Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
'Final Fantasy VII Advent Children': Penghormatan ke Title RPG Paling Ikonik
11 April 2020 11:27 WIB

ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Tidak banyak film adaptasi game yang berhasil di pasaran. Sebagian besar gagal menangkap esensi utama seri game-nya. Kalaupun berhasil menangkap esensi utama sumber adaptasinya, biasanya hancur lebur dalam hal teknis produksi ataupun narasi. Final Fantasy VII: Advent Children adalah satu dari sedikitnya film adaptasi game yang menurut PSR tergolong berkualitas.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, Final Fantasy VII Advent Children tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai adaptasi. Ia lebih pas disebut sebagai sekuel. Sebab, Final Fantasy VII Advent Children melanjutkan kisah game Final Fantasy VII yang dirilis di konsol PlayStation pada tahun 1997 lalu. Dengan kata lain, Advent Children diciptakan untuk penggemar salah satu title RPG (Role Playing Game) paling ikonik tersebut. Itulah kenapa PSR memandangnya sebagai film adaptasi game yang (relatif) berhasil.
Advent Children mengambil setting dua tahun usai akhir Final Fantasy VII. Di akhir kisah game tersebut, Cloud Strife (Takahiro Sakurai) berhasil mencegah aksi genosida yang dilakukan oleh Sephiroth (Toshiyuki Morikawa). Aksi genosida yang Sephiroth lakukan, menjatuhkan meteor ke bumi (baca: Gaia) dengan dalih itu kemauan "ibu kandung"-nya, seorang alien bernama Jenova.
Walau aksi Sephiroth berhasil dicegah, bumi dan penduduknya tak sepenuhnya selamat. Insiden meteor memicu wabah penyakit bernama Geostigma. Mereka yang tertular, tubuhnya akan membusuk lebih cepat dibanding biasanya. Gawatnya, Geostigma tak mengenal umur. Tua, muda, maupun anak-anak, semuanya rentan terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Cloud Strife, yang beralih profesi menjadi kurir, bertualang mencari tahu penyebab dan penawar dari Geostigma. Namun, tiga sosok misterius menghalangi upayanya. Dengan penampilan menyerupai Sephiroth, mereka mengklaim sebagai kebangkitan kembali dari rival Cloud tersebut.
Untuk bisa memahami kisah Advent Children, memainkan game Final Fantasy VII yang classic adalah sunah hukumnya. Sebab, kisah dari game tersebut adalah fondasi besar dari Advent Children. Walaupun Advent Children masih bisa dipahami tanpa memainkan game-nya, kisah film itu akan terasa lebih susah diakses dan relatable.
Di sisi lain, narasi Advent Children cenderung ribet. Berbagai istilah asing tersebar sepanjang film tanpa penjelasan yang mumpuni. Berbagai peristiwa hadir tanpa konteks yang mencukupi. Alhasil, untuk mereka yang belum pernah menyentuh Final Fantasy VII sebelumnya, atau sudah lama tidak memainkannya, menonton Advent Children bisa menjadi tantangan sendiri. Menonton sebanyak dua kali sangat dianjurkan.
ADVERTISEMENT
Final Fantasy VII Advent Children Complete, yang dirilis 4 tahun setelah Advent Children, lumayan memperbaiki masalah dalam hal storytelling itu. Sutradara Advent Children, Tetsuya Nomura, menambah durasi film sekitar 40 menit untuk memperjelas kisah yang ada. Misalnya, ia memperbanyak kilas balik ke kisah Final Fantasy VII agar penonton bisa menemukan korelasi antara kisah game dan Advent Children. Jadi, jika ingin menonton lagi Advent Children, disarankan langsung menonton Advent Children Complete saja.
Kekurangan dalam hal storytelling diperparah dengan character development yang tidak merata. Di luar Cloud, hampir semua karakter Advent Children adalah tempelan saja. Mereka adalah tim penggembira, hadir untuk meramaikan suasana. Namun, hal itu memang sulit dihindari mengingat kisah besar Final Fantasy VII sendiri adalah tentang Cloud dan Sephiroth.
ADVERTISEMENT
Selain itu, durasi film juga tidak mencukupi untuk memberi porsi yang pas kepada tokoh-tokoh Final Fantasy VII lainnya. Tak mengherankan kalau sutradara Tetsuya Nomura pada akhirnya memilih 'Style over Substance'.
Berbicara soal style, di situlah keunggulan utama Advent Children. Style-nya memukau. Dari awal hingga akhir, visualisasi Advent Children tak henti-hentinya memanjakan mata. Dunianya terasa megah, karakternya menarik dipandang, dan semuanya terasa sangat riil dan detail. Hebatnya, di tahun 2020 saja, tak banyak film animasi dengan kualitas visual sebagus Advent Children. Hal itu menunjukkan betapa gilanya teknologi visual yang dipakai Square, rumah produksi Advent Children, saat itu.
Action choreography-nya tak ketinggalan. Advent Children memiliki belasan scene laga yang tidak kalah keren dengan standar film Hollywood saat itu atau bahkan sekarang. Banyak sekali 'gravity-defying' action yang menggabungkan keindahan bela diri ala Crouching Tiger Hidden Dragon dengan kebrutalan laga di film-film Hollywood. Di Advent Children Complete, action choreography-nya bahkan ditingkatkan lagi dengan menambahkan unsur darah untuk realism, meski overall direksi yang diambil tetap fantasi.
ADVERTISEMENT
Cherry on top-nya, Advent Children kaya akan homage ke franchise Final Fantasy. Penggemar game seri Final Fantasy akan menemukan banyak hal yang merupakan recurring element dari franchise ciptaan Hironobu Sakaguchi itu. Dalam hal action choreography pun, ada berbagai penghormatan ke laga di game Final Fantasy VII. Dalam hal kesetiaan terhadap esensi franchise Final Fantasy, Advent Children patut diacungi jempol.
Nah, kemarin, Square merilis perombakan dari game Final Fantasy VII berjudul Final Fantasy VII Remake. Game tersebut tidak hanya memperbaiki sektor grafis Final Fantasy VII classic, tetapi juga art dan story direction-nya. Sutradara Advent Children, Tetsuya Nomura, juga menjadi sutradara untuk game Final Fantasy VII Remake. Jadi, tidak salahnya menengok kembali Advent Children, apalagi jika sudah menamatkan Final Fantasy VII Remake.
ADVERTISEMENT