Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Film, Produk Budaya atau Hiburan? Andibachtiar Yusuf Menjawab
18 Mei 2020 13:02 WIB
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Sutradara Andibachtiar Yusuf tidak melupakan percakapannya dengan seorang budayawan di sebuah acara internasional beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Percakapan yang awalnya membahas perbedaan film zaman dulu dengan zaman sekarang, berkembang menjadi perdebatan soal apa identitas dari film itu sendiri. Apakah film itu produk hiburan, produk budaya, atau dua-duanya?
"Anda jangan ngomong soal budaya, itu bukan ranah anda. Ngomongin film aja," ujar sutradara dwilogi Love for Sale tersebut, menirukan ucapan budayawan tersebut ketika berbincang dengan PSR pada Minggu (17/5) via Zoom. Posisi budayawan itu jelas, dia menganggap film hanyalah produk hiburan.
Ucup, bagaimana Andibachtiar Yusuf biasa dipanggil, jelas bete. Meski film memang dibuat untuk menghibur, tetapi identitasnya tidak terjebak pada fungsi menghibur itu saja.
Di mata Andibachtiar Yusuf, film jugalah produk budaya. Dengan kata lain, tidak bisa diperlakukan berbeda dengan stereotype bentuk-bentuk budaya di mata publik seperti tarian, kerajinan tangan, ataupun nyanyian.
ADVERTISEMENT
Agar bisa lebih memahami film sebagai produk budaya, kita memang harus melangkah mundur dulu ke definisi dari budaya itu sendiri.
Mengacu kepada KBBI, Budaya adalah sekumpulan nilai, pemikiran, adat isitiadat, kebiasaan yang merepresentasikan peradaban tertentu. Dengan kata lain, produk budaya adalah produk yang merepresentasikan hal-hal tersebut.
Film, menurut Andibachtiar Yusuf, memenuhi definisi tersebut. Walau film menghibur, ia juga merepresentasikan nilai-nilai, kebiasan, pemikiran tertentu. Hal itu bisa disampaikan lewat cerita, setting, ataupun pengembangan tokoh-tokoh yang berada di sebuah film.
Andibachtiar Yusuf mengingatkan bahwa meski film adalah produk budaya, bukan berarti nilai-nilai budaya yang ada di dalamnya harus bersifat stagnan. Stagnan di sini, maksud Andibachtiar Yusuf, adalah nilai-nilai budaya yang ditampilkan akurat dengan apa yang ada di kenyataan. Menurut Andibachtiar Yusuf, salah jika pola pikir yang dipakai seperti itu.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai budaya, di mata Andibachtiar Yusuf, tidak pernah stagnan. Nilai-nilai budaya selalu berevolusi karena mengikuti perkembangan zaman, pemahaman baru, dan kebiasaan baru. Oleh karenanya, nilai-nilai budaya yang ada di sebuah film pun secara gradual selalu berubah yang belum tentu perubahan itu dipahami banyak orang.
Nah, karena film adalah produk budaya populer atau biasa disebut pop culture, film sesungguhnya memiliki identitas ekstra yaitu agen perubahan serta pembentuk opini publik (konotasi negatifnya, propaganda).
Lewat hiburan-hiburan yang ditunjukkan secara konsisten, film mencoba membentuk pemahaman orang soal nilai-nilai, kebiasaan, atau dengan kata lain budaya yang berlaku di sebuah tempat.
Praktik itu, yang mungkin tidak disadari kebanyakan orang, banyak dipakai oleh film-film Hollywood. Andibachtiar Yusuf memberi contoh film-film romantis Hollywood di mana memberi kesan bahwa berhubungan secara bebas adalah budaya barat yang bisa dilakukan dengan mudahnya. Kenyataannya tidak seperti itu, namun film berhasil membentuk persepsi orang akan budaya barat.
ADVERTISEMENT
"Atau kita bicara film perang. Gw itu baru tahu belakangan, ternyata Amerika itu kalah pas perang Vietnam. Dulu gw pikir Amerika itu menang gara-gara nonton film seperti Rambo," ujar Andibachtiar Yusuf soal bagaimana film perang ingin menunjukkan bahwa Amerika tidak mengenal budaya kalah.
Andibachtiar Yusuf menegaskan bahwa ia tidak mencoba mengatakan bahwa film harus selalu mencoba membohongi rakyat soal budaya-budaya yang ada.
Namun, kata ia, film memiliki kapastitas untuk mengenalkan nilai-nilai budaya atau membentuk nilai-nilai baru dan mempopulerkannya lewat hiburan. Sederhananya, film bukan hanya produk hiburan ataupun produk budaya, tetapi asimilasi keduanya.
"Seperti pas gw ke LA, gw tunjukkin Love For Sale ke orang sana. Dia bilang, 'oh, ternyata modern juga ya kalian'. Kalau tidak ada film, orang jadi gak tahu budaya Indonesia," ujar Andibachtiar Yusuf
ADVERTISEMENT
Nilai plus dari memperlakukan film sebagai produk budaya, kata Andibachtiar Yusuf, adalah proteksi. Film akan dianggap sebagai produk yang harus dilestarikan karena ada nilai-nilai budaya yang harus dilindungi di dalamnya. Di satu sisi, produksi sebuah film jadi akan lebih mudah disupport karena peran pentingnya.
Sebagai perbandingan, di Amerika ada yang disebut sebagai National Film Registry (NFR). NFR adalah dewan yang menentukan film-film apa saja yang harus dilestarikan, disimpan, karena ada identitas peradaban dan nilai-nilai budaya tersimpan di dalamnya.
Jadi, ketika suatu hari nanti Amerika jatuh, identitas dan budaya Amerika tidak sepenuhnya hilang karena ada film-film yang bisa menyelamatkannya. Shawshank Redemption adalah salah satu film yang terdaftar di NFR.
Indonesia tidak memiliki hal seperti itu di mata Andibachtiar Yusuf. Boro-boro pelestarian, dukungan terhadap produksi film pun belum ada.
ADVERTISEMENT
Hal itu terlihat dari masih sulitnya film Indonesia mendapat pendanaan ataupun kesempatan tayang lebih lama di bioskop-bioskop Indonesia. Peraturan soal kuota film pun belum diterapkan kata Andibachtiar Yusuf.
Dengan kata lain, perjalanan film Indonesia untuk bisa dianggap produk budaya sekaligus hiburan, baik oleh warga, budayawan, hingga pemerintah, belum usai.
Untuk obrolan lengkap PSR dengan Andibachtiar Yusuf, kalian bisa dengar lewat podcast di bawah ini!