Konten Media Partner

Review Film Netflix 'The White Tiger': Moralitas Bertubrukan dengan Status Quo

7 Februari 2021 8:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
The White Tiger (Foto: Netflix)
zoom-in-whitePerbesar
The White Tiger (Foto: Netflix)
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film tebraru Netflix, The White Tiger, menunjukan konsep ketika moralitas bertubrukan dengan status quo.
ADVERTISEMENT
Disutradarai sineas Iran-Amerika Ramin Bahrani, film ini memotret belenggu tatatan lama India. Diangkat dari novel berjudul sama karya Aravin Adiga sekaligus pemenang Man Booker Award, The White Tiger menunjukkan bahwa sistem yang sudah terlalu mengakar dalam sebuah kebudayaan membutuhkan langkah yang radikal untuk mengakalinya, alih-alih mengubahnya.
Berdurasi 125 menit, film yang tayang di streaming service Netflix ini diceritakan dari sudut pandang Balram (Adarsh Gourav), pemuda dari daerah pelosok India bernama Laxmangarh. Ia awalnya mempercayai bahwa sistem kasta di India adalah mutlak sifatnya. Mereka yang berada di tatanan terbawah tidak akan bisa naik lebih jauh lagi selain Kasta Sudra. Semua berubah ketika ia mendapati sistem pada akhirnya hanyalah seperangkat aturan dan aturan dibuat untuk dilanggar.
ADVERTISEMENT
***
Mobil bergaya semi offroad itu melesat kencang di jalanan lengang India tengah malam. Sebagaimana visual dalam film-film berlatar kota Bombai, tentu saja ada sapi di tengah jalan, pengemis yang tertidur dan tentu saja musik. Namun, kini ada satu simbol lain yang ditampilkan; patung Mahatma Ghandi.
Di dalamnya, tiga sosok berbalut suasana hangat. Seperti perapian di musim dingin. Sekilas baru pulang dari sebuah pesta. Salah satunya adalah Balram yang berpakaian laiknya Maharaja Inggris. Ia menemani majikannya, Pinky (Priyanka Chopra) dan Ashok (Rajkummar Rao) yang bersama-sama menyanyikan lagu Happy Birthday.
Layar sinematik tiba-tiba berubah, seperti kaset kusut yang me-rewind lagu terbaik. Pemandangan dari dalam mobil berpindah ke sebuah kantor mewah dengan Balram hadir di sana sebagai penguasanya. Tampil berbeda, dengan setelan jas klimis, rambut dikuncir, dan kumis melengkung, ia mulai bercerita bagaimana malam tersebut mengubah kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Surel untuk mantan PM China, Wen Jiabao, menjadi medium Balram bercerita. Wen Jiabao ia tempatkan sebagai audience, penonton dari kisah hidupnya tentang moral, angan-angan, mimpi, dan adat yang usang. Ia ingin Wen Jiabao (penonton) tahu fakta sesungguhnya dari India yang dianggapnya sebagai calon kekuatan dunia yang baru.

Dunia yang Pupus-Dunia yang Bergerak

The White Tiger (Foto: Netflix)
Laxmangarh menjadi titik awal. Balram, sebagai anak yang cukup cerlang, tiba-tiba mengalami kejadian pelik. Ayahnya meninggal akibat TBC. Dia terpaksa keluar sekolah untuk memukuli batu bara dan sesekali menyiapkan teh di kedai bagi pelanggan. Kesempatan dan nasib baik akhirnya memiuh ubun-ubun Balram.
Suatu ketika datanglah sang sosialis besar, "Si Bangau" yang datang ke desanya untuk mencari sopir bagi anak bungsunya Ashok. Ia baru saja pulang dari Amerika.
ADVERTISEMENT
Balram, yang dalam kesempatan lain menganggap dirinya sosok istimewa karena hanya satu dari sekian mahluk yang lahir dalam jangka 1 abad, melihat kesempatan untuk keluar dari 'kandang ayam jantan'. Itu cara Balram memandang simbol tatanan di India yang mandek. Ashok ia pandang sebagai kunci untuk panjat sosial, keluar dari kasta terendah dan naik, paling tidak, ke kasta Sudra. Yang penting naik.
Sebagai sineas yang memiliki pengalaman tidak sedikit, Ramin, secara apik memperlihatkan kepada penonton bagaimana peliknya sistem sosial di India. Caranya menarik, tidak hanya lewat narasi Balram, tetapi juga dari bagaimana ia menggambarkan India. Ia mampu mampu memvisualkan hal-hal yang luput dari pengamatan sehari-hari dengan gaya yang renyah.
Ibarat makanan India yang kaya akan rempah, The White Tiger kaya dengan berbagai potret kehidupan di India. India adalah ladang dengan berbagai isu dan Rahmin menggunakannya untuk memperkuat hal yang ingin ia ceritakan. Meminjam realitas Balram, sebagai underdog yang akhirnya mampu mencapai yang diinginkan (kita kesampingkan moral dulu), Ia menyisipkan ketimpangan sosial India, sistem demokarasi yang sangat rapuh, dan tentu saja bau busuk korupsi. Banyak, namun saling melengkapi satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Selentingan lain yang muncul dari visual, adalah yang mengingatkan saya dengan The God Father (1972), lewat sosok sosialis besar si Bangau dan Si Luak yang bergaya ala-ala mafia Itali. Ada lagi adegan Shawshank Redemption (1994) ketika Balram membuang pecahan botol di bawah gerimis hujan. Hingga simbol burung gagak di aparteman Ashok yang mengingatkan saya pada Hitchcock dan Edgar Allan Poe.
The White Tiger (Foto: Netflix)
Dari sisi performativitas, akting Adarsh Gourav dalam memerankan Balram layak mendapat tepuk tangan ringan.
Salah satu aktingnya yang paling menonjol dapat ditemui ketika penatnya beban psikologis yang dia tanggung pecah di sebuah pasar. Ia memaki-maki pengemis yang meminta beberapa dirham darinya. Kontrasitas sosoknya yang lugu juga nampak saat ia berhasil mencapai 'apa yang ia tuju' hingga berteriak di belakang kemudi mobil.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Rajkumar Rao sebagai sosok Ashok juga memberi impresi lebih lewat karakternya, seorang India dari 'kasta berperut buncit' yang berhasil mengenyam pendidikan di luar negeri. Ia berhasil menampilkan Ashok sebagai sosok yang tercerabut, yang berpikir untuk mengubah tatanan lama, namun ironisnya terseret dalam pusaran yang melingkupinya.
Dan yang terakhir, Priyanka Chopra sebagai Pinky. Saya tidak akan bertutur banyak mengenai akting jebolan Miss World ini. Gegas dan temuilah performanya saat berbicara dengan Balram dari luar mobil berbatas jendela kaca. Ada uap embun dari nafasnya. Ada sesuatu yang sangat manis; seperti wangi adas.
Dari perspektif tertentu, Ramin mungkin seperti mengolok-olok realitas India lewat The White Tiger. Hal itu disimbolkan lewat kontrasnya citra kehidupan di pedesaan maupun perkotaan dengan cita-cita Mahatma Ghandi. Hal itu “diperparah” dengan betapa peliknya tantangan-tantangan yang dihadapi karakter-karakternya yang secara kepribadian pun jauh dari kata baik. Tapi, mungkin itu ia sengaja agar penonton menjadi lebih kritis dalam melihat citra sebuah negara yang dalam hal ini India.
ADVERTISEMENT
PRASETYO AGUNG GINANJAR