Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Review Film Persepsi: Terrace House Horror Dengan Sudut Pandang Orang Pertama
10 Juni 2021 17:57 WIB
·
waktu baca 1 menitADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Persepsi karya sutradara Renaldo Samsara akhirnya resmi rilis di platform Transactional Video On Demand (TVOD), Bioskop Online. Film ini menjadi satu dari sekian banyak title orisinil Bioskop Online lainnya seperti Awal & Akhir dan Quarantine Tales. Adapun Persepsi sekaligus menjadi debut dari sutradara Renaldo.
ADVERTISEMENT
Film bergenre horror-thriller ini dimulai dengan seorang pembawa acara misteri (Arifin Putra) yang mengajak empat orang untuk bermain di acara terbarunya. Mereka adalah Michael (Nino Fernandez), Laila (Hannah Al Rashid), Lingga (Irwansyah), dan Risma (Nadine Alexandra).
Ala reality show Terrace House, keempatnya diminta untuk hidup bersama selama lima hari di sebuah rumah khusus yang telah disiapkan. Namun, rumah mereka yang akan tinggali tersebut adalah rumah yang dikenal angker. Bagi siapapun yang berhasil bertahan, sang host menjanjikan pemenangnya akan mendapatkan hadiah berupa uang US$1 juta.
Lewat premis di atas, Persepsi memang tidak terdengar original. Konsep rumah berhantunya ataupun challenge di lokasi angker sudah banyak dipakai oleh banyak film horror, bahkan game. Beberapa di antaranya seperti Cabin in The Wood, The Haunting of Hill House, dan Until Dawn. Walau begitu, seperti judulnya, Persepsi menawarkan persepsi lain soal bagaimana kisahnya disampaikan: First Person View.
ADVERTISEMENT
Kisah Persepsi disampaikan lewat sudut pandang orang pertama masing-masing tokohnya. Dengan kata lain, penonton ditempatkan sebagai masing-masing tokoh yang ada, melihat langsung teror yang ada dari mata mereka. Hal ini berbeda dengan genre found-footage di mana walaupun sama-sama menggunakan sudut pandang orang pertama, kisahnya berupa rekaman video terkutuk.
Pendekatan meminjam mata tokoh-tokohnya tersebut terbukti berhasil. Banyak adegan yang terasa asli, menambah sensasi horor Persepsi. Penonton dibuat seakan-akan sedang berada di posisi empat orang tersebut. Sebagai contoh, pada salah satu adegan yang menunjukkan Laila kebingungan, kita ikut merasakan kondisi psikisnya karena kamera mengikuti pergerakan mondar-mandir ia.
Sayangnya, keistimewaan Persepsi berhenti di situ. Untuk urusan cerita, tidak ada yang begitu spesial dari film yang durasinya 50 menit menurut screening yang kami terima. Ceritanya relatif biasa saja, tidak menawarkan sesuatu yang berbeda. Unsur horornya juga terbilang cukup dikit. Sepanjang film, penonton hanya akan diajak menyimak ragam keanehan di lokasi permainan sembari menebak-nebak siapa yang akan tereliminasi duluan.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa adegan yang memang membuat tegang, tapi berdurasi singkat. Semuanya dibiarkan tuntas begitu saja, meninggalkan kesan anti-klimaks.
Sebenarnya, cerita dan horror Persepsi bisa dipoles menjadi lebih baik lagi asalkan durasinya diperpanjang. Pada saat screening film bulan Februari lalu, durasinya masih berada pada angka 90 menit. Saat film ini disebarluaskan untuk awak media 8 Juni kemarin, terjadi pemangkasan sebanyak 40 menit. Bisa saja versi yang kami terima belum final, namun faktor durasi menjadi beban film ini untuk menyampaikan kisahnya secara maksimal
Dialog Persepsi juga memiliki masalahnya sendiri. Penyampaiannya inkonsisten. Pada satu adegan, mereka terlihat sopan sekali dengan menggunakan "saya-anda" saat berbicara satu sama lain. Tiba-tiba ada satu adegan yang menggunakan "gue-lo" dan langsung kembali lagi menggunakan "saya-anda" beberapa saat kemudian. Untuk orang yang memperhatikan detail dan kontuinitas, inkonsistensi tersebut bisa terasa sangat mengganggu.
ADVERTISEMENT
Dari sisi karakter, hanya Lingga yang berhasil mengangkat film--yang tidak begitu--horor ini. Meski dari awal film penggambaran karakternya sudah bisa ditebak akan seperti apa, hasilnya tidak begitu mengecewakan. Karakter tampil distinktif dibanding ketiga karakter lainnya. Ia hadir untuk 'melelehkan' suasana di antara para pemain, termasuk lewat tingkah lakunya yang kerap membuat beberapa dari mereka naik pitam.
Karakter-karakter lainnya hanya berperan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak baik atau buruk, namun tidak begitu menonjol seperti Lingga.
Secara keseluruhan, Persepsi sesungguhnya memiliki potensi untuk menjadi film horror Indonesia yang berbeda. Direksinya untuk menampilkan kisah dari sudut pandang orang pertama, dengan meminjam mata masing-masing tokoh, adalah langkah unik untuk memberikan experience baru kepada penonton. Sayang, keunikan itu tidak dibarengi cerita yang sama uniknya. Alhasil, filmnya malah berujung biasa-biasa saja.
ADVERTISEMENT
Endrapta Ibrahim Pramudhiaz