Filosofi Dibalik Simulasi Realita The Matrix, dari Plato Hingga Marx

Konten Media Partner
20 September 2021 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The Matrix (Foto: IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
The Matrix (Foto: IMDb)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Kisah The Matrix berlanjut tahun ini dan Keanu Reeves kembali sebagai Neo. Kurang lebih 18 tahun setelah title terakhirnya, The Matrix: Revolutions, sutradara Lana Wachowski melanjutkannya dengan The Matrix: Ressurections. Berdasarkan trailer yang rilis beberapa hari lalu, film terbaru ini dipastikan akan mengambil setting di versi terbaru The Matrix.
ADVERTISEMENT
The Matrix, sebagaimana dijelaskan oleh Morpheus (Laurence Fishburne) di film pertamanya (1999), adalah "computer generated dream world". Ia dibuat sebagai simulasi realita, mengendalikan manusia yang telah diubah menjadi sumber daya oleh para Mesin (The Machine). Adapun penciptaan The Matrix sendiri adalah dampak dari konflik yang diciptakan manusia sendiri.
Pada event The Second Renaissance, yang terjadi di pertengahan Abad 21, manusia ogah mengakui kedaulatan The Machine yang membentuk negaranya sendiri, 01. Bagi Manusia, The Machine adalah budak, diciptakan untuk melayani mereka, sehingga tak pantas untuk hidup berdampingan secara equal. Namun, khawatir The Machine akan menjadi ancaman di kemudian hari, Manusia mencoba memusnahkan mereka.
The Machine lebih kuat dibanding perkiraan Manusia. Produksi yang efektif dan efisien memungkinkan mereka untuk terus memperkuat pasukannya. Desperate, Manusia melakukan hal ekstrim, menutup atmosfer dari matahari agar The Machine tidak mendapat tenaga surya yang menjadi sumber daya utamanya. Ujungnya bisa ditebak, Manusia malah yang kalah duluan karena tanpa Matahari maka tidak ada sumber daya alam untuk mereka bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Ironis, Manusia yang ingin memperbudak The Machine malah balik diperbudak oleh mereka. The Machine mendapati manusia bisa dijadikan sumber daya mereka yang baru, namun dibutuhkan kendali penuh. The Matrix diciptakan untuk itu, menjebak manusia dalam simulasi realita agar mereka tidak menyadari bahwa tubuh mereka telah diubah menjadi batere.
Total ada enam versi The Matrix. Versi 1.0 dan 2.0 dianggap kegagalan oleh penciptanya, The Architect, karena terlalu "Sempurna". Simulasi yang dihadirkan terlalu "Surgawi", membuat manusia yang terhubung ke dalamnya tidak mempercayai "Realita" yang dihadirkan. Para Manusia memberontak, membuat program The Matrix crash di tengah jalan.
Perubahan besar dilakukan pada versi 3.0. Fitur "Choice" dihadirkan sebagai elemen integral, memberikan ilusi pilihan pada Manusia yang terhubung ke The Matrix. Ketidakpastian yang hadir dari "Choice" membuat The Matrix terasa realistis, berhasil menipu manusia yang terhubung ke dalamnya, dan mencegah program crash seperti sebelumnya. Dari situ, The Matrix berkembang pesat hingga versi keenam yang hadir di trilogi filmnya.
ADVERTISEMENT
Kisah penciptaan program The Matrix dan bagaimana Manusia terhubung ke dalamnya, apabila ditilik, mengandung berbagai pemikiran filsuf. Beberapa filsuf yang materinya dipakai oleh Wachowski adalah Plato, Jean Baudrillard, Karl Marx, dan Rene Descartes. Dari keempatnya, Allegory of The Cave dari Plato lah yang berperan sebagai fondasi trilogi The Matrix.
Dalam alegori Plato, sekelompok manusia dirantai di dalam goa dan hidup di sana sejak lahir. Mereka tak tahu seperti apa dunia luar karena apa yang bisa mereka lihat hanyalah tembok goa. Suatu hari, seorang dalang menyalakan api di belakang mereka dan mulai memainkan pertunjukan wayang.
Berkat pertunjukkn itu, para manusia jadi bisa melihat aksi wayang dan mendengar suara sang dalang. Namun, mereka tak bisa melihat sumbernya. Dengan keterbatasan informasi, karena bertahun-tahun di dalam goa, pertunjukan itu jadi mereka anggap realita.
ADVERTISEMENT
Program The Matrix adalah representasi dari goa dan pertunjukkan wayang tersebut. Manusia yang terhubung ke dalam program simulasi The Matrix tidak bisa melihat realita sesungguhnya. Realita yang mereka jalani hanyalah imitasi, tiruan, untuk mengalihkan mereka dari perbudakan yang berlangsung. Untuk bisa keluar dari tiruan realita itu, mereka yang terhubung ke The Matrix harus memilih Red Pill, kode yang diciptakan untuk log out.
Realita tiruan yang dihadirkan The Matrix juga merepresentasikan pemikiran Baudrillard dalam karyanya yang berjudul Simulacra & Simulation. Baurdrillad beragumen bahwa simulasi atau imitasi bisa terasa lebih real dibandingkan realitas sesungguhnya. Ia menyebutnya sebagai "Hyper-Real".
Argumen itu berangkat dari studinya terhadap budaya konsumtif di mana manusia dikelilingi produk "Representasi" atau "Imitasi" dari realita sehingga hidup lebih terasa seperti simulasi. Sebagai contoh, tren olahraga lari memiliki image aktivitas mewah yang dibentuk produk-produk mahal sementara sejatinya itu bentuk rekreasi yang mendasar. Realita sesungguhnya tertutupi oleh image ciptaan.
ADVERTISEMENT
Dalam film, realita yang dihadirkan program The Matrix terasa lebih real, seperti hidup yang manusia bayangkan. Realita sesungguhnya jauh dari ideal di mana manusia hidup di goa Zion, bersembunyi dari kejaran The Machine. Dengan kata lain, program The Matrix sukses besar.
Menilik lebih jauh lagi, eksploitasi para manusia sebagai sumber daya The Machine dan upaya mereka untuk memberontak adalah representasi pemikiran Karl Marx soal Class Struggle dan Communism.
Karl Marx, dalam ajarannya, berargumen bahwa kelas pekerja (proletar) dieksploitasi oleh kelas penguasa. Eksploitasi tersebut, kata Marx, mungkin dilakukan selama kelas pekerja tidak menyadari bahwa mereka telah dimanfaatkan. Dalam trilogi The Matrix, mayoritas manusia tidak menyadari telah diperbudak oleh The Machine sebagai sumber daya. Mereka yang berhasil disadarkan via Red Pill hidup secara komunal di Zion, berbagi satu tujuan dan sumber daya, serta menyusun upaya perlawanan terhadap kelas The Machine yang memperbudak mereka.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada hal-hal di atas, The Matrix: Ressurections besar kemungkinan masih akan membawa isu-isu kritis dan filsafat di dalamnya. Pemikiran-pemikiran Baudrillard dan Plato pun masih relevan sebagai fondasi kisah The Matrix. Melihat trailernya, di mana memperlihatkan para manusia "terikat" dengan gadget dan media sosial, besar kemungkinan The Matrix: Ressurections akan mengangkat isu privasi data, hilangnya rasa kemanusiaan, dan adiksi terhadap teknologi. Jika memang seperti itu adanya, mungkin kita sendiri perlu bertanya-tanya, apakah kita berada di dalam The Matrix.