Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Exclusive Review 'Little Women': Memperbarui Kisah Lama
28 Januari 2020 8:27 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Jo March (Saoirse Ronan) tergopoh-gopoh masuk ke ruang kerja Tuan Dashwood (Tracy Letts), publisis ternama di kota New York. Dengan rambut acak-acakan, baju kusut, dan keringat bercucuran, Jo menyetor ratusan lembar naskah ke muka Dashwood. Naskah itu 'maha karya' barunya yang belum punya judul.
ADVERTISEMENT
Dashwood memandang sinis naskah Jo. Lembar demi lembar ia ambil naskah di hadapannya, ia baca, ia corat-coret dengan pena besar di tangan kanannya. Sesekali ia tertawa, sesekali ia bergumam, dan Jo hanya bisa deg-degan.
Hasil akhirnya bisa ditebak, Dashwood kecewa dengan naskah di hadapannya. Menurutnya, naskah Jo datar, alih-alih menegangkan. Ia menyarankan Jo untuk menulis ulang cerita yang berbeda. Jo memilih untuk bercerita tentang dirinya dan ketiga saudarinya: Meg (Emma Watson), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh).
Disutradarai Greta Gerwig, Little Women (2019) adalah adaptasi yang kesekian kalinya dari novel karya Louisa May Alcott tersebut. Sejak dirilis pertama kali pada tahun 1868, Little Women sudah diadaptasi belasan atau bahkan puluhan kali dalam berbagai wujud. Mulai dari film, animasi, hingga mini seri, semuanya ada.
Dari sekian banyak adaptasi yang ada, film Little Women yang dirilis pada tahun 94 adalah yang paling terkenal. Film itu dipenuhi berbagai bintang muda, generasi baru aktor dan aktris Hollywood kala itu mulai dari Winona Ryder (Stranger Things), Kirsten Dunst (Spider-man), Claire Danes (Homeland), dan tak lupa Christian Bale (Ford v Ferrari).
ADVERTISEMENT
Little Women terbaru hampir semua. Jajaran cast-nya bertabur bintang muda berbakat mulai dari Emma Watson (Harry Potter), Florence Pugh (Midsommar), Saoirse Ronan (Lady Bird), dan Timothee Chalamet (Call Me By Your Name). Namun, bukan mereka lah yang membuat Little Women terbaru terasa spesial, melainkan eksekusinya.
Greta Gerwig sadar betul bahwa jika ia ingin Little Women-nya dikenang, maka sebisa mungkin ia harus memperbaruinya. Tentu saja tantangan utamanya adalah memperbarui tanpa mengingkari cerita aslinya. Nah, 'gilanya', Greta mengambil langkah yang lumayan drastis.
Salah satu langkah yang Greta ambil adalah membagi filmnya menjadi dua lini masa: masa muda dan dewasa. Kedua lini bergantian saling mengisi, zig zag dari satu masa ke masa. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan, melainkan untuk menggarisbawahi ekspektasi dan realita, apa yang dimimpikan dan apa yang terwujud, serta apa yang berbeda ketika orang tumbuh dari muda menjadi dewasa.
ADVERTISEMENT
Little Women garapan Greta, pada dasarnya adalah kisah tumbuhnya Jo, Meg, Beth, dan Amy sebagai wanita dewasa. Lebih spesifiknya, perihal bagaimana mereka belajar bahwa bertambah tua bukan berarti segalanya akan lebih mudah dan lebih dekat dengan mimpi mereka.
Ketika muda, Jo cs hidup bahagia dengan mimpi-mimpi mereka yang setinggi langit. Meg bermimpi menjadi seorang aktris, Beth ingin menjadi musisi, Amy sebagai pelukis, dan Jo jelas ingin menjadi penulis. Namun, seiring berjalannya waktu, mimpi-mimpi itu terasa makin jauh. Meg jatuh cinta terhadap seorang guru, namun ia miskin. Amy ingin hidup bebas sebagai pelukis, namun bibinya ingin menjodohkannya. Jo ingin bebas menulis apa yang ingin ia tulis, tetapi pasar yang masih seksis berkata berbeda.
Hal-hal kontras antara ekspektasi dan realita, muda dan dewasa tersebut terasa asyik diikuti karena narasi Greta yang saling silang. Plot demi plot menjadi penuh kejutan di samping memberikan penonton dua perspektif berbeda dalam melihat perjalanan hidup Jo, Meg, Beth, dan Amy. Jika semuanya berjalan linear, Little Women garapan Greta mungkin tidak akan ada bedanya dengan belasan adaptasi sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Selain merombak dan menyusun ulang narasi Little Women-nya Louisa May Alcott, Greta juga mempertajam isu-isu female empowerment di dalamnya, terutama dari sisi Jo dan Amy. Keduanya tidak mau diatur, keduanya mendobrak kemapanan, dan keduanya ingin hidup bahagia dengan cara mereka sendiri. Jo, misalnya, tidak ingin menikah hanya karena masyarakat mengharuskan perempuan menikah. Ia ingin mengatur sendiri jalan hidupnya, tanpa harus bergantung pada ekspektasi orang di sekelilingnya.
Ironisnya, Jo hidup di masa perempuan masih termarjinalkan. Beberapa kali tulisannya ditolak hanya karena kurang 'perempuan'. Bahkan, dalam menulis kisah dirinya, atas masukan Dashwood, Jo 'terpaksa' memasukkan unsur romantisme hanya karena aneh jika tokoh perempuan tak memiliki love interest.
Isu-isu female empowerment seperti contoh tersebut bertebaran sepanjang film. Memang tidak semuanya 'sevulgar' kisah Jo, namun ada cukup banyak yang membuat pesan film ini pantas didiskusikan. Bagusnya, isu-isu tersebut tidak ditampilkan dengan nada sinis, melainkan dengan jenaka, riang gembira, dan optimisme.
ADVERTISEMENT