Review Film Pulau Plastik: Perjalanan Melawan Plastik Sekali Pakai

Konten Media Partner
7 Mei 2021 7:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film Pulau Plastik. Foto: dok Visinema Pictures
zoom-in-whitePerbesar
Film Pulau Plastik. Foto: dok Visinema Pictures
ADVERTISEMENT
Play Stop Rewatch, Jakarta - Film Pulau Plastik, dokumenter terbaru dari Visinema Pictures, hadir bukan sebagai peringatan soal limbah plastik saja. Digarap bersama Kopernik, Akarumput, dan WatchDoc, film ini juga hadir sebagai ajakan. Pulau Plastik mencoba memperlihatkan apa yang terjadi jika limbah plastik tak terkendali dan apa yang publik bisa lakukan untuk mencegahnya.
ADVERTISEMENT
Sutaradara Dandhy Dwi Laksono dan Rahung Nasution menggabungkan jurnalisme investigasi dan gaya bercerita pop untuk mengangkat isu tersebut. Isu plastik diperlihatkan dari tiga perspektif dengan masing-masing perspektif diwakili oleh figur yang berbeda. Mereka adalah vokalis Band Navicula bernama Gede Robi, pengacara muda dan aktivis lingkungan bernama Tiza Mafira, dan ahli biologi dari Jawa Timur bernama Prigi Arisandi.
Masing-masing figur memiliki kisahnya sendiri, perjuangannya sendiri untuk melawan limbah plastik. Namun, seiring berjalannya film, jalan ketiganya akan saling bersilangan dan akhirnya berkumpul di satu titik yang sama, menegaskan bahwa mereka berjuang untuk isu yang sama meski dengan cara yang berbeda.
Kisah Gede Robi, misalnya, lebih berfokus pada upaya dia sebagai public figure untuk mengangkat isu limbah plastik ke masyarakat. Ia melakukannya dengan berbagai cara mulai dari puasa plastik, eksperimen, bertemu presiden, hingga tur keliling Jawa.
ADVERTISEMENT
Tur itu sendiri bukan dalam konteks konser, melainkan kampanye bahaya limbah plastik. Robi melakukannya sambil menaiki truk untuk mengumpulkan limbah plastik, menemui para aktivis, serta menyebarkan pesan-pesan kampanye. Di body truknya tertulis, "Tiap Menit, Sampah Plastik Sebanyak 1 Truk Terbuang di Laut Kita",
Kisah Prigi berbeda dengan Robi. Sebagai ahli Biologi, kisah ia lebih banyak melihat isu limbah plastik dari sisi ilmiah. Hal tersebut mulai dari penelitian soal limbah industri, kandungan plastik di dalam tubuh, hingga penyelidikannya soal bagaimana limbah plastik diselundupkan. Hal-hal itulah yang belakangan mangantarkan ia kepada Robi di tengah tur pulau Jawanya.
Hal senada berlaku untuk kisah Tiza. Sebagai aktivis lingkungan hidup, kisahnya lebih banyak melihat isu limbah plastik dari perspektif sosial. Hal tersebut seperti minimnya pengetahuannya masyarakat soal bahaya limbah plastik dan bagaimana Tiza bisa mengedukasi mereka. Ada juga bagian yang memperlihatkan ia memanfaatkan momen Car Free Day untuk menggelar aksi tukar kantong plastik dengan kantong non plastik.
ADVERTISEMENT
Perspektif yang dibawa ketiganya saling melengkapi satu sama lain, memperlihatkan bahwa masalah limbah plastik itu bukan masalah lingkungan saja. Ada masalah sosial dan ekonomi pula di dalamnya. Itu lah kenapa, sepanjang film, kita akan melihat isu limbah plastik berkembang, mulai melibatkan pelaku industri, politisi, hingga negara tetangga. Dengan kata lain, Pulau Plastik mencoba mengatakan bahwa isu ini membutuhkan pendekatan yang holistik karena ada terlalu banyak hal bersilangan di sana.
Film Pulau Plastik. Foto: dok Visinema Pictures
Duo sutradara Dandhy Dwi Laksono dan Ruhung Nasution mengemas isu serius itu dengan asyik tanpa mengesampingkan urgensinya. Gayanya humoris, tidak pretensius. Dalam beberapa bagian, treatment yang ia pakai bahkan lebih menyerupai road movie dibandingkan dokumenter sehinga isu yang dibawakan tetap engaging, tidak membosankan di tengah perjalanan.
ADVERTISEMENT
Kedua sutradara berharap film garapan mereka bisa memperlebar akses dokumenter untuk tayang di bioskop komersil. Menurut mereka, masih sedikit sekali dokumenter yang tayang di bioskop komersil sejak proklamasi. Klaim mereka, jumlahnya ada 11 mulai dari "Student movement" karya Tino Saroengallo (2002), hingga "Nyanyian Akar Rumput" oleh Yuda Kurniawan (2020). Pulau Plastik, yang tayang terbatas dari 29 April - 8 Mei 2021 di Jabodetabek serta Bandung, adalah film dokumenter ke-12.
Fathin Hilmi Muyassar & Endrapta Ibrahim Pramudhiaz