Film Soul, Krisis Paruh Baya, dan Tujuan Hidup

Konten Media Partner
28 Desember 2020 8:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film Soul (Foto: Pixar)
zoom-in-whitePerbesar
Film Soul (Foto: Pixar)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Soul menjawab pertanyaan penting dari hidup ini: What is the meaning life? What is my true purpose? Semua orang pasti pernah mencapai titik tersebut di mana mulai mempertanyakan tujuan hidup mereka. Beberapa ada yang berhasil menemukan jawabannya, tidak sedikit juga yang gagal. Umumnya situasi itu dialami orang dewasa dalam wujud Midlife Crisis (Krisis Paruh Baya). Film terbaru Disney Pixar yang berjudul Soul secara apik mengeksplor hal tersebut.
ADVERTISEMENT

Apa itu Midlife Crisis?

Film Soul (Foto: Pixar)
Midlife crisis bukan barang baru. Istilah tersebut diperkenalkan pertama kali di London, tahun 1957. Penciptanya adalah seorang pakar psikologi asal Kanada bernama Elliott Jaques. Ia memperkenalkannya dalam sebuah pertemuan tahunan yang digelar oleh British Psycho-Analytical Society.
Dalam paparan Jaques, Midlife crisis adalah gejala yang umum terjadi pada orang berusia 30 tahun ke atas. Ia menyebutnya sebagai periode depresif di mana orang kehilangan kemampuan untuk menikmati hidupnya dan mulai mencoba segala cara (secara kompulsif) untuk mengembalikan kemampuan tersebut. Pemicunya, kata Jaques, bisa bermacam-macam mulai menyadari bahwa diri tak lagi muda hingga merasa telah memilih jalur hidup yang salah dan terlalu telat untuk memperbaikinya.
"Sebelumnya, hidup terasa seperti tanjakan yang tak terlihat di mana ujungnya. Sekarang, saya berada di puncaknya dan apa yang terlihat selanjutnya hanyalah turunan. Ujungnya juga tidak terlihat, namun kematian jelas menanti sana," ujar testimoni salah seorang pasien Jaques, dikutip dari The Atlantic.
ADVERTISEMENT
Jaques menjelaskan bahwa Midlife Crisis sesungguhnya bukan istilah ciptaan ia murni. Ia mengatakan, hal itu secara implisit sudah disinggung dalam Dante Alighieri di karyanya berjudul The Divine Comedy. Karya itu, kata Jaques, dibuka dengan pernyataan "Di tengah perjalanan hidup kita/Aku mendapati diriku tersesat di dalam hutan gelap/Karena jalan untuk keluar tampak hilang."

Soul dan Midlife Crisis

Film Soul (Foto: Pixar)
Soul memotret Midlife Crisis dari sudut pandang Joe Gardner, seorang musisi Jazz asal New York yang diperankan oleh Jamie Foxx. Kesehariannya, ia mengajar musik di salah satu sekolah swasta sembari mengikuti berbagai audisi untuk band Jazz. Incarannya adalah posisi pianist di kuartet pimpinan Dorothea Williams (Angela Bassett). Menurutnya, jika ia berhasil mendapatkan posisi itu, maka berakhir sudah kehidupannya yang jenuh.
ADVERTISEMENT
Berkali-kali gagal di audisi band lainnya, Gardner sukses di audisi kuartet Dorothea. Hal yang ia impikan selama ini, yang ia klaim sebagai Tujuan Hidup, akhirnya tercapai. Sial bagi Gardner, di tengah perjalanan pulang, ia malah jatuh ke lubang saluran air yang seketika mengakhiri hidupnya saat itu juga. Ironis, ia meninggal tepat di hari impiannya terwujud.
Seperti kisah kehidupan pasca kematian pada umumnya, jiwa (Soul) dari Gardner kemudian melakukan perjalanan ke akhirat. Ia menuju sebuah ruang yang disebut sebagai The Great Beyond. Namun, karena pada dasarnya ia mati penasaran, Gardner memberontak. Ia kabur dari the Great Beyond dan tersasar ke ruang sebaliknya, The Great Before.
Jika Great Beyond adalah Surga (dan Neraka), the Great Before adalah titik di mana soul akan berangkat ke bumi untuk dilahirkan sebagai manusia. Setiap soul yang akan dikirimkan ke bumi harus terlebih dahulu memiliki 7 Spark yang akan menentukan personality mereka begitu tiba nanti. Gardner berniat mengakali sistem itu, mencuri Spark dari salah satu Soul yang mirip dengannya, 22 (Tina Fey), yang tidak ingin dikirim ke Bumi.
ADVERTISEMENT
Gardner adalah representasi dari Midlife Crisis tersebut. Di usia 30 tahun ke atas, ia terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Di kelasnya, ia tidak bisa Jazz-ing karena nyaris tidak ada murid yang mendengarkannya, alih-alih memperhatikannya. Ada salah satu murid yang sangat jago bermain Trombone, namun ia pun menganggap kelas Gardner membosankan.
Di luar sekolah, hidupnya berputar-putar saja pada urusan mendapatkan tempat di band Jazz. Ia nyaris tidak pernah memikirkan hal selain Jazz. Alhasil, ia nyaris tidak pernah menikmati hidup atau mengeluh saja kerjaannya. Satu-satunya momen di mana ia bisa bahagia adalah ketika memainkan jari jemarinya di atas tuts piano yang ia sebut "In The Zone".
Keberhasilan mendapat tempat di kuartet Dorothea Williams adalah puncak karirnya.Targetnya mulai terlihat jelas. Namun, sebelum ia sempat mencapainya, ia sudah jatuh terlebih dahulu, ke dalam lubang hitam yang nyaris tanpa ujung. Itulah kenapa, menganggap "Tujuan Hidup"-nya telah direngut, Gardner komplusif memberontak dan mencoba kembali ke bumi.
ADVERTISEMENT
Sekuens yang dialami Gardner mirip dengan apa yang dipaparkan Jaques puluhan tahun yang lalu. Ia berada di titik jenuh, tidak lagi bisa menikmati hidup, merasa tujuan hidupnya telah lolos dari genggaman, dan segala cara digunakan untuk memutarbalikkan segalanya. Perkara ia berhasil mengubah nasibnya atau tidak, itu berada di teritori spoiler. Walau begitu, akurat untuk mengatakan bahwa Gardner memang mengalami gajala Midlife Crisis.
Pemilihan isu Midlife Crisis tergolong unik untuk ukuran Pixar. Meski mereka kerap mengangkat isu yang deep, sudut pandangnya tetap diambil dari perspektif anak-anak. Kalaupun tokoh utamanya orang dewasa, selalu ada anak-anak sebagai penyeimbang. Sebagai contoh, Up, memasangkan Carl Fredericksen dan Russell. Monster Inc. memasangkan Sully dan Mike dengan Boo.
ADVERTISEMENT
Soul mengambil langkah sebaliknya. Ia sepenuhnya diambil dari sudut pandang orang dewasa. Karakter Gardner bukan tipikal protagonis yang biasa ada di film Pixar. Sementara itu, karakter yang paling mendekati anak-anak secara penampilan, 22, pun memiliki karakterisasi yang lebih menyerupai "Middle-age woman" menurut Gardner.
Nyaris tidak ada yang kekanak-kanakan dari Gardner kecuali obsesinya untuk mendapat tempat di dalam band Jazz. Sulit bagi anak kecil untuk menemukan kesamaan dengan Gardner. Untuk orang dewasa, termasuk penulis sendiri, jelas lebih mudah. Gardner, seperti Squidward di Spongebob, adalah kita para orang dewasa dengan segala masalahnya, termasuk Midlife Crisis.

Soul dan Life Purpose

Film Soul (Foto: Pixar)
Isu lain yang menarik dari Soul adalah soal Life Purpose atau Tujuan Hidup. Gardner menganggap tujuan hidupnya solely untuk bermain Jazz dan tidak ada yang lain. Apakah Life Purpose sesederhana itu? Apakah hanya bisa dilihat dari satu perspektif saja yaitu diri kita sendiri? Tidak menurut psikolog Scott T. Nelson.
ADVERTISEMENT
Nelson, dalam tulisannya di Psychology Today, mengatakan bahwa pemahaman paling populer soal Life Purpose adalah "mencintai dan dicintai dengan menjadi versi terbaik dari diri kita". Namun, menurut ia, pandangan tersebut terlalu egois. Life Purpose di matanya lebih kompleks di mana tidak bisa dilihat dari sisi kita saja, tetapi juga orang lain.
Menemukan hal itu jelas susah dan Nelson mengakuinya sendiri. Terkadang harus keluar dari comfort zone atau harus gagal dulu untuk menemukannya. Namun, ia mengatakan bahwa hal itu akan lebih mudah apabila kita melihat sekeliling juga, tidak melihat diri sendiri saja. Kunci akan Life Purpose, kata ia, selalu berada di sekitar kita.
"Tujuan hidup tertanam dengan sangat dalam di dalam kehidupan sosial kita. Sangat mudah untuk tidak menyadarinya atau bahkan menggampangkannya," ujar Nelson, dikutip dari Psychology Today.
ADVERTISEMENT
Sederhananya, kata Nelson, Life Purpose tidak pernah egois atau tentang pencapaian diri sendiri. Life Purpose adalah soal bagaimana kita menjadi bagian dari kehidupan sosial, memainkan peranan di sana untuk membuat perubahan (pencapaian) ke arah yang lebih baik. Jika itu tercapai, mencintai dan dicintai akan tercapai dengan sendirinya.
Konsep Life Purpose yang dijelaskan Nelson ada di film Soul, beririsan dengan Midlife Crisis yang dihadapi Gardner. Life Purpose versi Gardner lebih egois karena sangat personal. Ia ingin bermain Jazz seumur hidupnya, titik.
Ia tidak melihat dampak tujuan hidupnya kepada orang-orang di sekitarnya. Alih-alih berguna bagi kehidupan sosialnya, Gardner malah tak jarang menyusahkan mereka meskipun ia tidak memiliki niatan itu. Hal itu digarisbawahi dalam percakapan di tempat tukang cukur langganannya di mana Life Purpose versi pribadi dan sosial itu tidak selalu sejalan.
ADVERTISEMENT
Midlife Crisis yang dialami Gardner pun bisa dipandang bagian dari pencarian tujuan hidup itu sendiri. Dan, Great Before mencoba (secara tidak disengaja) membawanya ke Life Purpose yang benar dengan menjadi mentor dari 22. Untuk pertama kalinya Gardner mencoba melihat Life Purpose dari perspektif yang berbeda, membantu 22 untuk memantapkan personality dan tempatnya di Bumi.