Review Film Ben & Jody: Aksi Bromance yang Baku Hantam dengan Konflik Sosial

Konten Media Partner
6 Februari 2022 13:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Chicco Jerikho dan Rio Dewanto saat press junket film Ben & Jody di Jakarta Selatan, Jumat 14/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Chicco Jerikho dan Rio Dewanto saat press junket film Ben & Jody di Jakarta Selatan, Jumat 14/1). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Dua karakter dari buku fiksi karya Dewi Lestari, mendobrak lini cerita yang telah dibangun dari 2 film sebelumnya lewat film Ben & Jody.
ADVERTISEMENT
Dari cerita drama persahabatan, percintaan, bisnis kopi, berubah menjadi aksi laga yang mengangkat isu agraria dan adat warga pedalaman.
Ben & Jody adalah karya film action bromance yang bukan hanya baku hantam, namun rasa empati kepada sahabat dan isu lingkungan hidup.
Melanjutkan kisah Filosofi Kopi 2 di mana Ben meninggalkan kedai dan pergi ke kampung demi melanjutkan ladang kopi milik ayahnya. Namun, ada sebuah perusahaan yang ingin mengambil lahan milik para petani dan Ben pun disekap oleh pembalak liar bernama Aa Tubir.
Jody yang khawatir dengan Ben menyusul dan ikut terseret dalam aksi yang mempertaruhkan nyawa mereka berdua. Selain dari para pembalak liar yang menguasai lahan, kita juga diperkenalkan oleh warga Desa Wanareja. Kampung pedalaman yang didiami oleh Rinjani, Tambora, Bang Jago, dan Musang.
ADVERTISEMENT
Sebagai film yang memperluas universe Filosofi Kopi, Angga Dwimas Sasongko berhasil menciptakan storyline yang tidak dipaksakan. Masih bergelut dengan dunia kopi, film ini menjelajahi permasalahan yang sering dilanda petani yaitu relokasi lahan paksa.
Konflik pertanian ini terkadang kita dengar apalagi di wilayah perkampungan yang warganya lemah hukum. Sebagai film yang mengusung cerita tersebut, sepertinya agak bertolak belakang dengan unsur “fantasy” yang dikatakan saat promosi filmnya.
Unsur action di film Ben & Jody juga tidak disajikan ala kadarnya. Walaupun terkadang kita masih melihat gerakan seperti menunggu aba-aba, fight scene-nya masih bisa kita nikmati. Tidak seluwes gerakan silat di Merantau, ataupun se-intense dan brutal The Raid, namun cukup mewakili seorang masyarakat yang bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
Jangan lupa judulnya adalah Ben & Jody, intrik bromance mereka yang dijual di film ini. Selain isu lingkungan, persahabatan mereka lah yang terancam oleh keadaan.
Hubungan sahabat yang selalu menemani dan selalu melindungi dengan kuat disajikan dengan baik oleh Chicco Jerikho dan Rio Dewanto. Setelah melewati permasalahan percintaan dan bisnis kedai, kini mereka harus melewati pertaruhan nyawa sebagai puncak persahabatan mereka. Tak luput pergolakan batin yang membebani saat mereka harus “membunuh atau dibunuh” melawan anak buah Aa Tubir.
Konklusinya, film ini menghadirkan segudang ketegangan yang berhasil diciptakan oleh Angga Dwimas Sasongko dari penceritaannya.
Di balik kekurangan karakteristik kampung pedalaman serta fight scene yang kurang memorable, Ben & Jody adalah kisah tumbuh dewasa karakter mereka tanpa harus berada di balik mesin kopi dan mesin kasir. Tidak kehilangan identitasnya dan tidak menghilangkan nyawa kopinya yang perfecto.
ADVERTISEMENT
IRFAN ADHITYA PUTRA