Film Review Black Widow: Menjawab Berbagai Pertanyaan, Namun Sudah Terlambat

Konten Media Partner
9 Juli 2021 21:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Black Widow (Foto: Marvel)
zoom-in-whitePerbesar
Black Widow (Foto: Marvel)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Sulit untuk tidak memandang Black Widow sebagai film yang sudah "ketinggalan kereta". Selain mayoritas penonton Marvel Cinematic Universe sudah tahu apa yang akan terjadi dengan karakternya, Black Widow yang masih diperankan Scarlett Johansson tidak menawarkan experience baru yang selama ini ditekankan oleh Bos Marvel Studios, Kevin Feige.
ADVERTISEMENT
Mungkin ini pertama kalinya kami sepakat dengan argumen sejumlah kritikus bahwa film MCU bisa terasa sangat formulaic dan generic. Banyak hal di film ini yang sudah basi, muncul di film-film dengan genre serupa seperti Anna, Red Sparrow, La Femme Nikita, Salt, dan Atomic Blonde. Jika tidak ada label Marvel Studios di film ini, mungkin kebanyakan penonton akan melihat Black Widow sebagai generic b-action spy movie dengan forgettable villain dan plot.
Kisah Black Widow mengambil setting beberapa saat setelah event Captain America: Civil War (2016). Natsha Romanoff aka Black Widow (Scarlet Johansson) dikisahkan tengah kabur dari kejaran Thadeus "Thunderbolt" Ross (William Hurt) karena telah melanggar Sokovia Accords. Sedikit flashback ke Civil War, Natasha didapati telah membiarkan kabur Steve Rogers aka Captain America dan Bucky Barnes aka Winter Soldier.
ADVERTISEMENT
Tahu bahwa yurisdiksi Sokovia Accords hanya terbatas di wilayah Amerika, Natasha memutuskan kabur ke Norwegia yang belum memiliki kesepakatan ekstradisi dengan Ross. Ia berniat untuk bersembunyi di sana hingga situasi mereda. Sayang, plan dia tidak berjalan sesuai rencana. Di hari pertama Natasha berada di Norwegia, ia sudah berhadapan dengan figur bermuka tengkorak, Taskmaster.
Awalnya, Natasha mengira Taskmaster adalah orang suruhan Ross untuk menangkap dirinya. Ia salah. Taskmaster tidak mengincar dirinya, namun koper yang berada di mobil Natasha. Isinya adalah sekumpulan vial yang berkaitan dengan program pembibitan unggul Black Widow, Red Room.
Black Widow (Foto: Marvel)
Natasha, yang tidak tahu menahu akan vial itu, berhasil membawanya kabur dari Taskmaster. Ternyata, vial tersebut dikirim oleh "adiknya", Yelena Belova (Florence Pugh). Mengetahui vial itu mampu membongkar Red Room yang dibangun oleh peneliti Rusia bernama Dreykov (Ray Winstone), Yelena mengirimkannya ke Natasha dengan harapan Avengers turun tangan. Ia tidak tahu Avengers sudah bubar sehingga hanya tersisa Natasha yang bisa membantunya menghentikan Dreykov yang memperbudak banyak perempuan untuk menjadi bagian Red Room.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi selanjutnya bisa ditebak, permainan kucing-kucingan. Berdua, Natasha dan Yelena bekejaran dengan Black Widows (plural) Dreykov yang ingin mengambil alih vial tersebut. Sepanjang pelariannya, mereka kembali membangun hubungan persaudaraan yang sudah lama terputus sekaligus berbagi cerita soal apa saja yang mereka hadapi dan alami selama ini.
Kelebihan Black Widow ada pada bagaimana sutradara Cate Shortland dan penulis Eric Pearson mem-flesh out latar belakang Black Widow yang selama ini menjadi misteri. Satu dekade lebih, apa yang kebanyakan penonton tahu terbatas pada nama orang tuanya, misi di Budapest bersama Clint Barton (Jeremy Renner), sterilisasi oleh Red Room, dan klaim Natasha bahwa ia tidak memiliki "keluarga" selain Avengers.
Di film solo Black Widow, semua misteri itu direspon. Sebagian besar memberikan jawaban konklusif dengan detil-detil tambahan akan memuaskan para pembuat teori MCU. Namun, dari sekian banyak hal yang digali soal Natasha, misi di Budapest lah yang mendapat penekanan di film ini
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di Budapest lebih dari sekedar Clint dan Natasha menjalankan misi bersama. Budapest adalah survival mission, ujian untuk Natasha pribadi. Tanpa misi di Eropa timur itu, Natasha tak akan menjadi figur yang kita kenal selama ini. Itulah kenapa Natasha berkata kepada Clint di Avengers (2012) bahwa mereka berdua memiliki pandangan berbeda soal Budapest. Bagi Natasha, Budapest sangat personal.
Kelebihan yang dimiliki Black Widow itu sebenarnya juga masalah jika dilihat dari perspektif lain. Kisah Black Widow, by design, diciptakan untuk mereka yang sudah well-invested ke lore MCU. Basically, film ini dibuat untuk menjawab hal-hal yang selama ini dipertanyakan fans. Bagi mereka yang tidak pernah menaruh perhatian pada kisah Natasha, Black Widow bisa terasa disjointed.
ADVERTISEMENT
Problem itu jujur membuat kami sempat bertanya-tanya soal kenapa Marvel Studios memilih untuk fokus pada kisah post-Civil War dan pre-Infinity War. Pada titik ini, apa yang terjadi bisa dikatakan sudah basi dengan kebanyakan fans sudah tahu endingnya. Melihat betapa tingginya taruhan misi di Budapest bagi Natasha, menurut kami kisah itu lebih pas untuk film solo Black Widow.
Menarik kisah Natasha jauh ke belakang, sebelum ia berinteraksi dengan SHIELD dan Avengers, juga akan memberi gambaran lebih komplit soal apa yang membuatnya menjadi Black Widow. Di film ini, masa lalu tersebut hanya disampaikan secara lisan dan sporadis. Kami jadi haus akan kisah spionase klasik dengan Natasha protagonisnya.
Dengan pendekatan yang dipakai sekarang, jika unsur-unsur yang berkaitan dengan MCU dihapus, maka sulit mengatakan Black Widow film yang spesial. Seperti dikatakan di awal tulisan, film ini terasa formulaic dan generic.
Black Widow (Foto: Marvel)
Ada banyak kemiripan antara Black Widow dengan film-film spionase lainnya yang memiliki tokoh utama perempuan. Beberapa di antaranya adalah tokoh utama yang sama-sama jagoan, terpisah dari keluarga, pengkhianat, dan sama-sama ingin tobat ketika merasakan nikmatnya hidup normal. Black Widow hanya menambahkan hal-hal itu dengan larger than life threat yang khas dari film superhero.
ADVERTISEMENT
Kami menduga Cate Shortland sejatinya mencoba mengemulasikan keberhasilan Russo Brothers menggabungkan political thriller dan superhero di Captain America: Winter Soldier. Ada beberapa kemiripan yang deliberate seperti Taskmaster adalah ekuivalen dari Winter Soldier. Namun, Black Widow tidak memiliki delivery dengan daya hentak dan dampak yang sama besarnya.
Ancaman di film ini terasa cupu jika dibandingkan dengan kejatuhan SHIELD dan terkuaknya Hydra di Captain America: Winter Soldier. Lagi-lagi, itulah kenapa kami berpikir Marvel seharusnya menarik mundur kisah Black Widow ke misi Budapest. Misi itu, walau tidak berdampak global, memiliki dampak personal yang besar ke Natasha.
Terlepas dari kekurangan dalam hal delivery itu, Black Widow tetap memberikan aksi laga yang menghibur. Beberapa adegan memiliki kualitas setara Captain America: Winter Soldier. Namun, untuk sepertiga terakhir film, kami peringatkan untuk tidak berharap banyak. Underwhelming.
ADVERTISEMENT
Kejutan terbesar ada pada akting Florence Pugh sebagai Yelena. Ia memainkan karakter itu dengan asyik dan sassy, menjadikan Yelena sebagai salah satu highlight dari Black Widow. Banyak adegan lucu dan levity di film ini yang, suprisingly, muncul dari karakternya. Tidak menyangka Florence bisa mengimbang Scarlet yang bertahun-tahun memerankan Black Widow. Jika Florence terpilih menggantikan Scarlet sebagai inkarnasi Black Widow berikutnya, kami tidak kaget.
Overall, Black Widow tidak memenuhi ekspektasi kami, bahkan bisa disebut wasted opportunity. Film ini memiliki unsur-unsur yang sudah basi dan tergolong telat rilis ketika nasib Natasha sudah diketahui mayoritas fans. Jika pendekatan ini yang dipilih Marvel, seharusnya mereka merilis Black Widow sejak Civil War usai, bukan bertahun-tahun sesudahnya. Namun, bagi fans setia, film ini tetap patut ditonton karena memberikan banyak detil baru soal Natasha.
ADVERTISEMENT