Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Review Film Doctor Strange in The Multiverse of Madness: 10% MCU, 90% Sam Raimi
6 Mei 2022 13:17 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Sam Raimi tampil "kesetanan" di film terbaru Marvel Studios, Doctor Strange in The Multiverse of Madness . Setelah lumayan lama menghilang dari layar lebar, ia menggunakan Doctor Strange in The Multiverse of Madness untuk menunjukkan bahwa ia masih sutradara yang mumpuni dengan ciri khas yang distinctive. Segala karakteristik yang erat dengan gaya direksinya muncul di film berdurasi 2 jam 5 menit ini.
ADVERTISEMENT
Direksi Sam Raimi di satu sisi menegaskan Marvel Studios tidak memperlakukan produksi filmnya bak mesin pabrik. Selama ini beredar anggapan semua film Marvel Cinematic Universe (MCU) mirip satu sama lain. Realitanya, di tangan Sam Raimi, Doctor Strange in The Multiverse of Madness menjadi film MCU terunik bagi penulis sejak Guardians of The Galaxy pertama. Film terbaru Doctor Strange ini tidak hanya gila secara konsep, namun juga horror dan sarat akan komedi Raimi yang disturbing.
Meski unik, bukan berarti Doctor Strange in The Mutliverse of Madness tanpa cacat. Film berdurasi 2 jam 5 menit itu punya sejumlah masalah, terutama dalam hal bercerita. Hal tersebut sedikit banyak diakibatkan elemen multiverse-nya yang sulit dinalar.
ADVERTISEMENT
Cerita Doctor Strange in The Multiverse of Madness mengambil setting tak lama setelah event Spider-Man: No Way Home. Sebagaimana diketahui, di event tersebut. Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) tanpa sengaja membuka gerbang multiverse ketika hendak menghilangkan memory penduduk bumi soal identitas Spider-man. Di akhir film, gerbang multiverse tersebut berhasil ditutup, namun masalah belum usai.
Tak lama setelah event tersebut, Strange bermimpi ia diburu monster multiversal. Di mimpi itu, ia kabur bersama seorang remaja perempuan. Strange tidak selamat dalam "mimpi" tersebut, ia tewas dibunuh. Walau begitu, remaja yang lari bersamanya berhasil kabur dengan menjebol gerbang multiverse ke dunia lain.
Event tersebut ternyata bukan mimpi. Sang remaja, America Chavez (Xochitl Gomez), sungguhan dikejar monster dan kabur ke dunia MCU yang kita kenal. Strange berhasil menyelamatkannya, dibantu Wong (Benedict Wong) yang sekarang berstatus Scorcerer Supreme. Kepada Strange, America mengaku diburu karena mampu melintasi berbagai multiverse dan ada kekuatan jahat yang menginginkannya.
ADVERTISEMENT
Menyakini monster yang memburu America adalah hasil witchcraft, Strange menemui satu-satunya witch yang ia kenal, Wanda Maximoff aka Scarlet Witch (Elizabeth Olsen). Kepada Wanda, Strange meminta bantuannya untuk melindungi America dari buruan monster multiversal. Di luar dugaan Strange, Wanda yang memburu America.
Wanda menginginkan kekuatan America untuk "menculik" kedua anaknya, Billy (Jullian Hilliard) dan Tommy (Jett Klyne), dari universe lain. Diperlihatkan di serial Wandavision, Billy dan Tommy sejatinya tidak nyata karena hasil karangan Wanda. Di universe lain, ternyata keduanya sungguhan ada. Wanda menginginkan anak yang sungguhan dan ia akan melakukan apapun untuk mendapatkannya, termasuk menggunakan kitab terlarang Darkhold. Khawatir Wanda akan melakukan kerusakan fatal di tingkat multiversal, Strange tak punya pilihan selain melawannya.
ADVERTISEMENT
Dari premisnya, bisa terbayang bahwa Doctor Strange in The Multiverse of Madness memiliki potensi untuk menjadi film MCU yang gila. Konsep multiverse menawarkan berbagai kemungkinan tak terduga, termasuk momen-momen fanservice yang menjadi andalan MCU selama ini. Potensi tersebut tergali, namun tidak maksimal karena storytelling yang bermasalah.
Storytelling Doctor Strange in The Multiverse of Madness sungguh ngebut. Tiap plot disampaikan dengan begitu cepat dengan sedikit ruang bagi penonton untuk menalar apa yang ada di layar. Beberapa karakter bahkan sampai tampil sia-sia karena tidak memiliki cukup waktu untuk unjuk kemampuan.
Hal tersebut fatal bagi penonton yang belum pernah mengkonsumsi produk-produk MCU sebelumnya yang juga menyentuh isu multiverse. Beberapa di antaranya seperti LOKI, Wandavision, dan What If?.
Naskah dari Michael Waldron, yang juga manggarap serial LOKI, memperburuk kekurangan tersebut . Naskah yang ia garap tidak mengeksplor elemen Multiverse secara menyeluruh. Walhasil, Multiverse lebih seperti background saja di film ini dibanding elemen integral yang menawarkan keunikan atau kelokan-kelokan plot yang tajam.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada beberapa ketidakkonsistenan treatment ke Multiverse antara yang diperkenalkan di film ini dengan apa yang ada di No Way Home, LOKI, maupun What If?. Misalnya, di serial LOKI, TVA tampil sebagai first responder atas segala event multiversal. Contoh lain, di serial What If?, The Watcher hadir sebagai sosok yang selalu mengawasi event multiversal. Di Multiverse of Madness, elemen-elemen tersebut tidak disinggung sama sekali.
Untungnya, kelemahan-kelemahan tersebut tertutup sisi teknis yang menunjolkan kemampuan Sam Raimi sebagai sutradara. Seperti dikatakan di awal, segala hal yang menjadi ciri khas Sam Raimi ada di film ini. Direksi Doctor Strange in The Multiverse of Madness, secara teknis, begitu unik sehingga mereka yang awam Sam Raimi pun bisa merasakan betapa bedanya film ini dibanding film MCU lainnya.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang sangat Raimi di film ini adalah estetiknya yang comicbook-ish dan terkadang over the top. Banyak adegan laga yang terasa seperti ditarik langsung dari panel-panel komik, mulai dari framing hingga blockingnya.
Raimi juga memperlakukan kameranya bak instrumen musik untuk mendramatisir adegan. Ketika laga masuk, camera mulai dimiringkan, motion blur dimasukkan, dan fokus ditempatkan pada bagian tubuh karakter-karakter yang tampil. Fokus bisa ada di tangan, kaki, ataupun mata, mirip dengan bagaimana komik mencoba menekankan momen-momen dramatis.
Kegemaran Raimi menggunakan Fade dan Whip Cut tak ketinggalan. Banyak adegan di mana Raimi menggunakan Fade Cut untuk memparalelkan apa yang Strange atau Wanda lakukan dengan apa yang mereka pikirkan. Hal itu menghasilkan momen-momen visual yang langka ada di film-film Marvel sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Dari semua hal yang muncul berkat kehadiran Raimi, elemen horror yang menjadi favorit penulis. Jujur saja, Doctor Strange in The Multiverse of Madness lebih horror dibandingan prekuelnya. Ada banyak sekali elemen horror di film ini mulai dari body horror, supernatural horror, hingga slasher. Beberapa bagian bahkan straight-up berupa penghormatan ke trilogi Evil Dead yang juga karya Raimi.
Bagi kalian yang khawatir elemen horror-nya akan nanggung karena rating PG-13, you can put it to rest. Raimi memanfaatkan batas-batas rating PG-13 dengan baik sehingga apa yang akan kalian lihat bukan hanya jump scare, tetapi lebih dari itu.
Bicara soal elemen horror, tidak afdol rasanya jika tidak menyinggung nama Danny Elfman. Komposer langganan Raimi dan Tim Burton itu berjasa memberi bumbu ekstra ke elemen-elemen horror yang dibawa Raimi. Bahkan, ia membuat komposisi-komposisi gila untuk musical battle (yes, you read that right) yang hadir di film. Tidak salah mengatakan Elfman dan Raimi adalah kombinasi 'berbahaya'.
ADVERTISEMENT
All in all, Doctor Strange in The Multiverse of Madness adalah 10 persen film MCU dan 90 persen film Raimi. Sam Raimi seperti diberi kebebasan untuk memperlakukan franchise Doctor Strange sesuka hatinya namun masih dalam batas-batasan kisah MCU. Hasilnya adalah film MCU yang terasa fun dan fresh. Sayang, film ini kurang optimal dalam bercerita akibat storytelling yang begitu ngebut dan ruang sempit untuk menalar kisahnya. Elemen Multiverse-nya pun lebih seperti tempelan. Andaikan film ini lebih panjang setengah jam, mungkin hasilnya akan lebih fun lagi.