Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Fight of The Century adalah deskripsi yang pas untuk menggambarkan film terbaru dari semesta sinema Monsterverse, Godzilla vs Kong. Kembali mempertemukan dua monster penguasa yang kita sebut sebagai Alpha, Godzilla vs Kong menjawab keinginan penonton untuk pertarungan yang tanpa basa-basi, secara tegas menentukan siapa yang terkuat di antara keduanya.
ADVERTISEMENT
Terakhir kali keduanya bertemu, hal tersebut terjadi 59 tahun lalu, lewat film berjudul King Kong vs Godzilla. Diproduksi oleh salah satu studio tokustasu ternama di Jepang, Toho Studios, King Kong vs Godzilla berakhir dengan kemenangan sang kadal raksasa atas si penguasa Skull Island. Nah, bagaimana dengan Godzilla vs Kong?
Godzilla vs Kong dibuka dengan serbuan ke sebuah perusahaan teknologi bernama Apex Cybernetics. Tidak ada asap, tidak ada api, tiba-tiba Godzilla menyerang perusahaan itu dengan membabi buta, membuat banyak orang tewas di dalam prosesnya. Mereka yang berhasil bertahan hidup khawatir Godzilla sesungguhnya bukan mengincar Apex, tetapi Kong. Lagipula, hukum alam hanya mengenal satu Alpha, bukan dua.
Nasib Kong berbeda dibanding terakhir kali kita melihatnya pada Kong: Skull Island yang rilis pada 2017 lalu. Ia lebih jinak, tunduk kepada seorang anak perempuan yang mampu berkomunikasi dengannya. Menurut Monarch, organisasi yang menemukannya di Skull Island, Kong bisa menjadi harapan umat manusia ketika perang monster kembali terjadi. Godzilla masih dilihat sebagai ancaman, bukan kawan seperjuangan.
ADVERTISEMENT
Benar saja, ketika Apex dan Monarch sepakat untuk menjadikan Kong sebagai pertahanan manusia yang baru, Godzilla menyerang. Lonceng pertarungan kedua Alpha dibunyikan.
Tidak berlebihan untuk kembali menegaskan bahwa pertarungan kedua Alpha, Godzilla dan Kong, adalah jualan utama film ini. Cerita adalah hal sampingan yang tidak akan memberikan kesan membekas usai kedua monster berhenti bertarung dan meraung. Ini bukan Batman v Superman: Dawn of Justice di mana pertarungan kedua tokoh utamanya berdasar pada sebuah tragedi dan perbedaan cara pandang.
Secara plot, film ini dengan mulus menjembatani segala hal yang telah dibangun pada tiga film sebelumnya yaitu Godzilla (2014), Kong: Skull Island (2017), serta Godzilla: King of The Monsters (2019). Namun, sama seperti ketiganya, kisahnya relatif ringan dengan peran manusia sebagai weakest link-nya. Peran manusia di sini tak lebih dari sekedar tempelan, yang mengambil tindakan-tindakan di luar akal sehat, untuk membantu kisahnya maju.
ADVERTISEMENT
Jika ingin sedikit hiperbolis, kisah pertandingan catur antara Dewa Kipas dan GM Irene Kharisma tempo hari memiliki latar yang lebih dramatis dibanding Godzilla vs Kong. Namun, sejak dulu, mayoritas film-film dari genre Kaiju (Monster) memang selalu menjadikan pertarungan antar monster sebagai sajian utamanya. Pengecualian hanya berlaku untuk beberapa title seperti Godzilla (1954) atau Shin Godzilla (2016) dari sutradara Evangelion, Hideaki Anno, yang jelas-jelas merupakan pesan anti-nuklir.
Meski ceritanya relatif lemah, hal ini terbayarkan dengan dua hal. Pertama, karakterisasi Kong yang lebih baik. Kong bisa dikatakan sebagai hatinya film ini. Pertarungan dengan Godzilla diperlihatkan dari sudut pandangnya. Sebuah langkah yang patut diapresiasi mengingat Kong hanya memiliki modal satu film sebagai latarnya sementara Godizlla memiliki dua film.
ADVERTISEMENT
Kedua, jelas pertarungannya. Seperti dikatakan di atas, Godzilla vs Kong adalah Fight of The Century. Ini lah versi monster dari pertarungan petinju Muhammad Ali dan Joe Frazier pada tahun 1971 lalu. Seperti Ali dan Frazier, Godzilla dan Kong sama-sama tour de force yang sulit dihentikan. Keduanya sama-sama beringas, sama-sama kuat, sama-sama belum pernah kalah dan tidak akan mau kalah.
Pertarungan keduanya luar biasa. Menghentak, badass, well-choreographed, well-designed, dan memiliki skala yang menyamai (jika tidak ingin dikatakan melebihi) Godzilla: King of The Monsters. Adalah sebuah kepuasan tersendiri melihat kedua Alpha saling beradu, bertukar bogem mentah, hingga keduanya babak belur.
Kesampingkan perkara aksi keduanya merusak wilayah padat penduduk di sekelilingnya. Logika hanya akan mengurangi keganasan dan keasyikan dari Godzilla vs Kong. Film ini sepenuhnya sadar bahwa penonton ingin melihat kedua monster bertarung, bukan sudut pandang manusia terhadap pertarungan keduanya. Itulah kenapa peran manusia di film ini lemah.
ADVERTISEMENT
Betapa megahnya pertarungan Kong dan Godzilla tidak lepas dari cinematography, visual FX, serta score yang mendukung. Sutradara Adam Wingard, yang terkenal lewat film Death Note dan Blair Witch, tidak hanya memperhatikan koreografi kedua Alpha, tetapi juga dunia di sekitarnya yang indah dan vibrant.
Ketika film selesai, perbandingan dengan Batman v Superman mungkin tidak terhindarkan. Narasi yang condong terhadap Kong juga bisa dipandang kekurangan oleh beberapa penonton. Namun, terlepas dari segala kekurangannya, Godzilla vs Kong tetaplah spectacle yang menghibur dan siap membuat penonton takjub dengan daya hancurnya. Ini film yang diciptakan dengan menimbang cinematic experience, bukan sofa dan layar televisi.
TRISNANYOLO