsugu, yang dikenal psikopat, malah menjadi perwujudan paling klasik dari anggota keluarga Shogun.
ADVERTISEMENT
Sepanjang film, konflik antara damai dan menjaga semangat Keshogunan menjadi latar belakang utama. Tidak ada pilihan yang sepenuhnya benar atau salah. Bagi Naritsugu, jelas semangat Keshogunan yang harus dipertahankan, terlepas apapun caranya. Bagi Doi, damai yang utama karena cepat atau lambat keluarga Keshogunan pasti akan berubah dimakan zaman.
Naritsugu merasa kedamaian akan membuat kaum samurai menjadi malas dan kehilangan pamor. Selain itu, Naritsugu juga sangat terobsesi dengan kematian agung di medan perang. Semangat yang dipegang Naritsugu, jika tidak ada perang, maka buatlah peperangan itu.
Alur 13 Assassins sangat straight forward, maju dan linear. Tidak banyak hal remeh temeh yang dibuat untuk membuat cerita menjadi sok rumit. Malah, dalam beberapa sisi, 13 Assassins memiliki beberapa trope film ensemble yang sangat familiar. Ada adegan perekrutan dan tiap anggota yang direkrut memiliki personality yang berbeda-beda. Dari sekian banyak anggota yang direkrut, pasti ada satu yang berfungsi sebagai comic relief.
Yûsuke Iseya dan Kôen Kondô (Foto: IMDb)
Meski ada latar politis di ceritanya, 13 Assassins tetaplah film yang first and foremost dibuat untuk menonjolkan aksi para samurai. Hal itu ditunjukkan lewat adegan-adegan sabet pedang yang dikoreografikan dengan apik meski terkadang bisa sangat terlihat hiperbolis juga. Bayangkan saja 13 samurai harus menghadapi 200 orang bawahan Naritsugu bermodal sebuah desa yang sudah disulap menjadi perangkap kematian. Hal ini menutupi kekurangan dalam hal narasi.
ADVERTISEMENT
Overall, fitur aksi sabet pedang yang dikoreografikan dengan apik dan kisah semangat bushido yang terkikis zaman menjadikan 13 Assassins sebuah sajian bertema "Edo Period" yang apik. Mengagungkan patriotisme kepada way of the sword dan abdi kepada majikan atau tuan dari seorang samurai yang wajib setia menjadikan 13 Assassins ini salah satu film bertajuk "glorified anti-hero" seperti Chusingura (1962) dan When The Last Sword Is Drawn (2003).
Sangat Kurosawa-esque.
Kontributor: Rifqi Abdurrachman Nazalen