Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Exclusive Review 'Jojo Rabbit': Bocah Bengal Menalar Paham Radikal
6 Januari 2020 7:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Inggris - Johannnes “Jojo” Betzler (Roman Griffin Davis) meneriakkannya berkali-kali di depan cermin. Ia ingin tampil mantap di hari pertamanya bergabung dengan Deutsches Jungvolk, barisan muda-mudi yang disiapkan menjadi kader Nazi. Jojo khawatir, jika ia tampil culun, ia akan kehilangan kesempatan untuk bertemu dengan idolanya, Adolf Hitler (Taika Waititi).
ADVERTISEMENT
Beruntung, Hitler tiba-tiba muncul di belakang Jojo. Hadir dengan kumisnya yang ikonik tersebut, Hitler mengajarkan Jojo bagaimana meneriakkan “Heil Hitler” dengan mantap. Namun, ada yang aneh dengan Hitler ini. Ia memanggil Jojo dengan panggilan “Bro”. Selain itu, polahnya petakilan, persis seperti bocah kurangn kerjaan.
Ternyata, Hitler tersebut adalah imaginary friend Jojo. Saking ia mengidolakan orang nomor satu di Nazi tersebut, Jojo menciptakan Hitler versinya. Di kala susah, ‘Hitler KW’ tersebut akan muncul untuk menyemangati dan memberi saran kepada Jojo. Tentu saja, saran-saran yang diberikan masih berbau anti-semit, khas Nazi. Namun, karena pada dasarnya Hitler yang satu ini muncul dari kepala Jojo, ajarannya pun versi pemahaman bocah berusia 10 tahun.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Jojo mencoba menalar dan menginterpretasi ajaran-ajaran Nazi menjadi fokus utama dari film yang juga digarap Taika Waititi tersebut. Lewat Jojo Rabbit, Taika mengkritik isu sosial di mana organisasi radikal mengajarkan paham sesat sejak dini. Seperti yang sering kita lihat di berbagai unjuk rasa, organisasi radikal kerap mengajak anak kecil untuk menyebarkan ajarannya, berharap mereka melanjutkan ‘misi mulia’ di kala dewasa nanti.
Situasi Jojo di Jojo Rabbit sama persis dengan hal di atas. Jojo sudah terpapar ajaran Nazi sejak dini. Dalam kepalanya, bergabung dengan Nazi adalah segalanya. Apalagi, ayahnya dituduh anti-Nazi yang membuat Jojo merasa bertanggung jawab untuk membersihkan nama keluarganya. Jika tidak menjadi kader Nazi, Jojo tidak tahu harus menjadi apa lagi.
ADVERTISEMENT
Tetapi, Jojo tidak pernah paham betul apa yang diajarkan Nazi kepadanya. Ia hanya ikut-ikut saja sambil sesekali mendengarkan saran Hitler imajinernya. Walhasil, penggambaran ajaran Nazi di kepala Jojo bak dongeng sebelum tidur. Sebagai contoh, karena Nazi memposisikan Yahudi sebagai ‘makhluk’ aneh yang harus dihabisi, Jojo mengillustrasikan Yahudi sebagai manusia bertanduk, bersayap, dan ahli membaca pikiran.
Pemahaman Jojo terhadap Nazi diuji ketika ia mendapati ibunya, Rosie (Scarlet Johansson), diam-diam menyembunyikan seorang perempuan Yahudi, Elsa (Thomasin McKenzie), di rumahnya. Elsa, perlahan-lahan, meruntuhkan pemahaman Jojo terhadap Nazi, mulai dari membuktikan bahwa Yahudi tidaklah segila apa yang diilustrasikan Nazi kepadanya.
Sekilas, premis Jojo Rabbit memang terdengar sangat serius, tentang bocah Bengal dan paham radikal. Namun, di tangan Taika, Jojo Rabbit menjadi film yang seimbang. Ia tidak membuat Jojo Rabbit menjadi sepenuhnya drama Perang Dunia II dari sudut pandang anak-anak ala The Boy With Stripped Pajama. Sebaliknya, Taika menyeimbangkannya dengan berbagai canda dan tawa.
ADVERTISEMENT
Materi komedi yang dihadirkan Taika sendiri tergolong cerdas. Ia memanfaatkan hal-hal tidak masuk akal dari paham radikal menjadi comedy material. Hasilnya, Play Stop Rewatch sukses dibuat tertawa terbahak-bahak di banyak bagian. Salah satunya adalah joke tentang pemimpin organisasi seperti Hitler yang kerap dilebih-lebihkan agar tampak sakti mandraguna padahal kenyataannya ya biasa-biasa saja.
“Salah besar pernyataan Hitler hanya punya dua buah zakar. Dia punya empat. Dia lebih kuat dibanding kita semua,” ujar salah satu komandann Gestapo, Deertz (Stephen Merchant), yang tiap kali ia mengucap “Heil Hitler” harus diikuti oleh kelima bawahannya.
Sepertinya yang disebutkan sebelumnya, Taika tak melupakan drama di Jojo Rabbit. Berbagai adegan siap menyayat hati penonton. Taika sadar betul bahwa first and foremost Jojo Rabbit adalah film drama dengan pesan serius, bukan film komedi. Komedi, walau porsinya tergolong banyak, hanya ia gunakan untuk menggarisbawahi isu-isu penting yang patut diperhatikan. Tidak berlebihan mengatakan bahwa Jojo Rabbit menunjukkan kualitas Taika sebagai seorang sutradara yang mampu mengolah komedi dan drama dengan apik.
ADVERTISEMENT
Di luar unsur cerita, acungan jempol patut diberikan kepada trio Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, dan lagi-lagi Taika yang sukses memerankan Jojo, Elsa, dan Hitler. Ketiganya kerap mencuri perhatian di berbagai adegan, terutama Taika yang memerankan Hitler versi imajinasi Jojo. Lewat akting Taika, Hitler menjadi tokoh yang quirky, kekanak-kanakan, namun di satu sisi tetap menyeramkan pemikirannya.
Griffin Davis juga berhasil menunjukkan kepolosan Jojo terhadap situasi Perang Dunia II dan bagaimana Nazi mengeksploitasi anak-anak. Dengan pemahamannya yang belum matang terhadap Perang Dunia II dan ajaran Nazi yang radikal, Jojo kerap berhadapan dengan situasi-situasi dilematis yang menguji pemikirannya. Nah, di situasi-situasi dilematis itulah akting Griffin Davis bersinar, menunjukkan bahwa dengan arahan yang tepat, ia bisa berkembang menjadi aktor besar nantinya.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, Jojo Rabbit menjadi film yang pantas ditonton bersama-sama keluarga. Isu sosial yang dibawa Jojo Rabbit membuat penonton harus mulai berpikir bagaimana memastikan anak-anak tidak terpapar paham radikal sejak dini agar mereka bisa menikmati masa kecilnya dengan maksimal. Jojo, di Jojo Rabbit, tidak memiliki hal tersebut karena radikalisme.