Konten Media Partner

Review Film Candyman: Kembalinya Teror Legenda Urban Bertangan Kait

27 Oktober 2021 17:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film Candyman (Foto: IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
Film Candyman (Foto: IMDb)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film horor Candyman (2021) hadir sebagai direct-sequel dari film berjudul sama yang rilis di tahun 1992 dan disutradarai oleh Bernard Rose. Dengan kata lain, film adaptasi kisah “The Forbidden” karya Clive Barker ini tidak menganggap kanon dua film sebelumnya yaitu Candyman: Farewell to The Flesh (1995) serta Candyman: Day of The Dead (1999).
ADVERTISEMENT
Film berdurasi 1,5 jam ini mengisahkan urban legend komunitas kulit hitam di permukiman Cabrini-Green bernama “Candyman”. Di Carbini-Green, sedikit yang tidak pernah mendengar soal legenda Candyman (Tony Todd), pembunuh puluhan orang dengan senjata kait (hook) dan lebah itu. Salah satu warga yang tidak mengetahuinya adalah Anthony McCoy (Yahya Abdul-Mateen II), seorang seniman lukis.
McCoy baru mengetahui kisah Candyman ketika seseorang menceritakan kasus Helen Lyle kepadanya. Lyle adalah sosiolog kulit putih yang terobsesi untuk mengungkap legenda Candyman, arwah jahat yang akan membunuh siapapun yang menyebut namanya lima kali di depan cermin.
Menurut legenda yang beredar, Candyman sejatinya adalah pelukis kulit hitam bernama Daniel Robitaille (Tony Todd) yang mencintai modelnya, seorang perempuan kulit putih. Warga yang tidak menyukai hubungan interrasial itu kemudian memburu Robitaille dan memutilasinya hidup-hidup. Setelah dimutilasi, tubuh Robitaille diguyur dengan madu yang membuatnya menjadi mangsa lebah-lebah ganas. Sejak itu, ia menjadi arwah jahat yang dijuluki Candyman.
ADVERTISEMENT
Obesesi Lyle terhadap legenda Candyman secara misterius membuatnya mengalami gangguan kejiwaan. Bahkan, ia menculik seorang bayi dari Cabrini-Green dan mencoba membunuhnya. Bayi tersebut pada akhirnya berhasil diselamatkan, namun Lyle tewas membakar dirinya hidup-hidup tanpa alasan yang diketahui.
Film Candyman (Foto: IMDb)
Berupaya menggenjot karir seninya yang mandeg, McCoy berencana mengangkat kisah Candyman tersebut ke dalam pameran lukisannya. Harapannya, orang-orang yang tidak mengenal legenda berdarah Candyman akan tertarik untuk mengunjunginya dan memulai percakapan di ruang publik. Kebetulan, origin Candyman berkaitan erat dengan isu rasisme yang juga ingin ia angkat. McCoy tak menyadari bahwa niatannya tersebut akan membawa malapetaka baginya.
Formula klasik kisah Candyman masih dipertahankan pada film yang disutradarai Nia DaCosta ini. Mereka yang mencari masalah dengan mencoba memanggil Candyman pada akhirnya harus berhadapan langsung dengan pembunuh berdarah dingin itu. Di sisi lain, mereka yang mencoba mengungkap legenda Candyman juga berakhir menghadapi berbagai masalah misterius. Walau begitu, DaCosta meyuntikkan sejumlah elemen baru untuk memaniskan kembali kisah Candyman.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang baru adalah bagaimana legenda Candyman dipandang berbeda-beda oleh warga Cabrini-Green. Bagi sejumlah orang, Candyman adalah terror yang tak sepatutnya dipanggil lagi. Namun, tidak sedikit yang memandang Candyman adalah “senjata” komunitas kulit hitam untuk melawan rasisme dan persekusi yang mereka hadapi. Hal itu memunculkan perspektif yang lebih kaya dibanding sekedar menunjukkan Candyman sebagai terror berjalan.
Hal baru lainnya adalah soal eksploitasi kisah penderitaan komunitas kulit hitam. Film Candyman adalah kritik sosial terhadap mereka yang mencoba merepresentasikan komunitas kulit hitam dalam produk budaya namun bukan sebagai alat juang, tetapi alat cuan. Uniknya, kritik itu disampaikan via karakter McCoy yang pelukis kulit hitam. McCoy, desperate menggenjot karirnya lagi, mengeksploitasi kisah Candyman yang sarat isu rasisme untuk mengangkat namanya lagi.
ADVERTISEMENT
Hal terakhir yang baru adalah bagaimana sutrdara Nia DaCosta dan penulis Jordan Peele mendeliver terror di film Candyman. Dibanding tipikal film slasher di mana pembunuhan ditunjukkan terang-terangan dengan penuh gegap-gempita, pendekatan film Candyman terbaru lebih kalem. Teror Candyman tidak diperlihatkan dari sudut pandang korban, tetapi sudut pandang saksi. Penonton tidak akan melihat langsung wajah korban saat digorok Candyman, tetapi akan melihat “siluet-siluet” dari aksinya. Surprisingly, hal itu sukses membuat bulu kuduk berdiri karena visualisasi menjadi kembali ke imajinasi penonton. Theater of Mind kata sutradara horror John Carpenter.
Film Candyman (Foto: IMDb)
Overall, Candyman merupakan film horor yang out of the box, memiliki beragam konflik yang kompleks serta villain yang merupakan by product dari rasisme terhadap komunitas kulit hitam. Hal itu diperkuat cita rasa visual DaCosta yang apik plus elemen-elemen klasik film Candyman di mana merupakan penghormatan terhadap penggemar-penggemar lamanya.
ADVERTISEMENT
Bagi kami sendiri, film ini mengingatkan pada film "Us" dan "Get Out" yang juga mengangkat isu rasisme terhadap komunitas kulit hitam. Tidak mengherankan, Jordan Peele ikut memproduseri dan menulis naskah dari film ini. Sajian kisah horor yang sarat isu sosial membuat kami berpikir keras saat menonton Candyman, namun tetap menikmati filmnya yang memiliki gaya penceritaan non-linear. Dibanding Halloween Kills yang sama-sama direct sequel dari film originalnya, Candyman lebih berbobot dalam banyak hal.
FATHIN